jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah mengatakan bahwa radikalisme dan bom bunuh diri yang melibatkan generasi milenial, terjadi pascadibubarkannya Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7), dan hilangnya materi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dari kalangan pelajar, mahasiswa dan aparatur negara.
Menurut dia, sejak BP7 dibubarkan tidak ada lagi lembaga yang berkewajiban menyosialisasikan dasar dan ideologi negara.
BACA JUGA: Ahmad Basarah: Pancasila Puncak Kebudayaan Bangsa Indonesia
Sejak P4 ditiadakan, lanjut Basarah, tidak ada lagi pelajaran mengenai dasar dan ideologi negara kepada pelajar, mahasiswa dan aparatur negara.
Akibatnya, generasi millenial mencari-cari ideologi dan dasar negara yang dipakai di negara lain, meski belum tentu sesuai dengan Indonesia.
BACA JUGA: Ketua MPR RI Ajak Generasi Muda Cegah Ekstremisme dan Radikalisme
Kondisi ini makin rumit, karena generasi muda lebih percaya kepada media sosial daripada media massa konvensional.
Terbukti tingkat kepercayaan masyarakat kepada medsos mencapai 20,3 persen.
BACA JUGA: Sosialisasi Masyarakat tentang Perpres 7 Tahun 2021 Diperlukan Mengatasi Terorisme
Angka ini lebih besar daripada kepercayaan masyarakat terhadap informasi yang dikeluarkan secara resmi oleh website lembaga pemerintah yang hanya 15,3 persen.
Harus diakui, lanjut Basarah, negara pernah abai terhadap pentingnya sosialisasi dasar dan ideologi negara. Sila-sila dalam Pancasila itu dianggap bisa diartikan sesuai rezim pemerintahan yang berkuasa.
“Sehingga saat penguasanya berganti, Pancasilanya pun harus berganti. Lantas bagaimana anak-anak muda akan memahami Pancasila, kalau disosialisasikan pun tidak pernah,” kata dia.
Basarah mengungkap itu saat menjadi narasumber dialog Empat Pilar kerja sama MPR dengan Koordinatoriat Wartawan Parlemen di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (26/4).
Tema yang dibahas dalam dialog tersebut adalah Menangkal Penyusupan Paham Ekstremisme, di Kalangan Anak Muda.
Selain Basarah, dialog tersebut juga menghadirkan narasumber Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti.
Menurut Basarah, anak muda gampang dipengaruhi untuk melancarkan gerakan radikalisme dan aksi bom bunuh diri, karena umumnya mereka memiliki jiwa militan yang sangat kuat.
Kepada anak-anak muda itu ditanamkan keyakinan bahwa semua yang dari barat adalah kafir dan thogut, termasuk masalah demokrasi dan Pancasila. Akibatnya, banyak anak muda yang terpengaruh dan larut dalam aksi radikalisme.
Maraknya aksi radikalisme dan bom bunuh diri, itu terlihat jelas dalam kurun 2000-2020. Selama itu, tercatat 553 serangan teror di wilayah NKRI.
Artinya, Basarah menegaskan rata-rata setiap bulan terjadi dua kali aksi teror dalam dua puluh tahun terakhir.
Dari jumlah tersebut, beberapa pelakunya tergolong masih muda.
Seperti Nana Ikhwan Maulana (20) pelaku bom bunuh diri di Hotel Ritz-Carlton tahun 2009, Dani Dwi Permana (18) pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott pada 2009.
Kemudian, Sultan Ajiansyah (22) penyerang Pos Lalu Lintas Cikokol-Tangerang, pada 2016, Rabbial Muslim Nasution (24) pelaku bom bunuh diri di Polrestabes Medan pada 2019,
Berikutnya, Lukman (26) pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar dan Zakiah Aini (26) pelaku teror di Mabes Polri pada 2021.
Basarah lantas mengutip mantan pelaku Bom Bali, Ali Imron dalam sebuah diskusi yang menyataan bahwa untuk mengubah seseorang menjadi teroris cukup mudah dan hanya membutuhkan waktu dua jam.
Namun, lanjut dia, untuk mengubah teroris menjadi tidak membutuhkan waktu yang sangat lama.
“Inilah salah satu alasan mengapa banyak generasi millenial terpapar radikalisme,” kata Basarah lagi.
Abdul Mu’ti mengatakan dulu aksi ekstremisme didorong oleh faktor ekonomi dan kesejahteraan. Namun, lanjut dia, kini alasan tersebut sudah bergeser menjadi persoalan ideologi, demokrasi, dan politik.
Keterlibatan generasi millenial dalam aksi ekstrimisme, kata Abdul Mu’ti, karena pada usia muda mereka tengah mencari identitas dan jati diri.
Kalau tidak dapat bimbingan yang benar, niscaya mereka mudah terbawa arus yang memengaruhinya.
“Ada kekosongan jiwa sehingga gampang dipengaruhi, termasuk untuk menjadi pelaku bom bunuh diri,” katanya.
Selain itu, lanjut Abdul Mu’ti, kurangnya pengetahuan dan teladan yang bisa mereka temukan.
“Mengapa gerakan anti-Pancasila makin banyak, karena mereka tidak melihat dengan Pancasila Indonesia makin baik dan makmur,” ujarnya.
“Karena itu, muncul keinginan mencari ideologi baru, apalagi di luar memang ada ideologi yang membuat suatu negara maju,” kata Abdul Mu’ti.
Keterlibatan generasi muda dalam aksi ekstremisme, kata Abdul Mu’ti, juga dipengaruhi minimnya ruang terbuka yang bisa menjadikan mereka berekspresi dengan leluasa, termasuk bersosialisasi dan menyalurkan bakat serta hobinya.
Menurut dia, untuk mengantisipasi hal ini butuh peran serta kehadiran negara secara lebih besar lagi.
Jadi, ujar dia, harus ada evaluasi sejauh mana keberhasilan mengantisipasi ekstremisme.
Yang pasti, dia menegaskan, penanganan ekstremisme harus menjadi kebutuhan bersama atau semesta partisipatif.
“Bukan hanya BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) atau Densus (Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri), tetapi bersama-sama termasuk menggabungkan partisipasi yang berbeda beda,” kata Abdul Mu’ti. (*/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : Boy