Pakar Pertanyakan Perubahan Nilai Kerugian Negara Kasus Surya Darmadi

Kamis, 06 Oktober 2022 – 23:52 WIB
Yenti Garnasih. Foto: Dok. JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Surya Darmadi alias Apeng didakwa telah merugikan perekonomian negara akibat bisnis perkebunan kelapa sawit yang dilakukan perusahaannya di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau sejak tahun 2004 hingga 2022.

Namun jumlah kerugian negara yang diklaim Kejaksaan Agung berubah- ubah. Terhadap hal ini, sejumlah pihak mempertanyakan akurasi dan dasar perhitungan.

BACA JUGA: Kubu Surya Darmadi Merasa Jadi Korban atas Dakwaan Jaksa yang Terburu-buru

Pakar hukum pencucian uang Yenti Garnasih berpendapat, Kejaksaan sebaiknya tidak tergesa-gesa menyebut nominal kerugian negara. Yenti menyebut, kerugian negara itu terbagi dua, yaitu kerugian keuangan negara dan perekonomian negara karena korupsi itu.

Ia menyayangkan klausul ‘potensi kerugian negara dihilangkan oleh Mahkamah Konstitusi.

BACA JUGA: Surya Darmadi Siap Buktikan Kepemilikan Lahan Duta Palma

“Jadi ada kondisi kerusakan lahan atau potensi-potensi yang dihitung kerusakan tanah karena ditanami sawit itu harus ada dana reboisasi. Saya berpikir, sayang sekali pada waktu potensi kerugian negara dihilangkan oleh MK. Harusnya potensi, ngitung itu nanti yang penting ada potensi kerugian negara sudah cukup,” ujar mantan Panitia Seleksi Pimpinan KPK itu kepada wartawan, Kamis (6/10).

Terakhir, Surya disebut merugikan Negara sebesar Rp 86,5 triliun. Jumlah ini berbeda ketika Surya Darmadi ditetapkan sebagai tersangka, yakni Rp 78 triliun.

BACA JUGA: Surya Darmadi Didakwa Rugikan Negara Rp 78,7 Triliun

Kemudian dalam perkembangannya, Kejaksaan Agung mengumumkan bahwa jumlah kerugian negara yang timbul sebesar Rp 104 triliun.

Yenti mengatakan, proses sidang sebaiknya juga membuka siapa saja yang terlibat, termasuk jika memang ada penyerobotan lahan dan hak guna hutannya tidak beralih sama sekali, maka ada pembiaran.

“Kemudian, penghitungan-penghitungan saya dengarkan dari ahlinya ternyata ada, kita harus melek hukum juga bahwa kalau ada seperti ini, lingkungan dirusak, pemulihan hak atas hutan itu kondisi tanahnya harus kembali semula. Itu dihitung, reboisasinya berapa?. Kemudian setelah diuntungkan, berapa keuntungan yang ada itu harus disita dan itu digunakan apa aliran TPPU. Katanya ada 18 ahli yang akan dihadirkan di sidang, bukan hanya ahli korupsi dan TPPU, tapi ada ahli dari BPKP, ahli kehutanan, dan ahli lingkungan,” kata dia.

Menurutnya, jika ada oknum yang melakukan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kekuasaan kemudian ada orang diuntungkan baik dirinya atau orang lain, itu pasti menimbulkan kerugian negara.

“Karena ditulis harus ada kerugian negara, jadi harus dihitung dan perhitungan itu memperlama (proses hukum). Jadi menurut saya, hitung-hitungannya seperti itu kita kawal saja. Awalnya berapa? Sekarang berapa?, Baru tahu saat dakwaan menjadi Rp84 triliun. Ya itu harus dijelaskan saja. Makanya jangan dirilis dulu kalau belum jelas, tapi nanti akan kita dengarkan (di sidang),” kata dia.

Dikatakannya, cara melakukan penghitungan memang selayaknya dari BPKP. Dia berharap Kejaksaan tidak terburu-buru mengumumkan kerugian negara, jika perhitungannya belum rampung.

“Nanti malah menimbulkan kecurigaan kan. nggak boleh berubah-ubah gitu, nanti saja diumumkannya, kalau sudah dakwaan Jaksa Penuntut Umum, jadi jangan suka membocorkan yang belum pasti. Meskipun, kita harus awasi. Jangan-jangan enggak diumumkan malah dipotong, hilang sitaannya,” kata dia.

Ia juga berharap Kejaksaan juga tidak menyita aset-aset jika belum pasti hal itu sebagai barang bukti korupsi. Jaksa Agung, kata dia, memang lebih berani, tetapi jangan konyol dan malah menimbulkan kecurigaan.

Jika memang perusahaan Duta Palma tidak bisa menggaji karyawan karena disita Kejaksaan, lanjut Yenti, maka harus dipisahkan uang perusahaan yang sah dan uang perusahaan yang diduga hasil kejahatan.

“Kalau memang ada uang perusahaan sendiri, ya itu haknya. Tetapi, kalau itu ternyata perusahaan hasil kejahatan dan orang minta gaji ya enggak mungkin kan. Makanya, DPR harus segera memiliki UU perampasan aset, sehingga nanti disitu diaturnya,” kata Yenti.

Ia menyebut, perampasan aset termasuk pemblokiran rekening juga harus melindungi orang-orang yang beritikad baik, seperti karyawan yang tidak tahu apa-apa.

Pengamat hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia, Mudzakkir menyebutkan sisi lain dari perhitungan kerugian negara. Dia menegaskan, dalam perkara korupsi yang berkompeten menghitung kerugian keuangan negara adalah BPK RI.

Pasalnya, penggunaan uang negara atau uang yang harusnya masuk ke negara, akan disusun laporan pertanggungjawaban oleh BPK RI.

“Kalau yang melakukan audit bukan BPK RI, berarti uang tersebut bukan keuangan negara atau tidak termasuk keuangan Negara,” kata dia.

Mudzakkir melanjutkan, jika ada beberapa auditor privat yang melakukan audit dan menghasilkan hasil audit berbeda beda yang diperbaiki sampai dengan tiga kali perbaikan yang diklaim JPU sebagai kerugian keuangan Negara, maka patut diragukan kebenarannya.

“Diduga dalam melakukan audit tidak sesuai dengan standar audit, atau berbeda dengan audit investigasi yang ditetapkan oleh BPK RI,” kata dia.

Auditor yang berani mengklaim kerugian keuangan tersebut, kata dia, wajib membuktikan bahwa laporan penggunaan keuangan tersebut adalah keuangan negara dan terjadinya kerugian negara yang kemudian dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.

“Jika tidak bisa dibuktikan, maka kerugian tersebut bukan kerugian keuangan negara,” jelasnya.

Menanggapi hal ini, Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Febrie Adriansyah menyatakan, tak ada perubahan angka kerugian negara dan perekonomian negara dalam kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh Duta Palma Group. Hanya saja, kata Febrie, ada beberapa item kerugian perekonomian negara yang timbul dalam kasus ini beluk di masukan.

"Nilai sih enggak berubah. Ahli akan tampil di persidangan untuk menjelaskan secara teknis. Jaksa akan mempertahankan di persidangan," kata Febrie.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Ketut Sumedana sebelumnya menjelaskan jumlah kerugian negara yang benar akibat perbuatan Surya Darmadi adalah yang disampaikan jaksa penuntut umum (JPU) melalui surat dakwaannya.

Menurut Ketut, jumlah tersebut telah dilakukan perbaikan berdasarkan perhitungan para ahli yang dilibatkan oleh Kejaksaan Agung.

Ketut menjelaskan, angka Rp 86,5 triliun diperoleh dari dugaan Surya Darmadi telah memperkaya diri sendiri sebesar Rp 7.593.068.204.327 dan 7.885.857,36 dollar Amerika Serikat yang apabila dikurskan saat ini adalah Rp 117.460.633.962,94. Totalnya berarti adalah Rp 7.710.528.838.289

Kemudian, angka itu juga ditambahkan dengan dugaan kerugian keuangan negara Rp 4.798.706.951.640 dan 7.885.857,36 dollar Amerika Serikat yang bila dikurskan saat ini adalah Rp 117.460.633.962,94.
Totalnya berarti adalah Rp 4.916.167.585.602.

Jumlah tersebut juga ditambah dengan dugaan kerugian perekonomian negara Rp 73.920.690.300.000. Bila semuanya dihitung, maka total kerugian yang dibuat Surya Darmadi adalah Rp 86.547.386.723.891. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler