jpnn.com, JAKARTA - Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra mengaku heran dengan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan (Ditjen Yankes) yang menerbitkan surat edaran tentang penentuan tarif tertinggi tes cepat atau rapid test sebesar Rp 150 ribu.
"Tidak ada sangkut pautnya Ditjen Yankes mengeluarkan surat edaran terkait tarif. Itu kesesatan yang nyata menurut kami," kata Hermawan saat menjadi pembicara di dalam diskusi virtual dengan tema COVID-19 dan Ketidaknormalan Baru, Sabtu (11/7).
Menurut dia, seharusnya Ditjen Yankes lebih menekankan kepada standarisasi rapid test ketimbang menentukan tarif.
Paling tidak, kata dia, Ditjen Yankes menentukan merk rapid test yang bisa dipakai oleh tenaga kesehatan.
BACA JUGA: Ibu Rumah Tangga Bersama Teman Pria Beraksi, Tak Sadar Wajah Terekam CCTV
"Penggunaan standarnya apa, karena rapid test ini banyak merek-nya," ucap dia.
Soal tarif rapid test, kata dia, pemerintah bisa menyerahan kepada Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI).
BACA JUGA: Ingat ya, Virus Corona Tidak Takut Suhu Panas
Organsiasi inilah yang melakukan penelitian soal tarif, karena BPJS dan JKN tidak menjamin rapid test.
"Kalau pun terkait tarif, serahkan ke rumah sakit. PERSI bisa diundang. PERSI yang melakukan orientasi, karena hal itu tidak di-cover BPJS, JKN tidak menjamin rapid," ucap dia.
Pada dasarnya, lanjut dia, rapid test itu memang tidak berguna dilakukan individu atau kelompok masyarakat. Hermawan menyebut sebuah kesesatan jika rapid test dilakukan atas permintaan pribadi.
Menurut dia, rapid test bagian dari upaya survei dan bagian dari instrumen kesehatan masyarakat.
Rapid test bukanlah instrumen pengujian diagnostik kasus coronavirus disease 2019 (COVID-19).
"Jadi rapid tidak boleh dilakukan individu, kelompok masyarakat atau perusahaan. Rapid hanya boleh dilakukan untuk kebutuhan penyelidikan epidemiologi dan untuk perencanaan strategi berikutnya," terang dia.
Hermawan pun mengkritisi Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, karena menjadikan hasil rapid test sebagai prasyarat di dunia penerbangan.
Menurut dia, ketentuan itu sebuah kesalahan fatal, mengingat rapid test tidak bisa diandalkan untuk menelusuri kasus COVID-19.
"Maka tidak heran ditemukan penerbangan di pesawat malah lolos COVID-19 positif. Nah, ini sesuatu yang akhirnya, ambyar deh. Kami tidak mau menyalahkan dan menyesali, yang mau saya sampaikan adalah konsultasikan kepada pakar yang tepat berkaitan dengan kebijakan dan mekanisme penggunaan alat," timpal dia.(mg10/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan