jpnn.com - JAKARTA - Wacana terkait perubahan sistem pemilu proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup menimbulkan perdebatan menjelang Pemilu 2024.
Pakar hukum tata negara Universitas Udayanya, Bali, Jimmy Z. Usfunan menilai sistem proporsional terbuka menimbulkan beberapa persoalan yang dapat memicu keresahan sosial di masyarakat.
BACA JUGA: Respons KPU soal ASN Jadi Anggota Badan Ad Hoc Pemilu di Daerah
Salah satunya ialah lantaran tingginya angka surat suara yang tidak sah, yang bahkan pada 2019 lalu tercatat 17.503.953 untuk pemilu anggota DPR.
Dengan fenomena ini, kata dia, akan memunculkan sikap apatisme masyarakat nantinya dalam memilih pada Pemilu 2024 yang akan datang. “Karena khawatir sudah menggunakan hak pilih, namun suaranya menjadi suara yang terbuang," kata Jimmy ketika dihubungi oleh media, Rabu (4/1).
BACA JUGA: Ahli Hukum Nilai Sistem Proporsional Terbuka Lahirkan Politik Uang dan Korupsi
Menurut dia, dengan modal besar yang dikeluarkan masing-masing caleg, akan meningkatkan ketegangan kompetisi, bahkan berujung konflik dengan teman sendiri di satu partai.
Seperti yang terjadi pada 2019 lalu, adanya penganiayaan terhadap sesama calon partai dalam pemilihan anggota DPR RI satu dapil di Provinsi Jawa Timur. Begitu juga penganiayaan caleg di Kabupaten Tanah Bumbu, yang juga satu partai.
BACA JUGA: Arief Poyuono Setuju Proporsional Tertutup di Pemilu 2024, Menghemat Biaya
“Bayangkan saja, jika konflik itu melibatkan para pendukung, bukankah akan menimbulkan konflik sosial yang besar di masyarakat? Sementara saat ini, Indonesia memiliki 514 kabupaten/kota dan 38 provinsi, tentunya ini bisa jadi masalah besar nantinya," lanjut Jimmy.
Keresahan sosial lainnya akibat sistem proporsional terbuka ini, yaitu banyak lagi calon legislatif yang gagal mengalami depresi, gangguan jiwa, bahkan bunuh diri seperti yang terjadi pada 2019.
“Apalagi besarnya modal yang digunakan, dengan asumsi yang besar menjadi pemenang, sementara caleg yang lain juga berani melakukan adu modal. Akibatnya, cost politic menjadi makin besar, menjadikan para calon akhirnya rela berutang atau bahkan menggadaikan rumah dan barang-barang berharga lainnya demi kemenangan," kata Jimmy.
Menurut dia, jika ditelusuri secara faktual banyak anggota DPR dan DPRD provinsi, kabupaten/kota, menggadaikan SK jabatannya ke bank pascadilantik.
“Coba saja dikonfirmasi para anggota DPR dan DPRD, hal ini dilakukan demi membayar utang dari biaya yang telah dikeluarkan," ungkap Jimmy.
Bagi pemilih, lanjut Jimmt, akan kembali kebingunan dalam melakukan pencoblosan seperti pada 2019 lalu karena adanya lima surat suara dalam waktu bersamaan, yakni surat suara presiden/wakil presiden, surat suara anggota DPR, surat suara anggota DPD, surat suara anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
“Belum lagi masing-masing surat suara calon DPR atau DPRD di provinsi/kabupaten/kota berisikan nama-nama calon yang begitu banyak, akhirnya pemilih tidak menggunakan rasionalitasnya dalam memilih, bisa saja. Akhirnya melihat pada foto atau karena populer, serta tidak mungkin jika pemilih nantinya bertindak yang mengakibatkan surat suara itu tidak sah,” ujar Jimmy Usfunan. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Kusdharmadi