Ade Scaf penasaran saat dipanggil ke kantor polisi di Port Hedland, Australia Barat, karena adanya sejumlah nakhoda perahu Indonesia yang mogok makan.

"Dalam hati saya bilang, wah gayaan banget nih orang Indonesianya," ujar Ade kepada Farid Ibrahim dari ABC Indonesia.

BACA JUGA: Dokter di Tiongkok Disarankan Tidak Menulis COVID Sebagai Penyebab Kematian

"Saat bertemu mereka saya tanya, kalian dikasih makan gak? Iya bu, katanya. Terus, kenapa kalian mogok makan? Mereka jawab, kami ini orang Islam, tapi kami diberi sandwich dengan daging babi," jelasnya.

Menurut sosok yang bernama lengkap Yayah Warsiyah Scaf, persoalan mogok makan para WNI yang ditahan karena masuk ke Australia secara ilegal itu terselesaikan setelah ia memasakkan makanan yang dibelinya dari dana yang disiapkan polisi.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Presiden Vietnam Mengundurkan Diri Karena Dugaan Kasus Korupsi

"Polisinya bilang kamu hebat juga ya, bisa membuat para tahanan ini langsung makan," katanya seraya menambahkan bahwa ini hanya kesalahpahaman budaya semata.

Pengalaman Ade membantu penyelesaian masalah yang dialami WNI di Australia Barat selama puluhan tahun telah diakui oleh Pemerintah Indonesia.

BACA JUGA: Bendera Rusia dan Belarusia Dilarang di Arena Australia Terbuka, Petenis Ukraina Tak Mau Bersalaman

Pada awal Januari 2023, Ade Scaf di Perth bersama firma hukum Kabo Lawyers di Melbourne, dianugerahi Hassan Wirajuda Pelindungan WNI Award (HWPA) tahun 2022 oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, karena keduanya dipandang telah berjasa memberikan perlindungan kepada WNI yang mengalami permasalahan di Australia.

"Saya tidak bisa mengklaim penghargaan ini sebagai hasil kerja saya sendiri, karena dari setiap kegiatan yang saya lakukan selama ini dalam membantu WNI, selalu ada orang lain yang terlibat," kata Ade.

Baginya, pernghargaan ini menjadi bukti bahwa ternyata masih banyak orang baik yang selalu bersedia mengulurkan tangan untuk membantu sesamanya, sepanjang mereka mengetahui adanya permasalahan tersebut.

Ketika tim penilai dari HWPA meminta bukti-bukti kegiatannya, Ade terus terang menyampaikan bahwa dirinya tidak menyimpan bukti, karena tujuan utamanya memang semata-mata membantu para WNI yang bermasalah.

"Ketika pertama kali saya tiba di kota kecil bernama Port Hedland tahun 1994, di situ ada detention centre dan banyak nakhoda pembawa manusia perahu itu orang Indonesia. Saya sudah mulai aktif. Kalau ada manusia perahu yang datang dan nakhodanya orang Indonesia, saya akan diajak ngobrol," tuturnya.

Selain mengajarkan Bahasa Indonesia kepada para pegawai Australia dari Imigrasi dan Border Force yang dulu dinamakan Custom Officers, Ade juga mendirikan The Pilbara Indonesia Australia Friendship Group. Dari sinilah kerja voluntirnya bermula hingga ia pindah ke Perth di tahun 2001.

Dia juga pernah membantu seorang perempuan Indonesia, yang suaminya belakangan memiliki pasangan baru lagi. Karena kesal, perempuan itu pun merobek paspor suaminya, sehingga diajukan ke pengadilan.

"Saya memberikan keterangan bahwa orang ini tidak mengerti kalau paspor itu dokumen milik negara sehingga akhirnya dia dibebaskan," ujar Ade.

Tapi Ade pernah menangani kasus yang lebih berat dan rumit. Seorang laki-laki Indonesia menikah dengan perempuan Australia kemudian mereka punya anak. Saat terjadi perpisahan, anaknya itu kadang-kadang diasuh ibunya dan kadang-kadang sama bapaknya.

"Si bapak ini dilapor ke polisi oleh istrinya dengan tuduhan melakukan pelecehan seksual kepada anaknya sendiri. Saya tanya mengapa dia dilaporkan, dan dijawab gara-gara dia cebokin anaknya karena masih kecil dan belum bisa cebok sendiri," paparnya.

"Di pengadilan saya melakukan pembelaan kepada pria itu, menjelaskan kepada hakim bahwa saya ini seorang ibu yang juga melakukan apa yang dilakukan oleh si bapak itu. Kalau dia akan dihukum maka saya pun harus dihukum," jelasnya.

"Karena kasih cebok anak sendiri itu yang dilakukan oleh ibu dan ayah yang baik dalam kebiasaan masyarakat Indonesia," tambah Ade.

"Alhamdulillah dia pun akhirnya dibebaskan."

Kerja relawan Ade Scaf dalam membantu mengatasi permasalahan WNI terus berlanjut di Kota Perth sampai sekarang. Rumahnya bahkan seringkali menjadi tempat tinggal sementara bagi warga asal Indonesia yang mendapatkan masalah sampai kasusnya mendapatkan penyelesaian.

"Saya  melakukan semua ini karena rasa cinta saya dengan Indonesia," ujar Ade Scaf.Perlunya memperoleh informasi yang tepat

Sosok Konfir Kabo yang merupakan Managing Partner dari firma hukum Kabo Lawyers juga telah lama dikenal luas di kalangan warga asal Indonesia di Kota Melbourne.

Meski bergerak di bidang layanan hukum secara komersial, namun hal itu tidak menjadi halangan bagi Konfir dalam mengulurkan tangan membantu mengatasi permasalahan yang dialami WNI di kota ini.

"Suatu kehormatan bagi kami karena ini merupakan penghargaan bergengsi. Artinya, ini menjadi pengakuan atas kerja yang kami lakukan selama ini," katanya kepada Farid Ibrahim dari ABC Indonesia.

Dijelaskan, setelah ada pihak yang menominasikannya, ada tiga juri yang datang dari Indonesia, untuk melakukan penilaian terhadap Kabo Lawyers dalam soal bagaimana sebuah firma hukum private bisa membantu perlindungan hak-hak orang Indonesia di luar negeri.

"Mereka juga melakukan wawancara terpisah dengan klien kami yang merasa bahwa hak-haknya telah kami lindungi," jelas Konfir, pria asal Makassar yang telah puluhan tahun tinggal di Australia.

Baginya, penghargaan HWPA ini menggarisbawahi bahwa orang biasa pun bisa memberikan perlindungan terhadap hak-hak orang Indonesia di negara ini, tidak perlu harus dari kalangan LSM atau organisasi tertentu saja.

"Tim penilai melihat kasus-kasus yang kami tangani selama bertahun-tahun dan juga konsistensi dalam menangani kasus-kasus tersebut, bukan hanya dalam satu atau dua tahun," ujarnya.

Dari pengalamannya, Konfir menjelaskan bahwa banyak orang Indonesia di sini tidak memperoleh informasi yang tepat. Makanya mereka bisa dieksploitasi, baik oleh sesama orang Indonesia maupun dari negara lain.

"Sama saja misalnya ada bule datang ke Jakarta dan bergantung pada informasi yang tidak tepat, maka kehidupan mereka pun tidak akan lancar dan bisa saja mereka juga dieksploitasi di sana," katanya.

"Menurut saya, permasalahannya adalah bagaimana memberikan mereka informasi yang tepat dan dimana mendapatkannya, apakah melalui website atau melalui lembaga-lembaga pemerintah, dan selanjutnya bagaimana mereka mengatasi sendiri masalahnya berdasarkan informasi tersebut," papar Konfir.

"Misalnya ada mahasiswa yang mengalami isu dengan landlord atau pemilik apartemen yang mereka sewa. Saya hanya menyampaikan agar mereka pergi ke Tenancy Tribunal, download formulir dan isi formulirnya, mungkin biayanya 30-an dolar dan ajukan kasusnya. Biasanya kasusnya akan diputuskan dalam waktu yang singkat. Jadi tidak perlu pakai pengacara," ungkapnya.

"Banyak teman-teman kita asal Indonesia yang tidak memiliki dokumen, yang di masa lalu dinamakan pendatang ilegal dan sekarang mereka disebut undocumented. Mereka hidup dalam ketakutan. Mereka tidak menggunakan paspor, visa, tidak punya kartu identitas yang sah," jelas Konfir. 

Kasus paling berkesan yang pernah ditanganinya, yaitu ketika seorang wanita Indonesia datang dengan paspor yang tidak benar yang dia peroleh dari calo, katanya dengan membayar sampai Rp200 juta. Wanita itu datang ke Australia untuk kerja. Belakangan dia sadari bahwa paspornya tidak sesuai dengan namanya.

"Akhirnya ada yang menyarankan agar wanita itu mengajukan permohonan visa perlindungan, yang seringkali disalahpahami sebagai bridging visa padahal ini visa yang buruk untuk diapply karena hampir mustahil untuk mendapatkannya kalau yang apply orang Indonesia," katanya.

"Wanita itu kemudian menjadi penduduk yang tidak memiliki dokumen yang sah di sini. Untungnya, dia bertemu dengan orang Australia dan mereka kemudian memiliki bayi. Mereka datang ke kami dan KJRI dan sekarang permasalahannya telah selesai," kata Konfir.

"Kami terkesan dengan kasus ini karena merasa kami telah berbuat sesuatu untuk menolong dia dan khususnya si bayi," ujarnya.

Konfir menyarakan bagi warga Indonesia di luar negeri yang punya masalah legal, jangan takut untuk menghubungi pihak perwakilan Pemerintah Indonesia.

"Atau paling tidak berusahalah untuk mendapatkan informasi yang tepat terkait dengan permasalahan yang dialaminya," paparnya.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bisnis Pernikahan di Australia Hidup Lagi Setelah Terhenti Tiga Tahun Karena COVID

Berita Terkait