Ada Baiknya Mulai Mendorong Gerakan Kembali ke UUD 1945 Asli

Sabtu, 08 Oktober 2016 – 01:01 WIB
Ketua DPR periode 1999-2004, Akbar Tanjung (berdiri) dlaam diskusi publik bertema Amandemen ke-5 atau kembali kepada UUD 1945 Asli di Jakarta, Jumat (7/10). Foto: dokumentasi Amara for JPNN.Com

jpnn.com - JAKARTA - UUD 1945 telah mengalami empat kali amandemen. Namun, kondisi belum berubah signifikan, terutama dalam hal kesejahteraan rakyat.

Bahkan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dianggap belum bisa mewujudkan cita-cita konstitusi. Karenanya, sejumlah elemen mendorong adanya amandemen kelima atas UUD 1945.

BACA JUGA: Pj Gubernur di Tujuh Provinsi Tunggu SK Presiden

Harapan itu muncul dalam diskusi diskusi publik Amandemen ke-5 atau kembali kepada UUD 1945 Asli yang diselenggarakan oleh Angkatan Muda Samudera Raya (Amara) di Jakarta, Jumat (7/10/2016). Pembicara yang hadir dalam diskusi itu antara lain mantan Ketua DPR Akbar Tanjung, politikus Partai Demokrat (PD) Achmad Mubarok, Ketua Gerakan Cinta Tanah Air Syamsuddin Anggir Monde, praktisi hukum  Taufik Budiman, serta Ketua Amara Herfan Nurmansa

Dalam diskusi yang dipandu mantan anggota DPR Hatta Taliwang itu  Herfan mengatakan, akhir-akhir ini suara tentang perlunya mengamandemen UUD 1945 kembali bergulir dengan segala kontroversinya. “Saya pikir ini yang perlu didiskusikan bersama," katanya.

BACA JUGA: KPK Dalami Peran Gubernur NTT di Kasus Nurhadi

Menurut dia, sebagian kalangan nasionalis menginginkan amandemen untuk mengembalikan UUD 1945 ke naskah asli dengan segala risikonya. Terutama untuk menembalikan kewenanganMPR RI sebagai lembaga tertinggi negara.

Herfan menegaskan, UUD 1945 hasil amandemen ternyata justru menyuburkan globalisasi dan liberalisasi. “Globalisasi tidak bisa mensejahterakan ekonomi Indonesia yang gemah ripah loh jinawi sesuai mandat Pembukaan UUD 1945, melainkan mengembangkan secara liar sistem pasar bebas ala neoklasik," ujar Herfan.

BACA JUGA: Waspada, Penyakit Mematikan Ini Mengintai Anak-anak

Ia menambahkan, UUD 1945 hasil amandemen tidak lagi menekankan amanat tentang kedaulatan rakyat yang mestinya berdasarkan hikmat permusyawaratan dalam perwakilan melalui MPR. Amandemen justru melahirkan demokrasi yang mengandalkan kekuatan uang dan pragmatisme kekuasaan sehingga memunculkan faksi-faksi.

“Bahkan menihilkan Bhinneka Tunggal Ika serta lemahnya penegakan hukum dan mekanisme checks and balances,” ulasnya.

Sedangkan Anggir Monde mengatakan, konstitusi hasil amandemen justru bentuk pengkhianatan terhadap negara. “Semangat nasionalis akan tercerai berai, sedangkan kaum kaptalis komunis-liberalis malah didewakan bagai tuan di negeri sendiri,” tegasnya.  

Karena itu ia mengharapkan semua elemen bisa duduk bersama untuk kembali ke naskah asli UUD 1945. “Tanpa itu kita akan tercerai berai, dan kita akan jadi kambing hitam kapatalis komunis-liberalis," tegas Syamsuddin.

Ia menambahkan, untuk memulai gerakan kembali ke UUD 1945 perlu melibatkan banyak tokoh, pakar sejarah dan ahli tata negara yang memahami betul arti sakral konstitusi. Ia juga meminta Presiden Joko Widodo bersama pimpinan lembaga negara lainnya bisa duduk bersama untuk mengevaluasi pelaksanaan kehidupan bernegara di bawah UUD 1945 hasil amandemen, sekaligus menyempurnakannya.

“Karena kalau kita saling menyalahkan, yang untung adalah pemilik modal. Dengan kekuatan modal mereka bisa memerankan intrik politiknya, ini bahaya," tandasnya.

Sedangkan Akbar mengatakan, amandemen UUD 1945 bermula dari tuntutan reformasi pasca-lengsernya Presiden Soeharto pada 1998. Saat itu para elite politik berkonsolidasi untuk merumuskan konsep negara yang ideal untuk mencegah terulangnya kekuasaan otoriter dan milteristik era Orde Baru sehingga untuk pertama kalinya UUD 1945 diamandemen pada 1999.  

Karena terkait wacana kembali ke UUD 1945 asli, Akbar mengingatkan bahwa hal itu akan sulit dilakukan. Sebab, mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara berarti memulihkan kewenangannya pula dalam memilih dan memberhentikan presiden.
 
"Apakah kita kembali ke situ? Itu akan sulit karena kita sudah ikuti reformasi selama kurang lebih 18 tahun, teruma semangat reformasi itu sudah melembaga,” tuturnya.

Ia menambahkan, kini di Indonesia sudah ada banyak partai politik. Presiden ataupun kepala daerah juga dipilih secara langsung.

"Jadi kalau kembali pasti ada beberapa reaksi bahwa kita seolah-olah kembali ke sistem politik, kembali ke sistem otoritarian, itu saya kira akan jauh lebih berat," tambah Akbar.(rmo/jpg/ara/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bongkar Kasus Beras 400 Ton, Bareskrim Bidik Oknum Bulog


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler