jpnn.com - PEMBEDAHAN otak atau jaringan saraf termasuk tindakan medis yang rumit. Tetapi, di tangan Prof Eka Julianta Wahjoepramono, operasi pembedahan otak bisa dikerjakan bersama-sama dengan kolega dari berbagai kota. Media sosial menjadi perantara mereka.
M. Hilmi Setiawan, Tangerang
Memasuki ruang pasien bedah saraf Prof Eka Julianta di lantai 6 Siloam Hospitals Lippo Village, Karawaci, Tangerang, tidak terasa seperti di ruang perawatan medis. Dengan balutan warna cokelat keemasan yang dominan, ruangan itu justru tampak seperti ruang keluarga.
BACA JUGA: Ketika Tujuh Anggota Keluarga Jadi Korban AirAsia QZ8501
Satu-satunya penanda bahwa ruangan itu merupakan ruang pasien adalah sebuah ranjang khas rumah sakit serta beberapa replika kepala manusia komplet dengan tiruan otak di dalamnya. Selebihnya tidak tampak ornamen-ornamen medis di ruangan tersebut.
Sisi salah satu dinding, misalnya, dipenuhi lebih dari 50 piagam penghargaan yang didapat Eka dari beberapa lembaga. Baik penghargaan akademis dan profesi maupun piagam saat dia menjadi pemateri seminar di dalam dan luar negeri. Di dinding sisi lainnya, tertata rapi testimoni-testimoni pasien yang pernah diselamatkan Eka.
BACA JUGA: Sungkan Mau Merokok, Lebih Banyak Ngobrol dan Minum Kopi
Menunggu beberapa saat, guru besar Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta itu muncul dengan senyum mengembang. Dengan aksen Jawa yang kental, Eka menceritakan kesibukannya sebagai ahli bedah saraf Indonesia sekaligus dekan Fakultas Kedokteran UPH Jakarta.
Pria kelahiran Klaten, 27 Juli 1958, tersebut menceritakan kiprah tim Bedah Saraf Nusantara (BSN) yang dibentuk pada 1996. Tim tersebut merupakan kumpulan dokter spesialis bedah saraf di seluruh jaringan RS Siloam yang tersebar di penjuru Indonesia. Total ada 18 dokter yang berpraktik di Jabodetabek, Surabaya, Kupang, Manado, Bali, Jambi, Makassar, serta Balikpapan.
BACA JUGA: Memasak di Dapur Oke, Kemudikan Kapal Bisa
Eka menyatakan, meski timnya tersebar di beberapa kota di Indonesia, dalam setiap operasi pembedahan otak, semua harus berkoordinasi.
"Komandonya ada di lima orang senior di Jakarta. Kami saling berkomunikasi untuk menentukan tindakan-tindakan," ujarnya.
Suami Hannah Kiati Damar itu mencontohkan, pernah ada kasus pasien di Jambi yang terjatuh dari tangga. Imbas kecelakaan itu, tempurung kepala pasien tersebut terluka serius sehingga perlu segera dioperasi.
"Pada waktu itu, saya juga sedang ada operasi di Karawaci. Saya tidak bisa ke Jambi, meski sudah disiapkan pesawat sewa," ungkapnya.
Tetapi, Eka akhirnya berhasil menenangkan keluarga pasien yang jatuh itu. Pihak keluarga bersedia pembedahan dilakukan di Jambi dengan ahli bedah saraf setempat. Operasi tetap dijalankan, meski Eka yang dikenal sebagai senior sedang berada di Jakarta.
Namun, operasi di Jambi itu tidak dilepas begitu saja oleh Eka. Dokter-dokter di Jambi harus upload foto ke grup BlackBerry Messenger (BBM) tim BSN mengenai kondisi pasien yang akan dioperasi. Mulai foto luka sebelum dioperasi, proses operasi, hingga ujung proses operasi, semua wajib difoto.
"Selain di grup BBM, kami pakai grup WhatsApp (WA)," terangnya.
Lulusan program doktor di Universitas Hasanuddin, Makassar, itu menuturkan, ada skema baku yang harus dijalankan dalam operasi di bawah kendali aplikasi percakapan cepat tersebut.
"Ketika koordinator tim di Jakarta bilang tidak perlu operasi, tim di daerah-daerah harus tunduk," tuturnya.
Begitu pula sebaliknya, jika tim di Jakarta memutuskan harus operasi, tim di daerah harus menjalankan.
Dokter yang sudah 209 kali menjadi pembicara seminar nasional dan internasional itu menyatakan, keputusan tim di Jakarta tidak diambil begitu saja, tetapi melewati kajian menyeluruh. Masukan juga disampaikan tim dokter dari kota lain di luar kota tempat terjadinya kasus.
Eka menjelaskan, pembinaan terhadap tim dokter yang tersebar di daerah tidak selamanya melalui aplikasi percakapan itu. Dalam beberapa kesempatan, tim dokter senior dari Jakarta didatangkan ke daerah untuk menangani kasus-kasus tertentu.
Pada penanganan khusus, tim dokter dari daerah setempat juga dilibatkan dalam operasi pembedahan.
"Kami menggunakan sistem pembelajaran. Salah satunya menularkan langsung," paparnya.
Dengan cara itu, upaya penyebaran kemampuan berlangsung lebih efektif.
Eka juga menceritakan, dirinya pernah ditegur moderator ketika mengikuti seminar di Amerika Serikat.
"Saat itu saya ditanya, kenapa kok terus-menerus melihat handphone? Saat itu saya sedang memantau aktivitas operasi pasien di Indonesia," jelasnya.
Menurut dia, saat ini kasus penyakit saraf yang diprediksi terus meningkat adalah aneurisma, yakni kelainan dalam jaringan pembuluh darah di sistem saraf. Di bagian tertentu pembuluh darah, ternyata dinding pembuluhnya sangat tipis. Lama-kelamaan, bagian dinding yang tipis itu menggelembung karena terkena tekanan darah.
Khusus di wilayah Jabodetabek saja, Eka memperkirakan jumlah kasus aneurisma mencapai seribu kasus per tahun. Kendalanya, deteksi dini penyakit yang bisa berdampak pecahnya pembuluh darah di saraf itu masih lemah.
Pada kasus aneurisma tertentu, ada yang disebut aneurisma raksasa. Sebab, ukuran gelembung dalam dinding pembuluh darah mencapai 2,5 cm. Eka menyatakan pernah menangani 70 kasus aneurisma raksasa. Untuk kasus aneurisma pada umumnya, selama 17 tahun karirnya, dia pernah menangani 600 kasus.
"Enam ratus kasus aneurisma dalam 17 tahun itu angka yang kecil," kata pemegang rekor Muri sebagai dokter yang pertama berhasil melakukan bedah batang otak pada 2001 itu.
Mengenai prestasi yang diganjar Muri tersebut, Eka menceritakan, saat itu ada pasien berumur sekitar 21 tahun dari Tangerang. Pria itu sehari-hari bekerja sebagai kuli panggul di Pelabuhan Merak, Banten.
"Pria tersebut tiba-tiba mengeluh sakit yang hebat di kepalanya. Dia lantas pingsan," jelas Eka.
Waktu dideteksi, ternyata ada tumor sebesar buah anggur di batang otaknya. Setelah itu, pria tersebut ditangani Eka. Waktu itu belum ada operasi bedah batang otak di Indonesia. Setelah berkoordinasi dengan keluarga, tim dokter yang dipimpin Eka melakukan pembedahan.
Operasi batang otak memang cukup sulit. Sebab, batang otak berposisi di tengah kepala dan agak mendekati leher. Untuk mengambil tumor, tempurung kepala bagian belakang pasien dibuka. Setelah melalui operasi beberapa jam, operasi batang otak itu dinyatakan sukses.
"Komunikasi saya dengan pasien itu masih terjalin sampai sekarang. Dia sering mengirimi saya gereh (ikan asin, Red)," ungkapnya.
Terkait dengan perkembangan ilmu medis bedah saraf, Eka menyatakan, Indonesia bisa bersaing dengan negara-negara maju seperti Jepang, Eropa, atau AS. Asalkan, perlengkapan medis yang disiapkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan bedah saraf di Indonesia distandarkan dengan negara-negara maju itu.
"Selama alatnya sama, manusianya bisa belajar," tegasnya.
Eka juga mengkritisi kebijakan pencetakan dokter-dokter spesialis di Indonesia. Selama ini, hanya fakultas kedokteran di kampus negeri yang berhak mencetak dokter-dokter spesialis.
Untuk dokter spesialis bedah saraf, misalnya, jumlahnya saat ini sekitar 250 orang. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 250 juta jiwa, rasionya 1 dokter spesialis bedah saraf berbanding 1 juta penduduk. (wan/c5/kim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Benturan Ombak Bikin Panik, Hangatkan Badan dekat Mesin Kapal
Redaktur : Tim Redaksi