jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (PUSHAN) Dr. Oce Madril menilai pemilu sistem proporsional terbuka mengakibatkan timbulnya politik uang dan korupsi.
“Konstitusi sebenarnya tidak mengatur mengenai sistem Pemilu apa yang harus diterapkan. Jadi, pilihan sistem pemilu, apakah proporsional terbuka atau tertutup merupakan kebijakan hukum terbuka. Kedua sistem itu pun pernah diterapkan di Indonesia,” ujar Oce Madril saat dihubungi, Rabu (4/1).
BACA JUGA: Sistem Proporsional Terbuka Dinilai Masih Relevan di Pemilu 2024
Dia menyampaikan sistem proporsional terbuka dengan mencoblos caleg menitikberatkan pada individu. Dengan demikian, setiap caleg berlomba-lomba untuk dapat terpilih dan mengeluarkan biaya banyak.
Hal ini menyebabkan politik berbiaya sangat tinggi (high cost politics). Banyak riset telah dilakukan yang menyimpulkan rata-rata pengeluaran caleg DPR mencapai angka Rp 4 miliar dan bahkan ada yang menghabiskan sampai Rp 20 miliar. Di tingkat DPRD biayanya juga gila-gilaan hanya untuk berebut satu kursi.
BACA JUGA: Tanpa PDIP, 8 Fraksi Dukung Sistem Proporsional Terbuka pada Pemilu 2024
Oce Madril menambahkan biaya tinggi yang harus dikeluarkan caleg tersebut untuk membiayai berbagai kebutuhan kampanye agar dapat meraih suara sebanyak-banyaknya.
Para caleg akan bertarung dengan kandidat lain, baik dari dalam maupun luar partai. Selain berbiaya tinggi, hal itu juga memicu konflik.
BACA JUGA: Fraksi PKS: Sistem Proporsional Terbuka Lebih Representatif dan Demokratis
“Oleh karena orientasinya adalah meraih suara sebanyak-banyaknya, maka berbagai intrik dilakukan termasuk melakukan praktik politik uang. Maka banyak riset menyatakan bahwa politik uang di Indonesia sangatlah tinggi,” lanjut Oce Madril.
Pemilu yang berbiaya mahal berkorelasi dengan tingginya tingkat korupsi di sebuah negara. Menurut dia, modal yang dikeluarkan caleg sangat mahal, sehingga ketika terpilih rentan melakukan korupsi.
Hal itu untuk mengembalikan modal biaya pemilu dan menyiapkan modal baru agar dapat terpilih di pemilu berikutnya.
Persoalan turunan yang ditimbulkan oleh sistem pemilu berbiaya mahal ini telah dirasakan hingga saat ini. Persoalannya semakin akut, korupsi, dan politik uang, merongrong institusi demokrasi.
“Sementara sistem proporsional tertutup menyisakan masalah demokratisasi di tingkat partai, khususnya berkaitan dengan rekrutmen politik. Oleh karena itu, apabila nanti Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa sistem proporsional tertutup (mencoblos partai) kembali diterapkan, maka partai-partai harus memberikan jaminan bahwa rekrutmen caleg dilakukan berdasarkan merit system dengan mengajukan kader-kader berkualitas, tidak hanya berdasarkan popularitas semata,” tutup Oce Madril. (tan/JPNN)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Respons Jazuli Juwaini soal Pileg Proporsional Tertutup atau Terbuka
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga