jpnn.com, JAKARTA - Anggota DPD RI Abdul Rachman Thaha (ART) kembali menyatakan penolakan terhadap amendemen UUD 1945, perpanjangan masa jabatan presiden, dan pergeseran jadwal Pilpres/Pileg dari 2024 ke 2027.
"Saya, selaku anggota DPD RI menegaskan ulang bahwa saya menentang rencana-rencana tersebut. Saya yakin, lembaga DPD pun demikian," ucap Rachman Thaha dalam keterangan tertulis yang diterima JPNN.com, Senin (23/8).
BACA JUGA: Hatta Rajasa: Siapa Bisa Menjamin Amendemen hanya Terbatas
Anggota Komite I DPD itu menyebut sikapnya itu disampaikan kepada masyarakat luas melalui berbagai forum dan media. Rachman juga mengeklaim ada pihak-pihak tertentu mulai gerah dengan sikapnya itu.
"Mereka melancarkan serangan balik yang sama sekali tidak elegan dan abai ketentuan," ujar senator asal Sulawesi Tengah (Sulteng) itu.
BACA JUGA: Pendapat Hukum LBH Pelita Umat tentang Kelakuan Muhammad Kece
Di antara serangan tidak elegan dan abai ketentuan itu menurut Rachman, antara lain dalam serangan pribadi berupa peretasan ke situs internet yang memuat biodatanya.
"Hal tersebut, walau melanggar UU ITE, saya pandang biasa. Kerusakan oleh peretas sudah teratasi, selesai masalah," lanjut pria yang juga beken disapa dengan inisial ART (Abdul Rachman Thaha) itu.
BACA JUGA: Muhammad Kece Lakukan Penistaan Agama dan Menghina Nabi, Polri Bergerak
Dia justru menyebut ada hal yang jauh lebih serius bahkan mengarah pada pelecehan tatanan perundang-undangan, yakni, pernyataan-pernyataan yang mengerdilkan kedudukan DPD RI.
"Mulai dari disepelekannya inisiatif DPD dalam penyusunan RUU, antara lain RUU Badan Usaha Milik Desa (BUMD), hingga ditutup-tutupinya rencana besar di balik amendemen UUD seperti saya tulis di atas," ujar Rachman Thaha.
Oleh karena itu, dia menilai kalangan di DPR RI perlu diingatkan untuk patuh pada Pasal 37 UUD Ayat 1 bahwa pengajuan usul pasal-pasal di konstitusi baru dapat diagendakan apabila diajukan oleh 1/3 anggota MPR RI.
Artinya, kata Rachman, harus ada 230-an anggota MPR RI yang memberikan tanda tangan. Dan untuk mengubah pasal-pasal, sidang itu harus dihadiri 2/3 dari jumlah anggota MPR (460-an orang), sedangkan jumlah anggota DPD RI adalah 136 orang.
"Dengan angka-angka tersebut, suara anggota DPD ditambah suara dari anggota beberapa fraksi (di MPR, red) akan bisa menjegal rencana kubu yang begitu bernafsu mengubah UUD demi bertahan di kursi kekuasaan," ujar Rachman Thaha.
Pria kelahiran Kota Palu, 17 September 1979 itu juga menyatakan banyak pihak di DPR RI yang juga perlu diwanti-wanti untuk taat pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Putusan 92/PUU-X/2012 dan dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2013 yang meneguhkan lima peran DPD dalam proses legislasi.
BACA JUGA: Berita Duka, Dokter Tommy Sunartomo Meninggal Akibat Covid-19
"Masyarakat juga perlu dibangun pemahamannya agar mereka tidak terkecoh. Juga, karena pemahaman publik itulah yang akan menjadi kekuatan terbesar guna menyetop rencana fraksi-fraksi menggagahi kehidupan bernegara lewat perubahan sekehendak hati atas UUD," tutur Rachman.
Untuk itu, kata Rachman, sekarang tinggal menunggu pimpinan DPD RI yang diketuai La Nyalla Mahmud Mattalitti untuk menyampaikan sikap resmi lembaga tinggi negara tersebut terkait gagasan amendemen UUD 1945.
"Sembari menunggu pimpinan DPD menyampaikan sikapnya, saya pribadi percaya akan sikap all out para anggota DPD RI untuk menolak amendemen UUD yang berorientasi pada pelanggengan kekuasaan," ucapnya.
Apabila sikap DPD RI itu diabaikan dan pihak-pihak tertentu di luar DPD RI tetap memaksakan kepentingan mereka, ujar Rachman, maka DPD akan walk out dari ruang sidang.
"Saya sejatinya enggan menghadap-hadapkan DPD RI dan DPR RI. Namun apa boleh buat, rakyat berhak dan memang sudah sepatutnya tahu ke mana gerangan para wakil rakyat akan membawa republik ini," tandas Abdul Rachman Thaha. (fat/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam