Ahli Mempertanyakan Validitas Data Kerugian Negara Rp 271 Triliun di Kasus Timah

Senin, 06 Januari 2025 – 21:52 WIB
Kerugian negara sebesar Rp 271 triliun dalam kasus korupsi tata niaga timah yang dihitung Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dipertanyakan. Ilustrasi kantor BPKP. Foto: Dokumentasi Antara

jpnn.com, JAKARTA - Kerugian negara sebesar Rp 271 triliun dalam kasus korupsi tata niaga timah yang dihitung Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dipertanyakan.

Validitas data tersebut dipersoalkan karena laporan hasil audit tidak dilampirkan dalam berkas perkara.

BACA JUGA: Soroti Kasus Timah, Pakar Hukum Sebut Kerugian Ekologis Tak Bisa Jadi Bukti Korupsi

Mantan Auditor Utama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Gatot Supiartono yang sempat menjadi salah satu saksi ahli dalam persidangan kasus tersebut mengungkapkan laporan penghitungan kerugian negara seharusnya menjadi alat bukti yang dilampirkan dalam persidangan.

"Laporannya enggak dikasih oleh jaksa, dan hakim mendiamkan. Harusnya, kalau itu alat bukti dilampirkan dalam berkas perkara. Bagaimana mau menguji, kalau hanya angka yang disampaikan tanpa prosesnya?" kata Gatot dalam keterangannya, Senin (6/1).

BACA JUGA: Ahli Hukum: Kejagung Harus Buktikan Kerugian Negara Rp 300 Triliun di Kasus Korupsi Timah

Gatot juga mempertanyakan profesionalitas audit yang dilakukan BPKP.

Menurut Gatot, kualitas audit dilihat dari tiga hal, yaitu independensi auditor, perolehan bukti, dan penggunaan tenaga ahli.

BACA JUGA: Divonis 8 Tahun Penjara, Eks Dirut PT Timah: Saya Tidak Punya Niat Buruk

“Jika hasilnya berubah dari Rp 271 triliun menjadi Rp 152 triliun, itu menunjukkan proses pemeriksaannya tidak profesional. Data kan tidak berubah, berarti pengolahan bukti yang bermasalah," tegas Gatot.

Hal ini menyoroti nilai kerugian negara sebesar Rp 152 triliun dari total Rp 271 triliun yang dibebankan kepada 5 korporasi oleh Kejagung.

Kelima korporasi tersebut, yakni PT RBT dengan tanggungan sebesar Rp 38 triliun, PT SB Rp 23 triliun, PT SIP Rp 24 triliun, PT TIN Rp 23 triliun, dan PT VIP Rp 42 triliun, atau total Rp 152 triliun.

Sementara, masih ada selisih Rp119 triliun sisanya yang masih dihitung BPKP.

“Jangan sampai Rp 271 triliun sudah diragukan, yang Rp 152 triliun diragukan lagi. Pengujiannya di situ aja,” tambahnya.

Gatot menyebutkan ada empat syarat bukti yang harus dipenuhi: cukup bukti, relevan, handal, dan bermanfaat.

Jika laporan audit tidak dilampirkan, maka validitas data yang digunakan dalam persidangan menjadi tanda tanya besar.

"Kalau laporannya benar, diverifikasi ulang hasilnya akan sama. Tapi kalau tidak boleh diuji, itu aneh. Misteri sekali," katanya.

Gatot menegaskan pentingnya audit ulang dilakukan sesuai standar agar hasilnya dapat dipercaya.

Dia juga menyoroti pentingnya transparansi dalam penghitungan kerugian negara.

"Kalau datanya fair, kasih saja. Enggak mungkin bisa diubah kalau prosesnya benar," pungkasnya.

Sementara itu, Penasihat Hukum Harvey Moeis dkk, Junaedi Saibih turut mengkritisi ketidaktransparanan dalam penyajian bukti kerugian negara.

Dia mengatakan jaksa penuntut umum (JPU) tidak pernah melampirkan rincian kerugian Rp 271 triliun sebagai barang bukti.

"Bahkan dokumen laporan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) tidak pernah dijadikan barang bukti di persidangan. Hal ini jelas merugikan kami karena tidak punya materi untuk dipelajari dan dijadikan bahan pembelaan," jelas Junaedi. (mar1/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler