jpnn.com, CIREBON - Masyarakat Cirebon tak asing dengan tradisi Azan Pitu, seruan menandai masuknya salat yang dikumandangkan oleh tujuh (pitu) orang.
Tradisi itu masih kental, terutama di Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
BACA JUGA: Kapan Harus Berhenti Sahur? Saat Imsak atau Azan Subuh?
Masjid yang juga dikenal dengan Masjid Agung Kasepuhan atau Masjid Agung Cirebon itu terletak di dalam kompleks Keraton Kasepuhan, Cirebon.
Masjid itu didirikan oleh Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), arsiteknya Sunan Kali Jaga, dan rampung pada 1480. Berarti usia masjid kini 541 tahun.
BACA JUGA: Masjid Ini Saksi Sejarah Pangeran Diponegoro, di Dalamnya Ada Sumur Menyimpan Harta
Pada mulanya, masjid ini didirikan sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Cirebon. Sesuai dengan titipan dari Sunan Gunung Jati yang berbunyi ingsun titip tajug lan fakir miskin, kurang lebih berarti jangan lupakan masjid dan fakir miskin.
Kembali ke tradisi azan pitu.
BACA JUGA: Ada Silsilah di Surau Tinggi Calau, Nabi Muhammad Urutan Pertama, Syekh Abdul Wahab ke-33
Kisah Azan Pitu sebenarnya bermula dari mewabahnya suatu penyakit yang mematikan hingga menewaskan salah satu istri Sunan Gunung Jati, yaitu Nyi Mas Pakungwati.
Sehingga, dikumandangkanlah Azan Pitu tersebut.
Hingga sekarang, azan pitu masih dilakukan saat Salat Jumat.
Azan pitu bukan sekadar tradisi yang diturunkan sejak Sunan Gunung Jati. Ada nilai spiritual di dalamnya.
Orang yang mengumandangkan azan bukan sembarang orang. Dia harus menjadi petugas kaum di Masjid Sang Cipta Rasa.
Menjadi petugas kaum itu biasanya turun-temurun. Namun, kalau tidak ada yang melanjutkan, maka dicari kerabat atau orang yang berada di sekitar Masjid Agung.
Azan pitu berhubungan saat Sunan Gunung Jati mendirikan Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Sejak abad ke-14 Masehi azan pitu sudah dikumandangkan. Khusus pada Salat Jumat. Azan ini dimulai ketika adanya kisah menjangan gulung yang menyebarkan racun di masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Adanya racun tersebut membuat para jemaah ketakutan datang ke masjid. Hingga racun itu membuat salah satu muazin meninggal dunia.
Konon ada yang menyebar racun itu untuk menguji kedigdayaan Sunan Gunung Jati.
Guna menangkal racun tersebut, Sunan Gunung Jati menyuruh tujuh santrinya mengumandakan azan secara bersamaan. Dari situlah, azan pitu dikumandangkan saat Salat Jumat sebagai upaya untuk menolak bala.
Azan pitu tak bedanya dengan azan lainnya. Hanya menggunakan satu nada. Tak ada lenggok-lenggok nada.
Pelaksanaan azan pitu sendiri dilakukan saat azan pertama. Sementara untuk azan kedua, hanya dilakukan satu orang.
Setelah azan pertama jemaah melakukan salat sunah, baru mengumandangkan azan kedua. Lalu khatib naik ke mimbar.
Menurut Bajuri, salah satu muazin di Masjid Agung Sang Cipta Rasa, setahun setelah pandemi Covid-19 di masjid ini sudah menyelenggarakan salat berjemaah lima waktu dan jumatan seperti biasa.
Memasuki Ramadan kali ini, diadakan kembali Tarawih, yang pada tahun sebelumnya tidak dapat dilaksanakan karena pandemi.
Aktivitas ibadah berjemaah tersebut dengan menerapkan protokol pencegahan Covid-19 yang dianjurkan pemerintah.
“Sama seperti Tarawih, ada beberapa kegiatan yang kembali dilaksanakan tahun ini, misalnya Salat Tahajud, buka puasa bersama dan Nuzulul Quran. Kegiatan tersebut kembali dilaksanakan mengingat adanya pelonggaran aktivitas terutama bagi umat muslim dalam menjalankan aktivitasnya,” kata Bajuri seperti dikutip dari Zetizen Radar Cirebon. (jerrell)
Redaktur & Reporter : Adek