Aborsi Boleh Bila Ada Rekomendasi

DPR Sahkan Empat RUU jadi UU

Senin, 14 September 2009 – 20:30 WIB

JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mensahkan 4 Rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi Undang-undang (UU) melalui Rapat Paripurna yang dipimpin oleh Ketua DPR HRAgung Laksono di Gedung DPR, Jakarta, Senin (14/9)

BACA JUGA: Kejaksaan Ingin Monopoli Penuntutan

Keempat RUU yang disahkan jadi UU tersebut masing-masing RUU tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Haji, RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, RUU tentang Narkotika, dan RUU Kesehatan menjadi Undang-Undang.

Khusus RUU Kesehatan, Fraksi Partai Damai Sejahtera memberikan persetujuan namun dengan catatan
Anggotanya, Ferdinan K Suawa mengatakan, pihaknya memberikan catatan atas pasal mengenai aborsi

BACA JUGA: MA Diminta Batalkan PK di atas PK

Fraksi PDS menyetujui pasal aborsi sepanjang dilaksanakan demi keselamatan ibu dan anak
RUU Kesehatan membolehkan aborsi dilakukan oleh korban perkosaan dengan persetujuan badan konselling

BACA JUGA: DPR Diminta Cermat Pilih Ketua KPK

"Masalah aborsi kompleksPascaaborsi lebih berat gangguan psikologisnyaKami setuju sepanjang dengan alasan menyelamatkan ibu dan anak," kata Ferdinan.

Sedangkan dari Fraksi PBR menyatakan keberatannya terhadap adanya aborsi meskipun kehamilan tersebut akibat kasus pemerkosaan, karena menurutnya sijabang bayi tetap mempunyai hak hidupSementara itu, Ketua Pansus RUU Kesehatan, Ribka Tjiptaning menekankan, pada dasarnya aborsi dilarang"Aborsi tetap dilarang, tapi dengan pengecualianMisalnya, karena alasan medis bisa dilakukan tapi melalui persetujuan badan konselling," ujar Ribka.

Badan konselling terdiri dari dokter, tokoh agama dan psikolog"Kalau badan konselling tidak membolehkan, ya tidak bolehPada intinya, RUU ini diharapkan menurunkan angka aborsi," kata RibkaPada pengesahan RUU Narkotika dan RUU Kesehatan ini, dihadiri Wakil dari Pemerintah yakni Menteri Agama M Maftuh Basyuni, dan Menkum HAM Andi Mattalatta beserta jajarannya.

Sedang mengenai Perppu penyelenggaraan haji, Wakil Ketua Komisi II DPR Aziz Syamsudin menegaskan, RUU tentang Perppu Nomor 2 tentang Penyelenggaraan Haji disahkan jadi UU berkaitan dengan kebijakan pemerintah Arab Saudi, dimana mulai tahun 1430 H jemaah haji dari seluruh Negara yang akan menunaikan ibadah haji harus menggunakan paspor biasa (ordinary passport) yang berlaku secara international.
 
"Perppu No2 Tahun 2009 tersebut menghapus ketentuan tentang penggunaan paspor haji menjadi paspor biasa atau paspor internasionalIni merupakan salah satu langkah yang harus ditempuh pemerintah dan DPR dalam rangka menerapkan kaidah hukum internasional dalam penggunaan dokumen paspor bagi jemaah haji Indonesia yang hendak menunaikan ibadah haji”, kata Aziz Syamsudin.

Berbeda dengan proses pengambilan keputusan terhadap pengesahan RUU menjadi UU yang biasanya diawali dengan mendengar pandangan akhir fraksi-fraksi di DPR, khusus pengesahan RUU Narkotika dan RUU Kesehatan dilakukan tanpa mendengar pandangan akhir fraksiPimpinan sidang, Agung Laksono hanya menanyakan satu persatu Fraksi untuk dimintai persetujuannyaSedangkan untuk RUU Narkotika Agung hanya menanyakan secara terbuka per fraksi, apakah setuju dengan pengesahan RUU tersebut.
 
"RUU Narkotika dan Kesehatan ini kan sudah dibahas selama 4 tahun dan materi-materinya kita ingin menyelamatkan anak-anak dari peredaran narkotika yang tidak hanya dijalankan oleh jaringan perorangan tapi juga jaringan internasional," tegasnya.Sebelumnya, rencana pengesahan RUU Narkotika ini, mendapat pertentangan dari Indonesian Coalition for Drugs Policy Reform (ICDPR), mereka meminta pengesahan RUU Narkotika ditunda karena mereka nilai substansi RUU Narkotika bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM.
 
ICDPR sangat menyayangkan substansi RUU yang masih mengidentifikasi orang yang ketergantungan terhadap narkotika sebagai pelaku tindak pidanaCap ini dinilai keliru karena Perhimpunan Dokter Seminat Kedokteran Adiksi Indonesia telah menyatakan adiksi narkotika adalah suatu penyakit yang menyerang fungsi otak, dan ada peluang untuk disembuhkan.
 
Hal lain yang mendapat sorotan ICDPR adalah masih diberlakukannya hukuman mati untuk menindak pelaku tindak pidana narkotikaMenurut ICDPR, pemberlakuan hukuman mati jelas bertentangan dengan prinsip HAMHukuman mati juga tidak sejalan dengan tujuan pemidanaan modern adalah restoratif (pemulihan) bukan retributif (pembalasan)Terlebih lagi, praktek hukuman mati telah lama ditinggalkan oleh negara-negara beradab di belahan bumi manapun“Apabila RUU tersebut tetap disahkan, ICDPR menolak keberadaan UU Narkotika yang baru karena telah menciderai proses demokratisasi yang telah susah payah dirintis oleh Indonesia, serta mengkhianati prinsip-prinsip HAM,” tulis ICDPR dalam rilisnya(fas/JPNN)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Istilah Godzila Hendarman adalah Bentuk Dukungan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler