jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon merespons ide penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode yang muncul dalam wacana amendemen UUD 1945. Anggota Komisi I DPR Fraksi Partai Gerindra itu tegas menyatakan bahwa ide itu harus dihentikan sejak awal.
"Meski pimpinan MPR mengatakan ini bagian dari aspirasi publik yang tak boleh dibunuh, saya melihat kemunculan wacana ini patut dihentikan sejak awal," kata Fadli, Minggu (1/12).
BACA JUGA: Soal Jabatan Presiden Tiga Periode, Wasekjen PPP Beri Respons Begini
Fadli menilai wacana ini seperti membuka kotak pandora dan akan memicu diskursus lain yang substansial seperti pemilihan langsung atau oleh MPR, soal bentuk negara bahkan hal yang mendasar lainnya.
Dia mengingatkan prinsip dasar ketika mendiskusikan kekuasaan dalam konteks demokrasi adalah pembatasan dan kontrol, bukan malah justru melonggarkannya.
BACA JUGA: Masa Jabatan Presiden Tiga Periode, Pak SBY dan Jokowi Mau Maju Lagi?
"Sebab, meminjam (pernyataan) Lord Acton, kekuasaan itu cenderung menyeleweng, dan kekuasaan yang absolut, kecenderungan menyelewengnya juga absolut," kutip mantan wakil ketua DPR itu.
Fadli mengatakan dalam diskusi mengenai kekuasaan, setiap orang bahkan harus dicurigai sebagai orang jahat yang perlu dikontrol. Menurutnya, ini berlaku juga bagi orang besar atau negarawan.
BACA JUGA: Biarlah Wacana Jabatan Presiden Tiga Periode Berkembang
"Ide penambahan periode jabatan presiden ini tak masuk kriteria untuk bisa didiskusikan lebih jauh. Ide tersebut bahkan harus segera didiskualifikasi dari perbincangan. Harus ditolak sejak awal," kata Fadli.
Dia menyatakan bahkan kini ada yang mengusulkan amendemen total termasuk Pembukaan UUD NRI 1945. Dia menilai itu lontaran yang miskin wawasan. Menurutnya, wacana liar ini bisa menyasar ke urusan dasar negara dan bentuk kesatuan atau federasi.
Fadli menjelaskan Batang Tubuh UUD NRI 1945 memang bisa diamendemen oleh anggota MPR, tetapi kebebasan itu tak berlaku bagi Pembukaan (Preambule).
Menurutnya, Pembukaan UUD 1945 memuat "staatidee" berdirinya RI, dasar-dasar filosofis serta normatif yang mendasari UUD. "Sehingga mengubah pembukaan sama artinya dengan membubarkan negara ini," tegasnya.
Pembukaan UUD 1945 ini seperti naskah Proklamasi, yang tak bisa diubah. "Kecuali, memang ingin membubarkan negara ini dan mendirikan negara baru yang berbeda," ungkapnya.
Jadi, Fadli menyatakan meski punya kebebasan untuk mengeksplorasi, setiap gagasan yang dilontarkan tidak boleh ngawur. Pernyataan-pernyataan semacam itu menjadi iklan yang buruk bagi rencana amendemen kelima UUD 1945.
"Publik jadi akan mempertanyakan kompetensi mereka yang akan melakukan amendemen," kata anak buah Prabowo Subianto di Partai Gerindra itu.
Lebih jauh dia mengatakan di tengah terus merosotnya indikator demokrasi dan kebebasan sipil di negara Indonesia, setiap upaya yang bisa memberi jalan bagi kembalinya otoritarianisme harus ditutup. "Ide penambahan periode jabatan presiden adalah salah satunya," jelasnya.
Dia menambahkan dalam penelitian yang dipublikasikan University of Virginia School of Law baru-baru ini (2019), “The Law and Politics of Presidential Term Limit Evasion”, dinyatakan bahwa secara global tidak kurang dari sepertiga presiden petahana yang sudah habis batas periode jabatannya berupaya mengubah konstitusi negaranya untuk tetap mempertahankan kursi kekuasaannya. Kecenderungan ini bukan hanya terjadi di negara-negara non-demokratik, tapi terjadi juga di negara-negara demokratik.
Studi tersebut juga menyebutkan lima strategi konstitusional yang kerap digunakan presiden petahana untuk tetap berkuasa. Pertama, melalui amendemen konstitusi. Strategi ini paling banyak digunakan, yakni 67 persen.
Kedua, melalui penafsiran Mahkamah Konstitusi tentang batasan masa jabatan 10 persen. Ketiga, membuat konstitusi baru delapan persen. Keempat, memanfaatkan “faithful-agent”, yakni suksesor yang berada di bawah kendali petahana 10 persen. Kelima, melalui strategi penundaan pelaksanaan pemilu 5 persen.
Nah, Fadli menyatakan jika merujuk pada penelitian tersebut, dalam konteks Indonesia strategi yang bisa digunakan petahana untuk memperpanjang kekuasaannya adalah dengan amandemen konstitusi. Sebab, petahana tak mungkin menggunakan strategi kedua, karena pada 2018 lalu MK sudah pernah menolak permohonan uji materi Pasal 169 huruf (n) dan Pasal 227 huruf (i) UU Pemilu tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden.
Dengan adanya putusan tersebut, maka penafsiran tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden sudah jelas, yaitu hanya dua periode, sesuai dengan Pasal 7 UUD 1945.
Memang, kata Fadli, strategi ketiga, keempat, dan kelima masih terbuka digunakan, tetapi sejauh ini wacana-wacana tersebut belum pernah muncul ke permukaan. Yang sudah muncul adalah dengan menunggangi agenda amandemen kelima UUD 1945.
Sejauh ini memang belum ada partai atau pejabat negara yang secara tegas mengusung wacana tersebut, tetapi ke depannya kalu publik bersikap toleran, bukan tidak mungkin isu penambahan periode jabatan presiden ini akan terus digulirkan.
"Saya berharap publik mendiskualifikasi wacana ini dari perbincangan. Sebab, yang kita butuhkan saat ini meremajakan kembali reformasi, bukan malah menarik mundur kembali reformasi," paparnya.
Menurut Fadli, kalau wacana tersebut dibiarkan hidup, dikhawatirkan harga politiknya sangat mahal. Ini pernah terjadi di Paraguay pada 2018, Burkina Faso di 2015, dan Malawi pada 2002. "Jadi, sudahlah, jangan beri rakyat wacana ngawur yang bisa memundurkan bahkan mematikan demokrasi," pesan Fadli.
Lagi pula, lanjut dia, ide penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode akan membuka kotak pandora. Sebagian orang mungkin akan menuntut pembahasan ulang dasar negara, dan hal-hal tidak produktif yang akan menenggelamkan pada pertengkaran dan kehancuran.
"Saya berharap wacana tersebut tidak diteruskan. Pemerintah sebaiknya fokus benahi ekonomi untuk kesejahteraan rakyat," pungkasnya. (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy