jpnn.com, BANDA ACEH - Rencana Gubernur Aceh Irwandi Yusuf membeli pesawat patroli untuk memantau laut dan hutan Aceh tertunda.
Pasalnya, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh hanya menganggarkan Rp 1 miliar dalam KUA PPAS APBAP untuk mengkaji rencana pembelian pesawat tersebut.
BACA JUGA: Wagub Laporkan Pungli di Perbatasan Aceh ke Menko Darmin
Apalagi, jauh sebelumnya, Aceh telah memiliki tiga pesawat patroli jenis CTSW.
Kepala Dinas Perhubungan Aceh, Zulkarnain, didampingi Kabid Udara, Burhanuddin dan Tim Teknis Bidang Penerbangan, Yudianto mengatakan tiga pesawat patroli itu hibah dari Yayasan Lauser Internasional (YLI) ke Pemerintah Aceh pada tanggal 15 Desember 2014.
BACA JUGA: Ketika Ketua MPR Menghibur Santri Korban Konflik Aceh
"Pesawat-pesawat itu tersimpan di hanggar Bandara Sultan Iskandar Muda dan sejak diserahkan belum pernah ditebangkan," kata Kepala Dinas Perhubungan Aceh Zulkarnain, Kamis (28/9).
Kata Zulkarnain, pesawat ini akan dioperasikan oleh YLI. Harga satu unit pesawat ini Rp1,5 miliar dan bea masuk Rp900 juta. Pesawat-pesawat ini rencananya diletakkan di Medan, Aceh Tenggara dan Bandara Sultan Iskandar Muda.
BACA JUGA: Anggota Dewan Ini Diminta Warga Dihukum Berat
Namun karena terlalu mahal, akhirnya YLI menghibahkan pesawat ini kepada Pemerintah Aceh yang dicatatkan di Dinas Perhubungan Aceh.
Pesawat ringan dengan dua tempat duduk bersisian, butuh waktu lama untuk sampai ke Aceh. Pesawat ini sempat tertahan lima tahun di Singapura dalam kondisi belum dirakit karena terganjal urusan pajak.
Setelah dihibah oleh YLI, kemudian Pemerintah Aceh menyurati Kementerian Keuangan. Isi surat itu adalah meminta penghapusan pajak.
Kementerian menyanggupi permintaan tersebut 1,5 tahun kemudian dengan satu persyaratan pesawat ini hanya boleh digunakan untuk memonitor hutan pascatsunami. "Pesawat ini juga tidak boleh diperjualbelikan."
Perubahan penggunaan atau pengalihan pesawat, kata Zul, harus mendapatkan izin dari Bea dan Cukai. Jika tidak, maka pemerintah akan dikenai sanksi denda sebesar 100 hingga 500 persen dari biaya masuk.
"Karena untuk mengoperasikan pesawat itu kita butuh biaya lagi. Ada dua sertifikat yang diperlukan, pertama sertifikat tanda terdaftar kemudian sertifikat kelaikudaraan. Sertifikat ini harus kita urus di Kementerian Perhubungan," kata Yudianto.
Menurut Zulkarnain, untuk menghidupkan kembali pesawat itu, dibutuhkan upgrade dan sejumlah pemeriksaan. Namun Dinas Perhubungan Aceh menyatakan siap jika diperintahkan untuk mengoperasikan pesawat ini sebagaimana peruntukannya.
"Kalau kita lihat dari peruntukannya ini menjadi ranahnya Dinas Kehutanan Aceh," katanya. (imj/slm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KIP Se-Aceh akan Gugat UU Pemilu ke MK
Redaktur & Reporter : Budi