Aborsi

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Kamis, 05 Mei 2022 – 19:12 WIB
Ilustrasi tersangka praktik aborsi. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

jpnn.com - Isu aborsi sedang menjadi topik panas yang menjadi perdebatan luas di Amerika Serikat.

Selama ini isu aborsi menjadi konsumsi politik yang selalu membelah masyarakat Amerika menjadi dua kubu yang saling bertentangan. 

BACA JUGA: Kabar Terbaru Kasus Wanita Muda Meninggal Setelah Aborsi, Begini Nasib ASN RSUD

Kelompok konservatif menentang keras aborsi, sedangkan kelompok liberal mendukung aborsi.

Beberapa hari belakangan ini, perdebatan mengenai aborsi menjadi viral secara nasional setelah sebuah dokumen yang berisi kajian Mahkamah Agung Amerika Serikat (Supreme Court)  bocor ke media. 

BACA JUGA: Lakukan Aborsi Karena Diperkosa, Bagaimana Hukumnya?

Kajian itu menyatakan bahwa keputusan MA pada 1973 yang memperbolehkan aborsi adalah keputusan yang salah. 

Keputusan itu akan ditinjau ulang dan sangat mungkin akan dicabut dan dibatalkan paling lambat Juni mendatang.

BACA JUGA: Mbak AA Meninggal saat Aborsi, 3 Orang Ditangkap, Salah Satunya Oknum Pegawai BUMN

Sejak 1973, Mahkamah Agung Amerika Serikat-- sering disebut sebagai SCOTUS, Supreme Coutr of The United States—membuat keputusan yang membuat aborsi legal secara nasional.

Keputusan ini diambil atas gugatan perkara Roe vs Wade untuk memutuskan gugatan seorang perempuan asal Texas yang tidak diperbolehkan menggugurkan kandungan, karena aborsi adalah tindakan ilegal menurut undang-undang negara bagian.

SCOTUS kemudian memenangkan gugatan Roe. Sejak itu aborsi menjadi aktivitas legal di seluruh Amerika Serikat. Semua undang-undang di negara bagian yang mengharamkan aborsi harus dibatalkan. 

Semua wanita Amerika boleh melakukan aborsi ketika kandungan tidak melebihi 3 bulan. 

Setelah 3 bulan sampai 6 bulan seorang wanita boleh melakukan aborsi dengan beberapa syarat. Setelah janin berusia lebih dari 6 bulan, seorang wanita hanya boleh melakukan aborsi jika hal itu untuk menyelamatkan nyawa sang ibu.

Roe vs Wade menjadi kasus hukum yang paling poluler di kalangan publik Amerika. 

Kasus ini menjadi tonggak paling penting dalam sejarah politik Amerika Serikat. 

Roe vs Wade dianggap sebagai lambang kebebasan warga negara untuk menjalankan hak-hak politik dan hak pribadi warga negara.

Roe vs Wade adalah kemenangan besar bagi kubu liberal dan Partai Demokrat. Publik Amerika dengan mudah bisa dibagi dalam dua kelompok dikotomis.

Mereka yang mendukung Partai Republik bisa dipastikan akan antiaborsi, dan para pendukung Partai Demokrat selalu bisa dipastikan akan mendukung aborsi.

Dua arus utama politik Amerika ini selalu bersaing untuk merebut simpati publik. 

Sudah setengah abad keputusan legalisasi aborsi tapi perdebatan tidak pernah selesai dan selalu menajadi debat panas di setiap perhelatan pemilihan presiden.

Kelompok-kelompok masyarakat menggabungkan diri ke dalam dua grup, yaitu kelompok ‘’pro-life’’ yang menentang aborsi, dan kelompok ‘’pro-choice’’ yang mendukung aborsi.

Mahkamah Agung AS menjadi lembaga yang unik dan sekaligus sangat powerful dalam tata kelola politik dan tatanegara Amerika. 

Lembaga ini mempunyai wewenang untuk menginterpretasikan konstitusi Amerika dan mengeluarkan keputusan yang bersifat mengikat secara nasional. 

Fungsi SCOTUS ini lebih mirip dengan fungsi Mahkamah Konstitusi di Indonesia.

Keputusan SCOTUS mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengikat, meskipun tidak diundangkan menjadi undang-undang formal. 

Dalam kasus aborsi juga demikian. Sejak diputuskan setengah abad yang lalu sampai sekarang keputusan itu belum menjadi undang-undang federal.

Dalam sistem Amerika, Senat mempunyai kewenangan tunggal untuk membuat undang-undang.

Kasus aborsi ini menjadi unik karena sampai sekarang belum menadi undang-undang resmi. 

Kendati begitu, keputusan SCOTUS mengenai aborsi sudah cukup kuat untuk menjadi alasan melegalkan aborsi secara nasional. 

DPR Amerika tidak berhasil menjadikan aborsi sebagai undang-undang nasional karena tarik-menarik di dalam tubuh parlemen sangatlah kuat. 

Saat ini, meskipun Demokrat berhasil menguasai eksekutif dengan menempatkan Joe Biden sebagai presiden tetapi Partai Republik menguasai DPR. Karena itu tarik-menarik isu krusial seperti aborsi selalu keras.

SCOTUS menjadi lembaga hukum yang sangat dipercaya oleh publik Amerika. Ada 9 hakim agung yang bertugas sebagai anggota mahkamah dan mereka bertugas seumur hidup. 

Masa bakti seumur hidup ini dimaksudkan untuk menghindarkan Mahkamah Agung dari kemungkinan pengaruh politisasi.

Anggota SCOTUS diusulkan oleh presiden dan disahkan oleh Senat. Meski secara teoretis netral dari politik tetapi dalam praktiknya lembaga ini selalu menjadi ajang pertarungan politik yang keras. 

Dalam praktiknya, presiden mencalonkan hakim agung yang mempunyai garis ideologi politik yang sama dengan sang presiden.

Donald Trump hanya menjadi presiden satu periode, tetapi dia beruntung bisa mengangkat tiga hakim agung dalam periode kepemimpinannya. 

Yang terbaru adalah pengangkatan hakim agung Amy Coney Barret pada 2020 yang menimbulkan perdebatan keras secara nasional.

Hal itu terjadi setelah meninggalnya hakim agung Ruth Bader Ginsburg--terkenal dengan inisial RBG--yang dikenal sebagai hakim yang sangat liberal dan pro terhadap hak-hak minoritas kulit hitam dan kelompok gay dan lebian. 

RBG ialah satu di antara hanya 2 hakim agung wanita dalam sejarah Amerika. RBG menjadi legend karena keputusan-keputusannya yang pro-liberal.

RBG meninggal September 2020 hanya beberapa bulan menjelang pemilian presiden. 

Publik menghendaki pengganti RBG diangkat oleh presiden baru, tetapi Donald Trump bersikeras mengangkat hakim agung baru sebelum pemilhan presiden.

Kengototan Trump ini mendapat kecaman luas dari publik, tetapi Trump tidak peduli. 

Berbagai survei menunjukkan bahwa Trump akan kalah dari Biden dalam pemilu, dan karena itu publik menghendaki presiden baru yang nanti menunjuk hakim agung. 

Trump keukeuh dengan keputusannya dan tetap menominasikan hakim agung baru.

Calon yang diajukan Trump adalah Amy Cobey Barret seorang profesor hukum berusia 48 tahun yang sangat konservatif. Barret seorang katolik taat dan ibu rumah tangga dengan 7 anak termasuk 2 anak hasil adopsi. 

Sosok Barret bisa disebut sebagai antitesis dari RBG dengan ideologi yang berseberangan. Barret katolik konservatif dan RBG liberal. 

Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan publik akan terjadinya pergeseran di Mahkamah Agung menjadi lebih konservatif.

Dengan masuknya Barret ke SCOTUS kelompok konservatif menjadi mayoritas. 

Dari 9 hakim agung 5 orang konservatif dan tiga liberal. Ketua Mahkaham Agung John Roberts dianggap netral tapi lebih cenderung ke arah konservatif. 

Dengan komposisi semacam ini keputusan mahkamah dikhawatirkan akan condong ke konservatif.

Ketika itu ada kekhawatiran bahwa Donald Trump sengaja membajak SCOTUS untuk kepentingan konservatif.

Salah satu yang dikhawatirkan adalah pembatalan keputusan Roe vs Wade mengenai hak-hak aborsi. Kekhawatiran itu dulu dianggap berlebihan, tetapi sekarang menjadi kenyataan.

Kebocoran dokumen Mahkahmah Agung menjadi skandal nasional karena tidak pernah terjadi sebelummya.

Biro Investigasi Federal (FBI) turun tangan menyelidiki kebocoran ini karena kebocoran dokumen nasional yang sangat penting ini dianggap sebagai persoalan serius.

Dokumen bocor itu dimuat di media Politico, dan dipastikan bahwa dokumen itu asli. 

Presiden Joe Biden sangat kecewa atas rencana keputusan Mahkaham Agung itu.

Sebagai presiden dari Partai Demokrat Biden wajib mempertahankan keputusan mahkamah itu, tetapi Biden tidak bisa berbuat banyak karena Mahkamah Agung Amerika selalu independen dari intervensi politik.

Publik Amerika mengaku kecewa atas rencana pencabutan hak aborsi ini. Publik dari kalangan konservatif pun tidak semuanya gembira dengan keputusan itu. 

Mereka khawatir Mahkamah Agung akan menjadi lembaga yang terkontaminasi oleh kepentingan politik dan berkurang independensinya.

Pembatalan keputusan aborsi akan menjadi pukulan keras bagi kelompok liberal Amerika. 

Keputusan ini bisa saja merambat menjadi keputusan yang lebih luas termasuk terhadap keputusan soal LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender), dan keputusan mengenai pernikahan sejenis yang selama ini menjadi praktik liberal yang dibanggakan.

Heboh di Amerika sekarang ini mirip dengan yang terjadi di Indonesia ketika publik marah karena pengesahan revisi undang-undang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan pengundangan undang-undang omnibus law yang dianggap membajak demokrasi.

LPerbandingan ini tidak sepenuhnya sama, tetapi semangatnya sama. Lembaga hukum seharusnya bebas dari intervensi politik untuk menjaga semangat demokrasi dan melindungi hak-hak rakyat. (*)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler