Ahmad Basarah Heran Masih Ada yang Memperdebatkan Hari Lahir Pancasila

Rabu, 29 Juni 2022 – 18:44 WIB
Ahmad Basarah. Foto: Humas MPR RI

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah merasa heran karena masih saja ada pihak yang memperdebatkan Hari Lahir Pancasila.

Padahal, pemerintah lewat Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila, sudah menetapkan 1 Juni sebagai peringatan hari lahirnya Pancasila.

BACA JUGA: Hasto: Bangsa Indonesia Harus Berani Menatap Masa Depan Cerah dengan Pancasila

Keputusan presiden tersebut melengkapi dokumen kenegaraan Keppres Nomor 18 Tahun 2008 yang menetapkan 18 Agustus 1945 sebagai Hari Konstitusi.

Basarah mengungkap itu saat menjadi pembicara seminar Peringatan Hari Lahir Pancasila bertema "Implementasi Pancasila untuk Memperkokoh Nasionalisme dan Bela Negara pada Civitas Akademika Perguruan Tinggi" di Universitas Pertahanan (Unhan), Rabu (29/6). 

BACA JUGA: Lihat Tuh, Anggota Khilafatul Muslimin Deklarasi Setia kepada Pancasila & NKRI

Sebagai pembicara kunci di seminar itu adalah Rektor Unhan Laksdya TNI Prof. Amarulla Octavian, dan narasumber lainnya ialah Guru Besar Unhan Prof. Pribadiyono. Sementara Doktor Ilmu Pertahanan Hasto Kristiyanto menjadi moderator seminar tersebut. 

Menurut Basarah, Pancasila telah berfungsi sebagai dasar falsafah negara, ideologi negara dan menjadi sumber dari segala sumber hukum negara. 

BACA JUGA: Dewan Pakar BPIP: Diplomasi Pancasila Terbukti Ikut Redakan Konflik di Sejumlah Negara

Pancasila juga sebagai pandangan hidup bangsa dan perjanjian luhur para pendiri bangsa serta pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk ini. 

“Namun, ironinya masih ada saja perdebatan di tengah masyarakat kita soal penepatan kapan hari lahirnya Pancasila,” tambah kata Basarah. 

Menurut Basarah, hal itu bisa dipahami. Jauh sebelum Presiden Jokowi menetapkan hari lahirnya Pancasila, kata dia, Pancasila disebut lahir pada 18 Agustus 1945. 

Padahal, sudah ada Keppres Nomor 18 Tahun 2008 yang menetapkan tanggal 18 Agusutus 1945 sebagai Hari Konstitusi.

Menurut Basarah, argumentasi Pancasila ditetapkan 18 Agustus 1945 adalah karena pada saat itu PPKI menetapkan UUD 1945. 

Selain itu, ujar dia, dalam pembukaan UUD 1945 sudah terdapat sila-sila Pancasila.

Padahal, lanjut Basarah, disepakatinya sila-sila Pancasila tersebut bukanlah kesepakatan pendiri bangsa yang yang tiba-tiba. 

Namun, merupakan proses panjang sebelumnya sejak Pidato 1 Juni 1945 Bung Karno di depan sidang BPUPK, pernah mengalami perkembangan dalam rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan yang diketua Bung Karno.

Kemudian, mencapai kesepakatan final pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang juga diketuai oleh Bung Karno. 

Basarah menuturkan jika Pancasila dipahami proses pembentukan secara parsial dan tidak utuh menyeluruh, maka akan banyak menimbulkan distorsi sejarah Pancasila. 

“Misalkan saja akan muncul pertanyaan, dari mana bisa mengetahui bahwa kelima sila dalam Pambukaan UUD 1945 itu bernama Pancasila? Karena tidak ada satu pun kata Pancasila dalam pembukaan UUD, kita lihat alinea pertama, kedua, ketiga dan keempat, tidak ada kata Pancasila,” ujar Basarah.

Lalu berikutnya, lanjut Basarah, bagaimana dapat memahami filosofi sila-sila Pancasila itu sebagai maksud para pembentuk Pancasila dan pendiri bangsa. 

“Kalau kita mengacu kelahiran Pancasila hanya pada 18 Agustus 1945, maka risikonya bangsa Indonesia akan memahami nilai-nilai Pancasila tersebut menurut selera masing-masing. Tidak ada panduan dalam memahami falsafah bangsa yang terkandung dalam Pancasila,” urai Basarah.

Menurut Basarah, kelima sila Pancasila bukan kalimat mati atau satu ideologi dogmatis seperti komunisme. Demikian juga kalau dimaknai sebagai ideologi terbuka, tetapi tidak bersifat bebas ditafsirkan sekehendaknya. 

Pancasila adalah ideologi yang terbuka dan dinamis, yang mana nilai-nilai dapat terus mengikuti perkembangan zaman oleh setiap generasi bangsanya. Namun, lanjut dia, makna falsafah dasarnya harus tetap berpedoman pada maksud pembentuk Pancasila dan para pendiri bangsa.

Contoh penafsiran Pancasila yang bebas itu seperti ada yang mengatakan bahwa sila-sila Pancasila membolehkan warga negara Indonesia menjadi ateis. 

Sementara, penafsiran lainnya ada yang menyatakan bahwa agama yang sesuai dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sila pertama Pancasila hanya Islam saja. Pendapat bebas lainnya menyatakan bahwa ruh Pancasila itu adalah NKRI bersyariah. 

“Untuk menjawab perdebatan seperti itu maka pendekatan historis dan hermeneutika sangatlah penting,” kata Basarah.

Baginya, pemahaman sejarah Pancasila yang bersumber dari maksud para pendiri bangsa adalah metode dan pedoman  bangsa Indonesia dalam memahami makna falsafah yang terkandung dalam setiap sila Pancasila.

“Jadi, bukan pemahaman yang dimaksud oleh rezim tertentu, suatu golongan tertentu, atau kelompok tertentu atau individu,” tukas Basarah.

Dia menekankan untuk jadi satu ideologi yang hidup di tengah bangsanya, Pancasila setidak-tidaknya memiliki tiga syarat. Basarah menjelaskan syarat pertama adalah Pancasila harus diyakini rasionalitas kebenarannya. 

“Bangsa Indonesia seluruhnya meyakini bahwa nilai-nilai Pancasila adalah seperangkat nilai-nilai kebenaran. Oleh karena itu,  nilai-nilai kebenaran itu diyakini dapat mengantarkan rakyat dan bangsa Indonesia sampai pada tujuan bernegaranya,” urai Basarah.

Kedua, setelah diyakini kemudian harus dihayati dan dipahami. Agar bisa mencapainya, tentu harus mempelajari Pancasila seutuhnya  sesuai yang dirumuskan dan disepakati oleh pendiri bangsa. 

Kalau Pancasila sudah diyakini rasionalitasnya, bangsa Indonesia mempunyai kepercayaan, memiliki keyakinan dan kemudian dipelajari, dipahami dan dihayati, barulah Pancasila kemudian dipraktikkan dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. 

“Dengan demikian, Pancasila akan menjadi ideologi yang hidup dan bekerja di tengah-tengah masyarakatnya sendiri,” pungkas Basarah yang juga Ketua DPP PDI Perjuangan tersebut. (boy/jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : M. Kusdharmadi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler