"Jika nanti keputusan MK sebelum pemilu tentunya tidak akan menggangu, tapi jika diputuskan berdekatan dengan Pilpres maka akan menjadi masalah yang bisa mengganggu tahapan pemilu," kata Agung kepada wartawan, di Press Room DPR, Jakarta, Senin (10/11).
Agung mengharapkan tentunya MK tidak mengugurkan hasil dari UU yang sudah dibuat DPR, sehingga tidak menimbulkan gejolak politik yang bisa menggangu tahapan pemilu"Namun, kalaupun ada perubahan di MK baik sebagian atau keseluruhan apapun keputusannya tetap harus ditaati," katanya.
Terkait dengan tuduhan yang disampaikan oleh sebagai penggugat UU Pilpres, Agung membantah bahwa UU Pilpres merupakan kongkalikong parpol besar dan oleh karenanya merupakan langkah mundur dalam menegakkan demokrasi
BACA JUGA: Pemerintah Telantarkan Pengungsi Atambua?
"UU itu bukan kemunduran terhadap pelaksanaan demokrasi karena tetap dijamin unsur demokrasinya dan hak rakyat tidak hilang.Menurutnya adanya peningkatan persyaratan pengajuan capres justru ditujukan guna meningkatkan menambah dari sebuah keputusan yang diambil rakyat dalam menggunakan haknya di pemilu
BACA JUGA: Film PKI Ampuh Cegah Makar
Pemaksaan itu bisa dikatakan jika calonnya Cuma satu.Dan oleh karenanya selama masih ada pilihan bagi rakyat untuk memili itu bukan pemaksanaan," tegasnya.Sementara itu jumlah calon presiden dan partai politik yang akan mengajukan judicial review terus bertambah
BACA JUGA: Persoalkan Prosedur, TPM Bentuk TPF
Untuk itu saat ini saya sudah melakukan pendekatan-pendekatan denganparpol-parpol peserta pemilu untuk bersama-sama mengajukan judicial review ke MK"Kita mengharapkan dalam waktu dekat ini upaya tersebut segera terwujud karena tim kuasa hukum kami juga sudah mengkaji berbagai aspek dan kelemahan UU Pilpres," tegasnya.
Sejumlah pengusul termasuk Notonegoro yang hendak mangajukan diri sebagai calon presiden (capres) berencana menggugat ketentuan yang ada dalam Pasal 9 UU Pilpres tentang Tata Cara Penentuan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang dianggap bertentangan dengan UUD’45.
“Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU Pilpres tersebut bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD’45Karena UUD’45 sama sekali tidak membatasi atau mensyaratkan seorang warga negara yang ingin maju sebagai capresKami menilai ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU Pilpres merupakan kejahatan dan pelanggaran konstitusi UUD’45,” ujarnya.
Menurut Notonegoro, kompromi politik yang dilakukan fraksi-fraksi di DPR dalam forum lobi tentang prosentase syarat pengajuan pasangan capres/ cawapres bukan saja merupakan kejahatan konstitusional, tapi juga pengkhianatan terhadap proses demokrasi dan membatasi hak-hak politik rakyat.
Notonegoro juga menambahkan, dengan persyaratan yang diatur dalam Pasal 9 UU Pilpres dapat dipastikan paling banyak hanya akan ada tiga atau empat pasangan capres/cawapres yang maju“Kalau sampai itu terjadi berarti rakyat hanya dijadikan alat legitimasi bagi parpol-parpol besar yang ingin berkuasa," katanya.(eyd)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Noordin Top Diusut Terus
Redaktur : Tim Redaksi