jpnn.com, JAKARTA - Pakar sekaligus Guru Besar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor Prof. Dr. Purwiyatno Hariyadi mengatakan tidak semua makanan ultra proses atau Ultra Processed Food (UPF) buruk.
Hal itu dikatakan Prof. Purwiyatno menanggapi heboh pembahasan buruknya makanan UPF.
BACA JUGA: 5 Makanan dan Minuman yang Harus Dihindari Ibu Menyusui
Prof. Purwiyatno menilai pengelompokkan makanan sebenarnya tidak semata-mata berdasarkan pada pengolahannya, khususnya untuk ultra processed food.
"Masalahnya adalah ketika ultra processed food dinilai paling tidak sehat, padahal belum tentu," kata Purwiyatno, kepada media.
BACA JUGA: Khusus Pasangan, Jangan Konsumsi 10 Makanan dan Minuman Ini Sebelum Bermain Cinta
Ultra Processed Food adalah bagian dari makanan yang sudah diproses serta ditambah dengan zat aditif, seperti pewarna buatan, gula, garam, perisa buatan, lemak dan lainnya.
Selain diproses untuk menjadikannya lebih lezat, terdapat beberapa manfaat lain dari makanan UPF.
BACA JUGA: 5 Makanan dan Minuman yang Aman Dikonsumsi Ibu Menyusui
Prof. Purwiyatno mencontohkan di antaranya adalah makanan bisa lebih awet dan tahan lama, serta praktis dan enak untuk dikonsumsi.
"Kecuali, kita memetik apel langsung dari pohonnya atau meminum susu langsung dari sapi, jadi sebagian besar makanan yang kita makan diproses secara teknis," ujar Prof. Purwiyatno.
Sejumlah ahli gizi, mengingatkan bahwa tidak semua pemrosesan makanan itu buruk. Misal, pengolahan susu menjadi yogurt atau gandum yang diolah menjadi roti merupakan contoh pemrosesan makanan sederhana yang tetap memiliki kandungan gizi.
"UPF juga dapat diperkaya dengan micronutrients dan asam amino yang dapat dikonsumsi tubuh dengan mudah. Proses ini juga lazim dikenal dengan proses fortifikasi," katanya.
Peneliti PRTPP Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ardiba Rakhmi Sefrienda mengatakan ada kemungkinan zat gizi yang terkandung dalam pangan tersebut hilang atau rusak pada saat proses pembuatan atau pengolahan.
Namun, ada juga yang memiliki kandungan gizi yang minim dari makanan tersebut.
“Untuk itu perlu fortifikasi, untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas gizi makanan pada total asupan konsumsi pada kelompok, komunitas, atau populasi tertentu," papar Ardiba.
Menurut dia, ada banyak bahan pangan yang dapat difortifikasi. Terutama, lanjut dia, bahan-bahan pangan utama seperti garam, susu, beras, margarin, dan mie instan. Dia melanjutkan, fortifikasi tersebut tidak mengubah warna maupun rasa pada produknya. Oleh karena itu, dapat membantu perbaikan gizi ke masyarakat.
Bubur bayi (MPASI komersial) juga diperkaya (fortifikasi) dengan zat besi dan mikronutrien lainnya sesuai standar WHO dan BPOM serta tidak mengandung pengawet atau bahan berbahaya. Disamping itu, MPASI komersial juga menawarkan kepraktisan dan memiliki kandungan gizi lengkap dan seimbang.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan Global Nutrition Report (GNR) 2018, Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami beban ganda malnutrisi. Untuk memperbaiki masalah gizi tersebut, pemerintah melakukan fortifikasi pada sejumlah pangan di Indonesia.
Gangguan akibat kekurangan yodium pada anak meningkat dari 12,9 persen pada 2007 menjadi 14,9 persen pada 2011. Anemia pada anak dan ibu hamil juga masih tinggi masing-masing 17,6 persen (Riskesdas 2011) dan 48,9 persen (Riskesdas 2018).
Fortifikasi pangan atau pengayaan zat gizi mikro pada bahan makanan komersial seperti garam, tepung terigu, dan minyak goreng sawit perlu dilakukan pemerintah untuk percepatan perbaikan gizi anak Indonesia.(mcr10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul