Ahli Sebut Penghitungan Kerugian Perekonomian Negara Tak Boleh Asal-asalan

Selasa, 10 Januari 2023 – 01:26 WIB
Pakar Hukum Pidana Agus Surono mengatakan penghitungan kerugian perekonomian negara harus jelas dan pasti dalam kasus dugaan korupsi terkait alih fungsi lahan di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) Riau. ILUSTRASI. FOTO: Pixabay.com

jpnn.com, JAKARTA - Pakar Hukum Pidana Agus Surono menyatakan penghitungan kerugian perekonomian negara harus jelas dan pasti dalam kasus dugaan korupsi terkait alih fungsi lahan di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) Riau.

Penghitungan kerugian perekonomian negara dalam perkara tindak pidana korupsi tidak boleh mengada-ada atau sekadar menafsirkan.

BACA JUGA: Saksi Sebut Transaksi Perusahaan Milik Surya Darmadi Dipakai untuk Operasional

Hal itu disampaikan Agus Surono saat dihadirkan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk memberikan pandangannya di sidang lanjutan perkara dugaan korupsi terkait alih fungsi lahan di Kabupaten Inhu, Riau dengan terdakwa bos PT Duta Palma Group Surya Darmadi alias Apeng.

"Tentu kerugian perekonomian negara pun juga harus dimaknai adanya satu kerugian yang sifatnya nyata dan pasti. Bagaimana metodenya saya tidak tahu menghitungnya. Harus ada," kata Agus Surono kepada Majelis Hakim di ruang sidang Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (9/1).

BACA JUGA: Sidang Pembunuhan Brigadir J Memasuki Tahap Akhir, Penahanan Ferdy Sambo Diperpanjang

Menurut dia, ketidakjelasan dalam penghitungan kerugian negara tentunya bertentangan dengan prinsip asas kepastian hukum.

"Harus ada kerugian yang sifatnya nyata dan pasti," tegasnya lagi.

BACA JUGA: Kejagung Masih Hitung Kerugian Negara di Kasus Korupsi Menara BTS

Agus menjelaskan pandangannya tersebut mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016. Di mana, putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 mencabut frasa 'dapat' dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Putusan MK ini menafsirkan bahwa frasa 'dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara' dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata (actual loss) bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara (potential loss).

"Memang di dalam putusan MK, yang berkaitan dengan tafsir kata dapat itu dimohonkan hanya berkaitan dengan keuangan negara saja," jelas Agus.

Dalam persidangan tersebut, Agus juga menjelaskan konteks perbuatan melawan hukum haruslah ada niat perbuatan melakukan pidana atau mens rea.

Dia menjelaskan seseorang yang melakukan perbuatan pidana diawali dengan niat jahat.

"Pidana itu kan pasti harus ada mens rea ataupun ada actus reus. Actus reus itu sifatnya harus sadar," beber Agus.

Sementara itu, penasihat hukum terdakwa Surya Darmadi, Juniver Girsang sependapat dengan pandangan Agus Surono penghitungan kerugian perekonomian negara di kasus kliennya sebenarnya harus nyata dan jelas.

Namun, menurut Juniver, penghitungan perekonomian negara di kasus Surya Darmadi belum nyata dan jelas.

"Ahli pidana menjelaskan untuk menentukan adanya kerugian negara harus kongkret dan nyata sesuai dengan keputusan MK Nomor 25 Tahun 2016, jelas, tidak boleh di luar daripada itu. Kalau tidak kongkret dan tidak nyata itu tidak boleh dikatakan kerugian negara," kata Juniver seusai sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.

Tak hanya itu, Juniver juga sepakat dengan pandangan Agus Surono perbuatan pidana haruslah didasari pada mens rea. Sebab, jika tidak ada mens reanya, maka seseorang itu tidak bisa dimintai pertanggungjawaban.

Hal itulah, yang terjadi pada kasus Surya Darmadi.

"Nah, oleh karenanya, suatu perbuatan yang tidak ada mens rea dan kemudian tidak perbuatannya, itu tidak boleh dikatakan sebagai sesuatu yang bisa dimintai pertanggungjawaban atau tindak pidana," ungkapnya.

Di sisi lain, saksi Fungsional Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Mulya Pradata menjelaskan belum ada penetapan kawasan hutan di Riau.Para pihak masih belum menemukan kesepakatan.

Oleh karena itu, ada pemaduserasian antara Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan dan Peta Tata Ruang.

"Dari hasil pemaduserasian itu nanti diharapkan sudah ada kesesuaian tata ruang Provinsi dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan. Sehingga, dari hasil pemaduserasian, terbit SK Nomor 878 yang tahun 2014," kata Mulya. (tan/JPNN)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pakar Pertanyakan Perubahan Nilai Kerugian Negara Kasus Surya Darmadi


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler