Ade Armando Lagi

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Selasa, 02 November 2021 – 13:28 WIB
Ade Armando. Foto: Antara/Fianda Rassat

jpnn.com - Ade Armando tidak dikenal sebagai seorang sufi atau pengikut tarikat. Bukan juga pengamal mistisisme Jawa.

Dia lebih dikenal sebagai aktivis media sosial yang masuk dalam kubu pendukung berat rezim Jokowi.

BACA JUGA: Muhammad Kece Dihajar, Novel Bamukmin Sebut Nama Abu Janda Hingga Ade Armando

Ade Armando dikenal sebagai panglima buzzer garis keras pendukung Jokowi bersama Denny Siregar, Abu Janda, Eko Kuntadi, dan Rudy Kamri.

Sebagai akademisi Ade Armando dikenal sebagai pengajar komunikasi di Universitas Indonesia (UI).

BACA JUGA: Ade Armando Minta BPOM Jangan Menghambat Peredaran Ivermectin

Capaian akademiknya yang paling banyak dikenal publik adalah sebagai profesor gagal, karena Dewan Guru Besar UI menolak memberinya gelar guru besar.

Apakah Ade Armando pernah mempelajari sejarah dan ajaran Syekh Siti Jenar, atau apakah dia pernah membaca pemikiran Mansur Al-Hallaj?

BACA JUGA: Habib Rizieq Divonis 8 Bulan, Ade Armando Cuma Bilang Begini

Setidaknya selama ini cuitannya di medsos tidak menunjukkan hal itu.

Namun, seperti biasanya, dia membuat cuitan yang mengagetkan banyak orang. Dia mengatakan bahwa dirinya seorang muslim, tetapi tidak percaya bahwa umat Islam wajib menjalankan syariat.

"Saya beragama Islam, tetapi saya tidak percaya bahwa umat Islam harus menjalankan syariat Islam,’’ kata Ade Armando di kanal Youtube Cokro TV (26/10).

Pernyataan-pernyataan Armando lebih banyak bersifat provokasi ketimbang memberi argumen filosofis dan logis.

Armando tidak bisa membedakan antara konsep mukmin dan muslim, antara orang beriman dengan orang ber-Islam. Armando tidak menjelaskan secara konseptual mengenai rukun iman dan rukun Islam.

Definisi utama muslim adalah menjalankan lima rukun Islam; bersyahadat, melakukan salat, berpuasa, berzakat, dan berhaji bagi yang mampu. Mereka yang tidak menjalankan kelima rukun itu berarti bukan muslim.

Karena itu klaim Armando sebagai muslim gugur secara otomatis. Armando melakukan kesalahan pikir yang mendasar karena tidak memahami definisi.

Salah pikir yang mendasar ini oleh Rocky Gerung disebut sebagai logical fallacies. Orang-orang yang salah pikir karena salah logika inilah yang oleh Gerung disebut dungu.

Kalau tidak menjalankan syariat, lantas apa yang dilakukan Armando untuk membuktikan keislamannya? Mungkin dia menjalankan tarekat khusus yang punya ajaran membebaskan muslim dari syariat.

Mungkin dia sudah mencapai maqam makrifat, sehingga sudah mengenal Allah, atau malah mungkin dia sudah sampai pada level haqiqat, mengetahu kebenaran dengan sebenar-benarnya dan sudah menyatu dengan Allah.

Dalam tradisi sufisme Islam, ada Syekh Siti Jenar yang mengajarkan konsep manunggaling kawula gusti, hamba sudah menyatu dengan Tuhan dan karena itu tidak perlu menjalankan syariat.

Ajaran ini dianggap kafir oleh para wali penyebar Islam dan karena itu Siti Jenar dihukum mati.

Para peminat tasawuf, sufisme, dan mistisisme Jawa, umumnya mengenal tokoh Syekh Siti Jenar yang hidup di Jawa pada abad ke-15 bersamaan dengan para Wali Songo.

Syekh Siti Jenar adalah tokoh kontroversial dalam sejarah perkembangan Islam di Jawa. Ia hidup di masa para Wali Songo dan sama-sama mengajarkan Islam di Jawa.

Namun, ajaran Syekh Siti Jenar dianggap menyimpang dari syariah yang didakwahkan oleh para Wali Songo.

Pendekatan mistis yang didakwahkan Syekh Siti Jenar bertentangan dengan pendekatan syariah para Wali Songo.

Sembilan wali pendakwah Islam itu mengajarkan syariat Islam dalam lima rukun Islam. Namun, Siti Jenar malah mengajarkan bahwa orang Islam tidak perlu menjalankan syariat rukun Islam.

Siti Jenar mengajarkan konsep mistis manunggaling kawula gusti, menyatunya hamba dengan Tuhan. Konsep ini diperkenalkan oleh ahli sufi Mansur Al-Hallaj yang hidup di wilayah Iran pada abad ke-10.

Ia mendakwahkan konsep wihdatul wujud, penyatuan wujud antara manusia dengan Tuhan.

Karena hamba dan Tuhan sudah menyatu maka manusia tidak perlu lagi menjalankan syariat seperti salat, puasa, dan zakat. Ketika manusia sudah sampai pada penghayatan tertinggi mengenai eksistensi Tuhan maka manusia bisa menyatu dengan Tuhan.

Unsur-unsur ketuhanan ada pada diri manusia. Dengan memahami ketuhanan sampai ke tingkat makrifat, manusia akan menyatu dengan tuhannya, dan pada saat itulah manusia terbebas dari kewajiban syariat, karena dia sudah menyatu dengan Tuhan.

Begitu inti ajaran wihdatul wujud Al-Hallaj. Ia pun mengeklaim sebagai Tuhan dengan ungkapannya Ana al-Haqq, akulah Sang Kebenaran. Klaim itu dilakukan karena dia mengaku sudah menyatu dengan Tuhan, dan karena itu dia mengeklaim sebagai Sang Kebenaran.

Pandangan mistis ini ditentang keras oleh semua ulama syariat yang hidup pada masa Al-Hallaj. Ia pun dituntut di pengadilan dan diminta menghentikan ajarannya. Al-Hallaj menolak hingga akhirnya dijatuhi hukuman gantung sampai mati.

Lima abad kemudian Syekh Siti Jenar di tanah Jawa mendakwahkan konsep yang sama. Sebelum Islam masuk ke Jawa, ajaran Hindu dan Buddha sudah terlebih dahulu diterima secara luas di kalangan masyarakat dan raja-raja.

Para Wali Sembilan yang mendakwahkan Islam melakukan beberapa kompromi untuk menyesuaikan beberapa ajaran Islam dengan ajaran Hindu dan Buddha.

Tradisi Hindu-Buddha yang sudah mengakar di masyarakat tidak dibongkar habis, tetapi diberi nafas Islam. Sunan Kalijaga, salah satu dari Wali Songo, sangat terkenal dengan strategi dakwah budaya yang akomodatif, antara lain dengan menjadikan pertunjukan wayang sebagai sarana dakwah Islam.

Unsur-unsur budaya Hindu-Buddha diadopsi sebagai strategi dakwah. Namun, syariat, dalam bentuk rukun Islam yang lima, tetap diwajibkan sesuai dengan ketentuan Islam.
Dalam tradisi wayang kalimat Syahadat digambarkan sebagai jimat yang sangat sakti dan disebut sebagai Jimat Kalimasada atau jimat Kalimat Syahadat.

Saalat sebagai kewajiban utama diwajibkan pelaksanaannya lima kali sehari, dan disebut sebagai sembayang dari kata sembah hyang atau menyembah Hyang Tuhan yang sebelumnya menjadi praktik Hindu.

Syekh Siti Jenar mengambil jalan yang bertentangan dengan para Wali Songo. Siti Jenar mengajarkan bahwa manusia tidak perlu menjalankan syariat karena manusia dan Tuhan adalah zat yang manunggal, menyatu.

Kewajiban syariat tidak perlu dijalankan di dunia, dan nanti setelah meninggal dunia barulah kewajiban syariat itu dijalankan.

Ajaran ini menimbulkan heboh. Dewan Wali Songo bersidang dipimpin oleh Raden Patah yang juga Sultan Demak.

Sidang memutuskan bahwa ajaran Siti Jenar sesat. Siti Jenar harus bertobat dan menghentikan penyebaran ajarannya. Siti Jenar keukeuh dengan pendapatnya, dan karena itu Dewan Wali Songo menjatuhkan hukuman mati.

Ada banyak versi mengenai eksekusi mati terhadap Siti Jenar. Satu versi menyebutkan Raden Patah sebagai pemimpin sidang menugaskan Sunan Kalijaga untuk menjadi eksekutor yang kemudian mengeksekusi Siti Jenar dengan keris milik Siti Jenar sendiri.

Sejarawan Muhammadiyah, Prof. Abdul Munir Mulkhan yang melakukan studi intensif terhadap pemikiran Siti Jenar, berpendapat bahwa Siti Jenar tidak dieksekusi oleh Sunan Kalijaga, melainkan memilih mati dengan mematikan dirinya sendiri.

Ketegangan antara syariat dan mistisisme masih terus berlangsung sampai sekarang. Kita tidak tahu apakah Ade Armando penganut Syekh Siti Jenar atau bukan. Atau dia paham konsep syariat dan hakikat atau tidak.

Para ulama syariat juga tidak perlu menjatuhkan hukuman mati kepada Ade Armando, karena nanti medsos jadi sepi kalau tidak ada Ade Armando.

Ade Armando bukan Syekh Siti Jenar. Ade Armando memang menjalankan praktik ‘’manunggaling kawula gusti’’, tapi bukan seperti konsep Siti Jenar. Armando sebagai kawula sudah manunggal (menyatu) dengan gusti (penguasa) rezim Jokowi. (*)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler