jpnn.com, JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) dinilai gagal membuktikan kerugian kerugian negara fantastis sebesar Rp 300 triliun kasus dugaan korupsi timah.
Penilaian tersebut disampaikan Pakar Hukum Pidana Universitas Mataram Ufran Trisa lantaran hingga akhir persidangan, klaim kerugian tersebut tidak didukung dengan bukti yang memadai.
BACA JUGA: Ahli Hukum: Kejagung Harus Buktikan Kerugian Negara Rp 300 Triliun di Kasus Korupsi Timah
Ulfran menilai klaim kerugian tersebut sejak awal cenderung tendensius dan diragukan kebenarannya.
"Jaksa tetap dengan praduganya, tetapi sayangnya tidak didukung alat bukti yang membenarkan nilai kerugian negara sebanyak itu," kata Ufran, Minggu (5/1).
BACA JUGA: Divonis 8 Tahun Penjara, Eks Dirut PT Timah: Saya Tidak Punya Niat Buruk
Karena pembuktian kerugian negara tak terpenuhi dari sejumlah terdakwa yang sudah divonis, Kejaksaan Agung (Kejagung) pun menyasar 5 korporasi yang diduga berkontribusi pada kerugian negara.
Kelima korporasi itu meliputi PT Refined Bangka Tin (RBT) dengan dugaan kerugian negara Rp 38,5 triliun, PT Stanindo Inti Perkasa (SIP) senilai Rp 24,3 triliun, PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS) senilai Rp 23,6 triliun, Tinindo Inter Nusa (TIN) Rp 23,6 triliun, dan CV Venus Inti Perkasa (VIP) senilai Rp 42 triliun.
BACA JUGA: Elly Rebuin Nilai Pemerintah Gagal Lindungi Rakyat Babel, Minta Tambang Timah Disetop
Ufran juga menyoroti perihal penghitungan kerugian negara dalam kasus ini yang didasarkan pada kerugian ekologis dengan mengacu pada Laporan Hasil Kajian (LHK) Nomor VII Tahun 2014.
Menurut Ufran, hingga saat ini belum ada argumentasi yang kuat untuk menyatakan kerugian ekologis termasuk sebagai kerugian keuangan negara.
“Kerugian ekologis lebih merupakan pencemaran atau kerusakan lingkungan, yang tidak bisa langsung ditarik sebagai akibat adanya korupsi," tegas Ufran.
Terlebih, kata Ufran menambahkan, penghitungan kerugian negara semestinya menjadi kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sesuai amanat konstitusi.
Namun sejak Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31 Tahun 2012, kewenangan ini terdesentralisasi ke berbagai lembaga, termasuk Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Hanya saja sering kali hasil audit BPK yang dibentuk berdasarkan konstitusi justru dikesampingkan oleh audit BPKP, yang hanya dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden. Ini sangat janggal secara konstitusional," ungkap Ufran.
Ufran juga mengungkapkan perbedaan hasil audit antara BPK dan BPKP kerap menimbulkan ketidakpastian hukum.
Hal ini diperparah dengan upaya penegak hukum menggunakan hasil audit yang dianggap paling sesuai dengan konstruksi kasus yang dibangun tanpa mempertimbangkan legitimasi lembaga pengaudit. (mar1/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Sutresno Wahyudi