Di masa sibuk di tengah gelombang penularan COVID di Beijing, seorang dokter yang bekerja di rumah sakit swasta melihat sebuah pengumuman yang ditempel di ruang perawatan intensif.

Pengumuman itu menyatakan dokter tidak dianjurkan menulis kegagalan pernapasan karena COVID di surat keterangan kematian. Bila pasien memiliki penyakit lainnya, maka penyakit tersebutlah yang harus disebutkan sebagai penyebab kematian.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Presiden Vietnam Mengundurkan Diri Karena Dugaan Kasus Korupsi

Demikian menurut pengumuman tersebut yang sudah dilihat sendiri oleh Reuters.

BIla dokter melihat kematian semata-mata disebabkan karena gangguan paru-paru disebabkan COVID, mereka harus melaporkan ke atasan, yang akan melakukan konsultasi dua tingkatan lagi sebelum sebab kematian karena COVID bisa dikukuhkan.

BACA JUGA: Bendera Rusia dan Belarusia Dilarang di Arena Australia Terbuka, Petenis Ukraina Tak Mau Bersalaman

Enam dokter di rumah sakit milik pemerintah lainnya mengatakan mereka juga mendapatkan perintah lisan untuk tidak menyebut alasan kematian karena COVID atau setidaknya menyadari bahwa rumah sakit mereka memiliki kebijakan seperti itu.

Beberapa sanak keluarga yang meninggal karena COVID mengatakan sebab kematian karena COVID tidak tercantum dalam sertifikat kematian dan beberapa pasien juga tidak menjalani tes COVID meski ketika tiba sudah menunjukkan berbagai gejala gangguan pernapasan.

BACA JUGA: Di Tengah Badai Covid-19, Ekonomi China Tumbuh 3 Persen

"Kami sudah menghentikan memasukkan sebab kematian karena COVID sejak pelonggaran pembatasan di bulan Desember," kata seorang dokter di rumah sakit pemerintah di Shanghai.

"Tidak ada gunanya karena hampir semua orang positif."

Perintah seperti itu menimbulkan kritikan dari para pakar kesehatan global dan juga Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa Tiongkok sengaja melaporkan angka kematian rendah padahal kasus di sana meningkat tajam setelah kebijakan ketat dilonggarkan awal Desember.

Hari Sabtu, pejabat Tiongkok mengatakan 60 ribu orang meninggal karena COVID di rumah sakit karena perubahan kebijakan tersebut yang berarti kenaikan 10 kali lipat dibandingkan laporan sebelumnya.

Namun masih jauh lebih rendah dari perkiraan para pakar internasional yang mengatakan Tiongkok akan mengalami kematian sekitar 1 juta orang karena COVID di tahun 2023.

Dokter yang dikutip dalam artikel ini menolak namanya disebutkan karena mereka tidak diizinkan berbicara kepada media.

Beberapa dokter mengatakan perintah tersebut berasal dari "pemerintah" namun tidak ada yang tahu dari departemen yang mana, hal yang umum terjadi di Tiongkok di mana mengenai penyebaran informasi mengenai hal yang sensitif dilakukan.

Tiga dokter lainnya di rumah sakit pemerintah di beberapa kota mengatakan mereka tidak mengetahui adanya perintah seperti itu.

Salah seorang di antaranya dokter senior di bagian gawat darurat di provinsi Shandong mengatakan dokter mengeluarkan sertifikat kematian berdasarkan alasan kematian sebenarnya namun "bagaimana melakukan pengkategorian" kematian tersebut adalah urusan rumah sakit atau pejabat lokal.Pengetesan dihentikan

Tujuh orang mengatakan kepada Reuters bahwa COVID tidak disebut dalam surat kematian dari anggota keluarga mereka yang meninggal baru-baru ini meski mereka sudah dites positif atau menunjukkan gejala terkena COVID.

Media sosial juga melaporkan hal yang sama.

Ketika seorang warga di Beijing bernama Yao membawa tantenya berusia 87 tahun yang positif terkena COVID ke rumah sakit pemerintah akhir Desember lalu setelah mengalami masalah pernapasan, dokter tidak bertanya apakah dia terkena virus dan tidak menyebut COVID sama sekali, kata Yao.

"Rumah sakit penuh dengan pasien, mereka semua berusia 80 atau 90-an, dan para dokter tidak memiliki waktu berbicara dengan pasien," kata Yao sambil menambahkan bahwa semua orang di sana menunjukkan gejala sama seperti penderita COVID.

Pasien termasuk tantenya mendapat pemeriksaan berbagai hal tetapi tidak dites COVID sebelum diberitahu mereka menderita radang paru-paru.

Namun rumah sakit mengatakan mereka kehabisan obat, sehingga tantenya disuruh dibawa pulang.

Sepuluh hari kemudian tantenya sembuh.

Para petugas kesehatan di rumah sakit pemerintah di beberapa kota di Tiongkok mengatakan tes PCR yang di masa kebijakan "zero COVID" dilakukan hampir tiap hari, sekarang sudah dihentikan.

Menurut dua pakar kepada Reuters, dengan tidak lagi melakukan tes mungkin akan cara terbaik untuk memaksimalkan sumber daya di saat rumah sakit kebanjiran pasien.

Ben Cowling epidemiolog di Hong Kong University mengatakan hampir semua pasien yang mengalami gangguan pernapasan akut terkena virus COVID,

"Karena obat anti viral tidak banyak tersedia, saya kira tes PCR tidak akan berpengaruh banyak terhadap penanganan pasien," katanya.

Reuters

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bisnis Pernikahan di Australia Hidup Lagi Setelah Terhenti Tiga Tahun Karena COVID

Berita Terkait