Sosialisasi Masyarakat tentang Perpres 7 Tahun 2021 Diperlukan Mengatasi Terorisme

Senin, 19 April 2021 – 21:29 WIB
Densus 88 Mabes Polri membawa terduga teroris. Ilustrasi Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Ikatan Mahasiswa Magister Hukum Universitas Indonesia (IMMH UI) Fahmi Zakky menyoroti peristiwa teror yang terjadi masif. Misalnya teror di katedral Makassar, Sulawesi Selatan, pada 28 Maret 2021. 

Dia mengatakan, perlu refleksi terhadap regulasi antiterorisme dengan meninjau beberapa faktor-faktor internal dan eksternal. Selain itu perlu menilai efektivitas dari struktur, substansi, dan budaya hukum tersebut.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Anies Baswedan Dipuji di PBB, Prabowo Subianto Dikritik, Kapolri Incar Jozeph Paul Zhang

Hal itu diungkapkan Zakky saat Divisi Kajian Strategis dan Advokasi IMMH UI menggelar seminar nasional dengan mengangkat tema Refleksi Regulasi Antiterorisme ditinjau dari stabilitas keamanan negara yang dilakukan secara daring, Sabtu (18/04).

BACA JUGA: Bantai 51 Jemaah Masjid di Selandia Baru, Brenton Tarrant Menolak Disebut Teroris

Wakil Ketua Ikatan Mahasiswa Magister Hukum Universitas Indonesia (IMMH UI) Fahmi Zakky

Acara tersebut dibuka oleh Zakky dengan dihadiri pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana, pakar intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertapati, dan eks pimpinan Jamaaah Islamiyah Nasir Abbas. Acara itu juga dihadiri oleh 123 peserta yang berasal dari berbagai kampus.

BACA JUGA: Lihat Nih Puluhan Napi Teroris Bersumpah dengan Al-Quran, Siap Setia pada NKRI

"Dari rangkaian peristiwa terorisme yang terjadi di Indonesia perlu adanya refleksi  terhadap regulasi anti terorisme serta menilai efektifitas berupa struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum” ungkap Zakky.

 

Sementara itu, Nassir Abbas menyebut masifnya peristiwa teror di tanah air, satu di antarnya karena sebuah keyakinan pelaku dalam bergerak yang disebut amaliah.

Hal ini disebabkan kuatnya doktrinasi gerakan jaringan teroris, walaupun sudah terdapat beberapa regulasi tentang antiterorisme tidak berpengaruh kepada pelaku terorisme.

"Mau sekeras apa pun undang-undangnya, mereka tidak akan kapok karena semua ini perihal keyakinan," ungkap Nasir Abbas. 

Nasir Abbas mengatakan perihal pemberantasan terorisme bukan masalah undang-undang semata, melainkan persoalan kepekaan masyarakat. 

"Untuk itu guna penyempurnaan pemberantasan terorisme perlu adanya sosialisasi dan edukasi regulasi Perpres 7 Tahun 2021 ini sangat penting untuk cegah dan tangkal terorisme," ungkapnya.

Di sisi lain, Susaningtyas mengungkapkan, beberapa regulasi antiterorisme sudah cukup dan baik.

Namun, kata dia, perihal penanganan pada regulasi terorisme perlu diperluas dari berbagai sektor. Terlebih masyarakat perlu juga diberikan peran dalam penanganan terorisme.

Dalam masalah terorisme, Hikmahanto menyinggung, undang-undang terorisme bukan hanya dilihat dari norma-norma hukumnya saja. 

Namun, kata dia, perlu ditegaskan perihal implementasinya. Dengan begitu, regulasi tersebut dapat bernilai efektif untuk memberantas terorisme di Indonesia.

"Jangan hanya dilihat norma-norma nya saja tetapi perihal impelentasinya juga” ungkap Hikmahanto 

Terkait Perpres Nomor 7 tahun 2021, kata dia, pemerintah perlu merespons dengan mengubah nomenklatur regulasi antiterorisme. Bukan lagi ‘tindak pidana terorisme’,  melainkan ‘pemberantasan terorisme’.

"Sebab, orientasinya sudah berpindah yang awalnya mengganti ideologi menjadi pelenyapan NKRI," ungkap Hikmanto Juwana. (ast/jpnn)


Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler