Ah Ternyata Satgas Gagal Ungkap Kasus Novel Baswedan

Minggu, 07 Juli 2019 – 17:32 WIB
Novel Baswedan di Gedung KPK. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Tim Satuan Tugas (Satgas) yang dibentuk Kapolri Jenderal Tito Karnavian dinilai gagal menyelesaikan  kasus penyerangan terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan.

Hal ini diungkap Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Komisi untuk orang hilang dan korban tindak kekerasan (KontraS), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Amnesty Internasional dan Change.org.

BACA JUGA: Pernah Garap Novel Baswedan, Perwira Polri Ini Dinilai Tak Layak Pimpin KPK

Menurut koalisi itu, hingga batas waktu yang ditentukan yakni enam bulan pascaresmi didirikan,  tim tersebut tidak bisa mengungkap satupun aktor yang bertanggung jawab atas cacatnya mata kiri Novel.

BACA JUGA : Pernah Garap Novel Baswedan, Perwira Polri Ini Dinilai Tak Layak Pimpin KPK

BACA JUGA: Respons Polri soal Oknum Polisi Diduga Terlibat Penyerangan kepada Novel Baswedan

Peneliti ICW yang juga bagian dari Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Wana Alamsyah mengatakan, pada 8 Januari 2019, Kapolri Tito membentuk Tim Satgas untuk mengungkap kasus penyerangan yang dialami Novel.

Tim tersebut dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Nomor: Sgas/ 3/I/HUK.6.6/2019 yang beranggotakan 65 orang dan didominasi dari unsur kepolisian yang tenggat waktu kerjanya yaitu pada 7 Juli 2019 atau sekitar enam bulan.

BACA JUGA: Pengacara Pengin Pastikan Dugaan Keterlibatan Polisi dalam Kasus Novel Didalami

“Sejak pertama kali dibentuk, masyarakat pesimistis atas kinerja tim tersebut,” kata Wana dalam keterangan resminya, Minggu (7/7).

 Pertama, kata Wana, jika dilihat komposisi anggotanya, 53 orang diantaranya berasal dari unsur Polri.

Selain itu, ujar Wana, saat pertama kali kasus ini mencuat diduga ada keterlibatan polisi atas serangan terhadap Novel sehingga patut diduga akan rawan konflik kepentingan.

BACA JUGA : Respons Polri soal Oknum Polisi Diduga Terlibat Penyerangan kepada Novel Baswedan

 

Karena itu, sambung Wana, yang digaungkan oleh masyarakat pada saat itu yakni pembentukan tim independen yang bertanggung jawab kepada Presiden Joko Widodo.

“Sayangnya, presiden seolah-olah melepaskan tanggung jawabnya sebagai panglima tertinggi. Padahal salah satu janji politiknya dalam isu pemberantasan korupsi yaitu ingin memperkuat KPK,” jelas Wana. 

Kedua, lanjut Wana, proses pemeriksaan yang dilakukan oleh tim tersebut sangatlah lambat dan terkesan hanyalah formalitas belaka.

Hal tersebut dapat terlihat ketika tim  mengajukan pertanyaan yang repetitif kepada Novel pada 20 Juni 2019 lalu. Selain itu, hasil kunjungan ke Kota Malang untuk melakukan penyelidikan tidak disampaikan ke publik. 

“Ini mengindikasikan bahwa keseriusan tim tersebut patut dipertanyakan akuntabilitasnya. Sebab sejak tim dibentuk tidak permah ada satu informasi pun yang disampaikan ke publik mengenai calon tersangka yang diduga melakukan penyerangan,” paparnya.

 Dia mengatakan, dalam konteks waktu penyelesaian, kepolisian bisa menangkap pelaku kasus pembunuhan di Pulomas dalam jangka waktu 19 jam pascapenyekapan korban. Sementara untuk kasus Novel, kata dia, waktu penyelesaiannya lebih dari dua tahun.

“Hal ini diduga karena adanya keterlibatan elite atas penyerangan Novel,” tegas Wana.

Ketiga, ujar dia, tidak adanya transparansi penanganan kasus penyiraman air keras terhadap Novel.

Jika membandingkan dengan kasus pembunuhan Mirna pada 2016,  yang menggunakan racun, Polri menyampaikan prosesnya mulai dari tindakan autopsi hingga pemeriksaan terhadap saksi.

Namun, kata Wana, hal tersebut berbanding terbalik dengan kasus Novel. “Seharusnya kepolisian menangani setiap kasus secara proporsional dan setara agar tercipta keadilan,” jelasnya.

Sebab, lanjut Wana,  intimidasi  terhadap aktivis antikorupsi bukan hanya kali ini saja. Berdasar catatan ICW, terdapat 91 kasus yang memakan 115 korban dari 1996-2019.

Kasus terakhir menimpa dua komisioner KPK yang diteror menggunakan bom. Sayangnya negara tidak hadir dalam upaya melindungi warganya untuk berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi.

Padahal presiden telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 “Oleh sebab itu, Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mendesak agar presiden segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta independen agar menunjukkan keberpihakannya pada pemberantasan korupsi.

Tim Satuan Tugas harus menyampaikan laporannya kepada publik sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas,” tutup Wana. (boy/jpnn) 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengapa Kasus Novel Baswedan Belum Juga Ada Titik Terang?


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler