jpnn.com - Pekerjaan sebagai staf konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi menjadi salah satu titik penting dalam perjalanan hidup Agus Salim.
Setelah lulus terbaik dari Hogere Burgerschool (HBS), setara Sekolah Menengah Atas, Agus Salim sempat bekerja sebagai penterjemah, staf di perusahaan notaris dan Bereau voor Openbare Werken (BOW) atau Kementerian Pekerjaan Umum.
BACA JUGA: Mahasiswa Jangan Ragu Bermimpi Setinggi Langit, Tirulah Bung Karno, Hatta, hingga Agus Salim
Penghasilannya sebagai karyawan apalagi staf konsulat Belanda di Jeddah lebih dari cukup. Bisa hidup layak dan menabung.
Sebenarnya ada keiginan untuk bisa melanjutkan ke perguruan tinggi terutama fakultas kedokteran, salah satu pilihan adalah di Belanda.
BACA JUGA: Penjelasan Suradi Perihal âPanggung Demokrasi 1921: Agus Salim vs Semaoenâ
Bahkan informasi Agus Salim sebagai lulusan HBS terbaik se-Hindia Belanda saat itu telah mendorong R.A. Kartini untuk mengalihkan bea siswa yang diperolehnya kepada Agus Salim.
Padahal Kartini tidak mengenalnya secara langsung. Namun tawaran menarik ini ditolak oleh Agus Salim muda yang saat itu memiliki semangat menyala.
BACA JUGA: Tuan Rondahaim Berjuang Memerdekakan Bangsa
Ia merasa pengalihan bea siswa dari R.A. Kartini itu tidak tepat diterima karena bukan dia yang mengajukan.
Persoalan ekonomi dan beasiswa yang belum terlihat hilalnya membuatnya mengambil peluang bekerja sebagai staf Konsulat Belanda di Jeddah sesuai saran dari ayahnya.
Pilihan itu hasilnya luar biasa. Agus Salim yang berusia 22 tahun seperti memasuki kawasan lumbung ilmu.
Ia kemudian banyak berinteraksi dengan ulama-ulama besar seperti Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani.
Namun, pengalaman paling berkesan adalah saat berguru dengan pamannya Syech Achmad Khatib yang menduduki posisi sebagai imam dan guru besar mazhab Syafii di Masjidil Haram, Mekkah.
Sebagai murid seorang Imam Besar, Agus Salim belajar dengan tekun dan dikenal kritis. Mungkin karena latar belakang pendidikan sekolah Belanda Hogere Burgerschool, setiap hal selalu dipandang sisi rasionalnya.
Ia banyak melakukan perbandingan, mengkritisi, tidak sekedar mendengar atau meng-iyakan penjelasan gurunya.
Pengalaman belajar langsung di Mekkah termasuk dengan pamannya itu telah merubah Agus Salim sebagaimana ditulisnya kemudian di surat kabar Bendera Islam yang terbit 2 Mei 1927.
"Semasa itu keislamanku seolah-olah bawaan kebangsaan saja dan bukanlah menjadi agama keyakinan yang bersungguh-sungguh. Tetapi selama lima tahun di Saudi Arabia, saya lima kali naik haji dan bertambah dalam sikap saya terhadap agama, daripada tida percaya menjadi syak dan daripada syak menjadi yakin mengakui keadaan Allah dan agama Allah," demikian Agus Salim menulis.
Menjadi Wakil Rakyat
Sekembali dari Tanah Arab, Agus Salim menjadi anak muda yang lebih matang. Menyelesaikan pendidikan di sekolah Belanda, penguasaan bahasa asingnya makin mumpuni, Belanda, Inggris, Jerman, Prancis dan Jepang.
Lima tahun di Arab Saudi Agus Salim juga makin piawai berbahasa Arab ditambah bahasa Turki hasil interaksinya dengan sejumlah pihak dari negara transkontinental ini.
Bertambahnya pemahaman tentang Islam menjadi bekal tersendiri bagi Agus Salim yang kemudian dikenal sebagai pemikir Islam.
Ia juga berhasil memotret sejumlah persoalan keagamaan yang terjadi di tanah air yang menurutnya bersumber dari salah penafsiran, apabila dibiarkan bisa menjadi kemunduran bagi umat. Muncul tekad dalam hati Agus Salim untuk memperbaiki kondisi ini suatu saat nanti.
Peluang itu kemudian terealisasi ketika Agus Salim bergabung dengan organisasi Serikat Dagang Islam.
Ada dinamika menarik terjadi di kalangan umat Islam Hindia Belanda pada awal abad ke-20, munculnya organisasi yang menyuarakan pembaharuan umat.
Sarikat Dagang Islam memulainya tahun 1909 dan berubah menjadi Sarekat Islam atau SI tahun 1911. Kemudian 1912 muncul Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama 1926.
Sarekat Islam yang kemudian mengantarkan Agus Salim menjadi anggota Volksraad, parlemen di era kolonial yang menjadi cikal bakal DPR RI.
Sebagai Dewan Rakyat bentukan Belanda tentu saja persidangan di bawah kontrol kerajaan Belanda.
Namun Agus Salim pada saat itu memanfaatkan kesempatan untuk benar-benar memperjuangkan suara rakyat yang tertindas.
Dalam sebuah persidangan Volksraad, Agus Salim mengambil keputusan untuk berpidato menggunakan bahasa Melayu, menabrak keharusan berbahasa Belanda.
Semua paham Agus Salim piawai berbahasa Belanda, tapi kali ini atas dasar mengangkat harkat martabat bangsanya ia berpidato bahasa Indonesia - bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa persatuan Indonesia.
Agus Salim mengumandangkan suara yang paling peka dari rakyat yang dijajah. Ia menyampaikan fakta ketidakpedulian Belanda terhadap jajahannya, apa yang telah diputuskan dalam sidang Volksraad hanya jadi angin lalu bagi pemerintah.
"Apa yang diputuskan Volksraad tidak diindahkan pemeringah dan hilang lenyap saja," tekan dia.
Salah seorang anggota Volksraad dari wakil Zending, Bergmeyer mengajukan interupsi ketika Agus Salim bicara tentang persoalan ekonomi di Hindia Belanda.
Ia seakan mengatakan bahasa Melayu adalah bahasa kampungan tidak akan mampu menjelaskan apa itu ekonomi.
Agus Salim dengan tangkas menjawab," Kalau tuan mampu menjelaskan kata ekomomi dalam bahasa Belanda, saya akan jawab ekonomi dalam bahasa Melayu."
Anggota Volksraad berkebangsaan Belanda itu terdiam. Ia terjebak karena Agus Salim paham ternyata dalam bahasa Belanda juga belum ada padanan kata ekonomi.
Langkah Agus Salim berbahasa Indonesia dalam sidang Volksraad itu menjadi catatan sejarah penting dari rangkaian perlawanan panjang bangsa Indonesia meraih kemerdekaannya.
Suara rakyat itu diserukannyanya dalam sidang dewan bentukan penjajah Belanda.
Gerakan Penyadar
Agus Salim pernah merintis dan membangun organisasi masyarakat yang diberi nama Pergerakan Penyadar.
Bermula pada persoalan yang terjadi di Partai Sarekat Islam Indonesia yang membuat para tokohnya mengambil jalan masing-masing. 30 November 1936 Pergerakan Penyadar resmi berdiri.
Soedjono Hardjosoediro yang merupakan menantu Agus Salim menjelaskan misi Pergerakan Penyadar sederhana saja, menyadarkan umat manusia beristibat pada contoh teladan yang diberikan oleh Nabi Besar Muhammad SAW dalam beliau mengamalkan isi Al Quran ul Karim (100 tahun Haji Agus Salim, Hardjosoediro, 1966: 161).
Misi penyadar agar dilaksanakan dengan konsisten, walaupun hanya seorang diri, begitu pesan Agus Salim.
Gerakan Penyadar yang bisa disebut sebagai revolusi mental ala Agus Salim bergulir sampai pada akhirnya Jepang yang kemudian menjajah Indonesia melarang berdirinya partai politik.
Agus Salim sejatinya bila bertahan menjadi pegawai Hindia Belanda, dia bisa hidup berkecukupan. Namun ia memilih berjuang, mencerdaskan, memerdekakan bangsanya dari cengkeraman penjajah.
Agus Salim sebagai jurnalis telah menjadi pemimpin surat kabar Neraca pada tahun 1919. Selanjutnya bersama Hos Tjokro Aminoto mendirikan Fadjar Asia pada tahun 1927.
Iapun rajin mengirim tulisan untuk sejumlah media seperti Hindia Baroe, Bendera Islam, Mustika, Pedoman Masyarakat, Pandji Islam dan Hikmah.
Kepiawaiannya dalam berbahasa asing mengantarkannya menjadi Penasehat Menteri Luar Negeri dan kemudian menjadi Menteri Muda Luar Negeri pada Kabinet Syahrir II dan III.
Tidak terhitung perannya menjadi juru runding Indonesia dalam persidangan Internasional. Agus Salim pula yang mendatangi negara-negara Arab, Mesir, Siria, Libanon yang kemudian mengakui de jure kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia.
Ada catatan menarik dari Prof. Willem Schermerhorn seorang tokoh penting dalam sejarah politik Belanda dan menjadi Perdana Menteri Belanda pada periode 1945-1946.
Schermerhorn juga menjadi salah satu pemimpin delegasi Belanda dalam perundingan Linggarjati dengan Indonesia, di mana ia berkesempatan berinteraksi langsung dengan Agus Salim.
Dalam buku hariannya, Het Dagboek van Schermerhorn, Schermerhorn memberikan pujian yang tinggi kepada Agus Salim. Beliau menggambarkan Agus Salim sebagai sosok yang sangat cerdas dan berpengetahuan luas.
“Orang tua yang sangat pandai ini, seorang jenius dalam bidang bahasa, mampu berbicara dan menulis dengan sempurna dalam paling sedikit sembilan bahasa, mempunyai hanya satu kelemahan, yaitu selama hidupnya melarat." tulisnya.
Mohammad Roem Wakil Perdana Menteri di era kepemimpinan Presiden Soekarno pernah berkunjung ke rumah Agus Salim di Gang Tanah Tinggi, kemudian di Gang Toapekong.
Ia menggambarkan rumah Agus Salim sangat sangat sederhana. Di ruang luar ada meja kursi tapi di dalam hampir-hampir kosong, kami duduk di atas tikar.
Roem mengagumi dalam keterbatasan ekonomi, Agus Salim bersama istrinya Zainatun berhasil membangun keluarga, mendidik tujuh anak mereka dengan sangat baik, mandiri serta piawai berbahasa asing seperti bapaknya.
Agus Salim pemimpin rakyat sebenarnya. Ia hidup berjuang dan menjadi besar bersama denyut nadi rakyat disekitarnya.
Wafat tahun 1954 dan menjadi pahlawan nasional pertama yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama, Kalibata, Jakarta.(***)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari