jpnn.com, BENGKULU - Anggota MPR RI Kelompok DPD dapil Bengkulu Ahmad Kanedi mengatakan syarat Presidential Threshol (PT) sebesar 20% dalam sistem Pemilihan Presiden di Indonesia merupakan sesuatu yang membingungkan.
Sebab, syarat itu tidak sesuai dengan perintah konstitusi. Pemakaian PT juga ditentang sebagian besar ahli tata negara dan kalangan perguruan tinggi.
BACA JUGA: Ketua MPR RI Dukung Polri Beri Efek kepada Pelaku Investasi Bodong
Bahkan, syarat ambang batas calon presiden juga tidak ditemukan dalam praktek ketatanegaraan, di negara manapun di dunia.
"Saya sudah berkeliling di berbagai kampus, hasilnya tidak ada satupun yang setuju dengan Presidential Threshol yang dipraktekkan dalam sistem pemilihan presiden di Indonesia," kata Ahmad Kanedi.
BACA JUGA: Imlek, Wakil Ketua MPR RI Ungkap Peran Gus Dur untuk Kalangan Tionghoa di Indonesia
Dia menambahkan kerap mendapat pertanyaan, mengapa ketentuan ambang batas pencalonan presiden, itu masih digunakan.
Padahal, ketentuan tersebut jelas tidak sesuai dengan amanat konstitusi.
Syarat pencalonan Presiden, sesuai ketentuan konstitusi merupakan warga negara Indonesia.
BACA JUGA: MPR RI: Kolaborasi Semua Pihak Mempercepat Kehadiran UU TPKS
Tidak pernah menerima kewarganegaraan negara lain, tidak pernah berkhianat dan tidak melakukan tindak korupsi atau pidana berat lainnya.
Selain itu, presiden dan wakilnya, dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
"Ini adalah penyimpangan yang terjadi dalam praktek politik dan harus kita sadari bersama," tuturnya.
Menurut dia, meski menyatakan dirinya sebagai negara hukum, nyatanya belum semua aturan main dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengikuti aturan hukum yang ada.
Pernyataan serupa disampaikan pakar Hukum Tatanegara UNIB Ardilafisa.
Menurut Ardilafisa, sepengetahuannya seluruh perguruan tinggi menolak berlakunya Presidential Threshold.
Sebab, keberadaan Presidential Threshol adalah inkonstitusional.
"Mestinya ambang batas itu digunakan untuk menentukan pemenang, jadi besarnya 50% plus satu," kata Ardilafisa menambahkan.
Ardilafisa juga menyampaikan kekhawatirannya terkait pemilu serentak yang akan digelar pertama pada 2024.
Menurutnya, rencana tersebut sangat membahayakan.
Pasalnya, pada akhir periode 2024-2029 semua pejabat negara harus meletakkan jabatannya pada waktu yang bersamaan.
"Apa jadinya jika pada saatnya pemilu gagal dilaksanakan, sementara semua pejabat negara selesai waktu jabatannya. Ini juga harus menjadi pertimbangan," kata Ardilafisa lagi. (mrk/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pimpinan MPR RI Dorong Percepatan Reformasi Agraria
Redaktur : Dedi Sofian
Reporter : Dedi Sofian, Dedi Sofian