Ahli Teknik Sipil Kita Ciptakan Beton Bisa Terapung

Selasa, 11 April 2017 – 00:07 WIB
Rudi Febrijanto (tengah), Fahmi Aldiamar (kanan), Peneliti Mortar Busa di Pusat jalan dan jembatan (pusjatan), Selasa (4/4/2017) saat ditemui Laboratorium Geoteknik Pusjatan Kementerian PU di Bandung. FOTO : JUNEKA/JAWAPOS

jpnn.com - Ahli teknik sipil kita menorehkan prestasi level dunia. Kreasi mereka diberi nama mortar busa.

Wujudnya beton, tapi ringan, bahkan bisa mengapung di air.

BACA JUGA: Kontribusi Dana Pensiun Terhadap Infrastruktur Rendah

Temuan yang diklaim pertama di dunia itu kini diaplikasikan di berbagai proyek infrastruktur di Indonesia.

JUNEKA S. MUFID, Bandung

BACA JUGA: Tol Gempol–Pasuruan Ditarget Tuntas Akhir 2018

Bayangkan sebongkah beton dilemparkan ke air. Tenggelam? Belum tentu. Jika mortar busa, beton tersebut akan mengapung.

Itulah kreasi para peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Geoteknik Jalan dari Pusat Jalan dan Jembatan (Pusjatan) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

BACA JUGA: Marwan Jafar Beber Kiat Atasi Ketimpangan Antarwilayah

Rahasia mortar busa adalah komposisi pasir, semen, dan busa dengan takaran khusus yang benar-benar pas.

”Jadi, untuk mengecek hasil cetakan beton, cukup dicemplungkan ke sungai,” ujar Kepala Balitbang Geoteknik Jalan Rudy Febrijanto saat ditemui di kantornya Selasa pekan lalu (4/4).

Sebagai gambaran, air memiliki massa jenis 1 ton/m3. Sedangkan mortar busa itu hanya 0,6 ton/m3. Jadi, lebih ringan.

Rudy lantas menunjukkan contoh mortar busa yang dicetak dalam bentuk silinder padat setinggi 20 cm dengan diameter sekitar 10 cm.

Meski terlihat padat, mortar busa bisa diangkat dengan satu tangan saja.

”Kalau bukan mortar busa, setidaknya butuh dua tangan untuk mengangkatnya,” ujar Rudy.

Salah satu sisi ujung beton itu lalu dikupas. Dia meminta untuk melihat lebih dekat struktur beton tersebut. ”Seperti ada pori-porinya kan?” katanya memancing penasaran.

Beton itu memang terlihat tidak betul-betul padat mampat. Ada rongga-rongga kecil sekali yang menyebar di seluruh struktur.

”Itulah rahasianya yang bikin ringan. Rongga berisi udara,” ungkap alumnus Institut Teknologi Nasional (Itenas), Bandung, tersebut.

Rudy pun mengurai kisah penemuan mortar busa. Kisahnya berawal dari berbagai masalah yang muncul saat menjalankan proyek pembangunan infrastruktur di daerah gambut.

Dengan teknologi beton biasa, timbunan beton lama-kelamaan akan turun dan tentu rusak. Begitu pula di tanah-tanah yang lembek, juga perlu ada bahan timbunan yang lebih ringan tapi kuat agar jalan tidak gampang ambles.

”Untuk membangun jalan atau jembatan di pantura (pantai utara) yang bertanah lunak, butuh timbunan yang ringan dan kuat,” ujarnya.

Dia lantas menjelaskan agak teknis dengan istilah-istilah sipil yang perlu diterjemahkan dalam bahasa yang lebih mudah dipahami.

Intinya, mortar busa adalah ramuan berisi campuran semen, pasir, air, dan busa.

Khusus semen dapat menggunakan semen portland yang biasa digunakan untuk bahan bangunan. Demikian pula dengan air.

Yang punya ukuran khusus adalah pasir dan busa. Untuk pasir, memang bisa digunakan pasir pantai, sungai, atau gunung. Tapi, harus punya gradasi ukuran yang sesuai ketentuan Pusjatan.

Rudy menjelaskannya dalam diagram Cartesius yang punya garis horizontal dan vertikal.

Dia menggambar garis lengkung yang sekilas terlihat seperti simbol integral (?), tapi agak miring ke kanan.

”Jadi, butiran pasirnya tidak kecil semua. Tapi, merata ukurannya. Itu pun tidak sama persentasenya,” ujar Rudy.

Agak sulit memang membahasakan secara mudah ukuran pasir yang sangat menentukan bagus tidaknya kualitas mortar busa yang ringan tapi kuat.

”Mudahnya sih dengan uji lab,” kata pria yang menempuh studi magister di Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.

Dia masih ingat betul, saat awal riset pada 2008, para peneliti mencari contoh pasir yang cocok. Rudy pun mendapat tugas mencari contoh pasir di Sungai Cimanuk, Tomo, Jawa Barat.

”Ada yang mengambil pasir di gunung dan laut,” kata pria yang hobi membaca dan traveling tersebut.

Sementara itu, busa yang dipakai adalah busa dari bahan protein nabati.

Bentuknya sekilas mirip pasta sebelum dimasukkan ke alat khusus penghasil busa.

Selain dari bahan nabati, ada jenis busa berbahan sintetis yang biasa dipergunakan untuk mencuci mobil.

”Kalau busa dari bahan sintetis cepat meletus. Jadi, tidak bisa tahan lama. Kurang stabil karena gelembungnya cepat pecah,” ungkap Rudy yang menjadi pegawai Pusjatan sejak 1995 itu.

Para peneliti memanfaatkan gelembung-gelembung busa untuk menciptakan ruang berongga dalam struktur mortar busa.

Nah, ruang berongga itu akhirnya tetap berisi udara meski sudah dalam cetakan beton atau dipakai untuk bahan penimbun. Jadilah timbunan ringan.

Ruang berongga tersebut secara otomatis juga mengurangi kebutuhan bahan pasir dan semen.

Bila biasanya dibutuhkan 1 kilogram (kg) pasir dan 1 kg semen, dengan busa itu, hanya diperlukan 0,8 kg pasir dan 0,8 kg semen. Perbandingannya secara umum 1 pasir : 1 semen.

Sedangkan 1 busa : 20–25 air. Jadi, 1 liter busa berbanding 20–25 liter air.

Kekuatannya ditentukan bisa menahan tekanan hingga 20 kilogram tiap sentimeter persegi. Itu dipakai untuk spesifikasi lapis fondasi.

Sedangkan lapis fondasi bawah bisa menahan tekanan hingga 8 kg.

Dibutuhkan waktu hampir setahun untuk merampungkan racikan bahan yang benar-benar bermutu dan siap pakai. Uji coba dalam skala lab tidak hanya sekali dua kali dilakukan.

Tapi, ratusan kali dengan berbagai kombinasi jenis pasir, semen, dan air. Peneliti dari Pusjatan yang terlibat dalam riset awal tersebut puluhan orang.

”Ramuan kami ini satu-satunya di dunia. Sekarang sedang didaftarkan untuk dapat paten,” ungkap Rudy bangga.

Dia menjelaskan, sebelum ramuan tersebut ditemukan, memang ada penelitian pada 2007.

Penelitian itu mendapatkan dukungan dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Bahkan, Pusjatan mendapatkan hibah foam compressor dari Jepang.

Kerja sama penelitian dengan Jepang tersebut juga bertujuan mendapatkan komposisi beton ringan berkualitas. Tapi, itu hanya penelitian dalam skala laboratorium.

Pernah uji coba campuran tanah, semen, dan busa, tapi tidak membuahkan hasil menggembirakan.

Racikan itu ternyata memperlihatkan retakan-retakan beton saat dicetak. Tentu tidak bagus untuk fondasi atau bahan timbunan yang semestinya bisa kuat dan tak retak.

Kini teknologi mortar busa yang diracik para peneliti Pusjatan itu tidak lagi berada di dalam rahim laboratorium. Tapi, sudah lahir dan berdiri kukuh menjadi bagian dari struktur sipil yang dimanfaatkan masyarakat. Misalnya, menjadi bahan timbunan ringan untuk flyover Pelangi Antapani, Bandung.

Peresmian jalan layang dengan bentang 44 meter itu dihadiri langsung oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 24 Januari 2017.

JK hadir karena tertarik dengan teknologi baru penggunaan mortar busa yang dipadu dengan baja lengkung bergelombang atau corrugated. Khusus baja lengkung itu memang hasil kerja sama dengan perusahaan Posco dari Korea Selatan.

Keunggulan teknologi Corrugated Mortarbusa Pusjatan (CMP) tersebut adalah lebih murah, lebih cepat pengerjaannya, lebih tahan lama, dan ramah lingkungan. Biaya konstruksi CMP hanya Rp 8,84 juta per meter persegi.

Bandingkan dengan biaya teknologi konvensional yang menggunakan PCI Girder atau beton yang mencapai Rp 14,87 juta per meter persegi. Sedangkan umur layanan bisa lebih dari 100 tahun.

Waktu pengerjaan pun hanya enam bulan. Sebaliknya, dengan teknologi lama, biasanya butuh waktu pengerjaan sampai setahun.

Umur layanan bisa lebih dari 100 tahun. Pembangunannya pun ramah lingkungan karena sedikit menggunakan material alam.

Fahmi Aldiamar, peneliti Pusjatan lainnya, mengungkapkan bahwa sebenarnya waktu pengerjaan itu bisa hanya empat bulan.

Dalam pembangunan flyover Antapani, pihaknya butuh waktu dua bulan untuk mengurusi jaringan utilitas seperti kabel dan pipa di bawah tanah agar tidak tertabrak fondasi.

”Persiapan alat dan pembangunan paling hanya empat bulan,” jelas pria yang menjabat kepala Seksi Penyelenggaraan Balitbang Geoteknik Jalan Pusjatan itu.

Namun, sebelum mengaplikasikan pada flyover Antapani, teknologi mortar busa diuji coba di berbagai daerah.

Setelah selesai di lab, ramuan sempat dibawa untuk uji skala lapangan di Jembatan Kedaton, Cirebon, pada 2009.

Pengujian awal itu cukup sukses. Selanjutnya adalah uji coba pada 2010 di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, untuk penimbunan tanah lunak.

Pada 2011 dipakai untuk timbunan jembatan di Kepulauan Riau. Sedangkan pada 2013 dipakai untuk timbunan ringan area bekas longsoran di Lahat, Sumatera Selatan.

Akhirnya timbunan dengan mortar busa itu malah bisa dipergunakan untuk pelebaran jalan.

Tahun ini teknologi mortar busa yang dipadu baja lengkung juga disiapkan untuk menyelesaikan kemacetan di exit toll Brebes alias Brexit.

Bahkan, dalam jangka panjang, ada rencana untuk menerapkan pada lebih dari seribu lintasan kereta api jalur Jakarta–Surabaya.

”Kami sebagai peneliti tentu bangga. Apa yang kami teliti tidak berhenti di meja lab. Tapi, berguna langsung untuk masyarakat,” ungkap Rudy. (*/c10/owi)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Didesak Membenahi Infrastruktur Transportasi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler