jpnn.com, JAKARTA - Label halal Indonesia yang mulai berlaku 1 Maret 2022 menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Tim Penulis Al-Qur’an Mushaf Banten Ahmad Tholabi Kharlie, ikut memberikan tanggapan terkait label halal tersebut.
Label berupa tulisan arab berbunyi ‘Halal’ yang didesain membentuk gunungan wayang dengan corak surjan serta disertai logotype ‘Halal Indonesia’ ini baru saja dirilis Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag.
BACA JUGA: Gus Choi Nilai Tepat Sertifikasi Halal Diurus Kemenag, Biar MUI tak Tuai Tudingan
Menurut Ahmad Tholabi Kharlie, logo halal yang baru menggunakan khat Kufi. Khat ini memang tidak ditujukan untuk kepentingan baca tulis, tetapi lebih pada kepentingan estetis. Oleh karena itu, aspek keterbacaan atau kejelasan tulisan menjadi tidak dominan.
"Terlebih, ini digunakan untuk logo yang juga mempertimbangkan aspek kepantasan, keserasian, dan keindahan," ujar dia dikutip dari laman Kemenag, Senin (14/3).
BACA JUGA: MUI Minta Masyarakat Dukung Pembangunan IKN Nusantara
Dia melanjutkan, sedangkan logo halal yang lama (sertifikat halal MUI) menggunakan jenis khat Naskhi. Khat yang fungsional tulis-baca.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta ini menjelaskan, dari sisi kaidah khat maupun kaidah imla'i, tidak ada yang keliru dalam penulisan logo tersebut. Semua huruf tertulis lengkap, ada huruf ha', huruf lam-alif, dan huruf lam, tentu dalam bentuk atau model khat Kufi yang tidak rigid secara kaidah khat.
BACA JUGA: PA 212 Kecewa dengan Logo Halal Baru, Diduga Tonjolkan Unsur SARA
"Meskipun tidak sempurna untuk ukuran khat Kufi yang ideal," terang Tholabi yang juga pernah memimpin Tim Penulis Al-Qur'an Mushaf Banten.
Menurut dia, respons publik terhadap logo halal yang baru menjadi tantangan sekaligus kesempatan bagi BPJPH untuk makin masif menyosialisasikan hal itu kepada masyarakat secara luas.
Tholabi juga menjelaskan adanya perpindahan kewenangan sertifikasi halal dari MUI ke BPJPH. Hal itu menurutnya menjadi titik baru dalam menciptakan ekosistem halal di Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.
"Secara teori dan praksis, industri halal akan makin terkonsolidasi dengan baik yang ujungnya masyarakat dan pelaku industri makin baik," sebut Tholabi.
Peran MUI, kata Tholabi yang juga anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, tetap dipertahankan dalam urusan penetapan kehalalan sebuah produk.
Salah besar jika membuat narasi bahwa MUI tidak lagi berperan dalam sertifikasi halal. Dalam Pasal 10 UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disebutkan BPJPH dan MUI melakukan kerja sama dalam penetapan kehalalan produk.
Lebih lanjut Tholabi menyebutkan dalam Pasal 33 UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ditegaskan tentang penetapan kehalalan produk dilakukan oleh MUI melalui sidang Fatwa Halal dengan paling lama selama 3 hari kerja.
"Ini saya kira kemajuan luar biasa, fatwa halal MUI dibunyikan dalam sebuah hukum negara yang mengikat semuanya," tegas pengajar Hukum Tata Negara ini.
Ketua Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) se-Indonesia ini optimistis keberadaan BPJPH yang berpijak pada UU 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang disahkan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono serta UU No 10 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja akan mendorong industri halal akan besar di Indonesia.
"Mari seluruh pihak mengawal pelaksanaan aturan ini agar berjalan baik," pungkas Tholabi.(esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Novel Bamukmin Pakai Fatwa MUI untuk Kritisi Ritual Kendi Nusantara Ala Jokowi
Redaktur : Friederich
Reporter : Mesya Mohamad