"Saya melihat, PK di atas PK sangat beresiko dan memiliki resistensi yang tinggi, karena melanggar prinsip-prinsip kewenangan hakim
BACA JUGA: DPR Diminta Cermat Pilih Ketua KPK
Untuk menyelesaikan kasus itu hanya satu, yakni Mahkamah Agung membatalkan penerimaan PK yang terdahulu," kata Eva, dalam acara diskusi bertema "Mungkinkah Menganulir Putusan PK oleh Jaksa?" di gedung DPR RI, Jakarta, Senin (14/9)Diingatkan Eva, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sangat jelas dan tegas mengatur, bahwa yang berhak mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya
BACA JUGA: Istilah Godzila Hendarman adalah Bentuk Dukungan
Sementara jaksa sama sekali tidak punya hak untuk mengajukan PKBACA JUGA: 20 Pengacara Back Up KPK
Sementara MA telah bermain-main dengan keputusannya, yakni dengan mengabulkan usulan PK yang diajukan oleh jaksa, yang tidak mempunyai dasar hukum hingga MA jadi pihak yang membuat masalah," tegasnya."Yang membuat saya risau itu, kan sebenarnya semua ini bisa maupun (sebaliknya) tidak bisa terjadi, itu ditentukan oleh MAKarena logika jaksa itu, bisa jadi ini hanya sebuah pekerjaan iseng," ungkapnya.
Selain itu, Eva juga menilai bahwa MA tidak konsisten dalam memutuskan perkaraIndikasinya adalah adanya keputusan MA dalam kasus yang berbeda, tetapi masih dalam konteks yang sama, yang hasilnya berbeda-beda"Putusannya juga aneh, yaSatu kasus putusannya meringankan dan yang terakhir putusannya malah memberatkan," ungkapnya.
"Sementara di KUHAP pasal 23 jelas sekali bahwa dua hal tersebut tujuannya merupakan koreksi terhadap putusan sebelumnya dan merupakan hak dari terdakwaAdanya sikap tidak konsisten MA dalam mengambil keputusan ini sangat membahayakan proses berlangsungnya reformasi hukum di Indonesia," tambah Eva pula.
"Jadi, saya melihat putusan MA itu diambil tidak melalui mekanisme panel bilik-bilik MA, sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan, termasuk (dalam) putusan merespon judicial review yang sama tapi diputuskan berbeda," imbuhnya.
Hal sama pun ditegaskan praktisi hukum M AssegafMenurutnya, MA tidak konsisten dengan putusannyaDia menyebutkan contoh antara lain, sebelumnya dalam kasus di Kalimantan yang melibatkan Mulyar Bin Syamsi dengan Joko Sarwoko sebagai Hakim Agung, MA telah menolak permohonan PK jaksa dengan alasan tak sesuai KUHAP"Tetapi pada kasus lain yang melibatkan Djoko Tjandra dan Syahril Sabirin, MA malah sebaliknya, menerima PK yang diajukan jaksa tersebut," tegasnya.
"Ini sebuah gambaran yang sangat buruk terhadap citra penegakan hukum (di Indonesia), karena tidak memberikan kepastian hukum tetapi malah membuat bingung," ungkap Assegaf menambahkan.
Sementara anggota Peradi, Lutfi Hakim, menyarankan agar semua PK yang diajukan jaksa harus dihapuskan, karena akan menjadi elemen 'horor' bagi seseorang yang telah diputus bebas"Undang-undangnya tegas, tidak bisa PK oleh jaksa," tegasnya pula.
Lutfi juga berpendapat bahwa terpidana bisa mengajukan PK terhadap PK jaksa yang diterima oleh MA ituHal ini karena PK jaksa yang diajukan MA tersebut hanya bisa dianulir melalui PK yang diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya"Ini ibarat luka, sudah bernanah, dibiarin begitu sajaUntuk penyembuhannya harus dilukakan dahuluItulah alasan mengapa saya mengatakan PK bisa diajukan sekali lagi, dengan mengesampingkan ketentuan UU tahun 2004," usulnya(fas/JPNN)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Penghentian Kasus Tidak Haram
Redaktur : Tim Redaksi