jpnn.com, SIMEULUE - Ahmadi, wartawan Rakyat Aceh yang bertugas di Kabupaten Simeulue, menjadi korban pengusuran, akibat sengketa tanah yang dia beli tujuh tahun lalu di Kota Sinabang, Simeulue.
Pengusuran itu, dilakukan pengadilan negeri setempat pada 30 Agustus 2018 lalu. Karena dalam perkara tersebut pihak yang menjual tanah untuk Ahmadi kalah.
BACA JUGA: Rebutan Tanah Bandara Berbuntut Laporan ke Bareskrim
Rumah yang dia bangun bertahap tersebut, dari hasil keringatnya sekarang telah diratakan dengan tanah dengan mengunakan alat berat. Hal itu dilakukan berdasarkan putusan PK Mahkamah Agung.
Dalam konferensi Pers di Jay Kupi Banda Aceh, Ahmadi bersama kuasa hukumnya menceritakan pembelian tanah 7 tahun lalu, pada seorang jurangan tanah di sana. Pada saat membeli, dia tidak pernah tahu jika tanah yang dia beli itu tanah bersengketa.
BACA JUGA: Petani Cakung Menuntut Proyek Jakarta Garden City Disetop
Sebab, katanya gugat menggugat antara pemilik tanah (penggugat dimenangkan pengadilan) dengan tergugat (orang yang menjual tanah ke Ahmadi) setelah dua tahun Ahmadi menempati tanah yang dia beli.
Namun mirisnya setelah gugat dimenangkan Ahmadi kalah dalam perkara itu. Terpaksa ia keluar dari rumah impian yang telah ia bangun untuk masa depan anak-anaknya.
BACA JUGA: Tenaga Medis Cuti Lebaran, Bumil dan Anaknya Meninggal Dunia
“Sekarang tinggal di kebun kopi pada gubuk kecil,” kata Ahmadi yang kini sudah berusia 48 tahun, memiliki seorang isteri dan tiga orang anak. Dua pria dan satu wanita. Dua diantaranya sedang belajar di perguruan tinggi di Aceh. Sementara yang kecil masih di kelas 2 sekolah dasar.
“Kita akan lakukan upaya hukum untuk melawan kembali, karena mereka telah merampas hak saya,” sebutnya.
Perkara ini katanya telah diserahkan semua kuasanya hukumnya Sandri Amin, untuk menuntut kembali haknya yang telah dirampas. Selain itu dia akan melaporkan juga penjual tanah kepada pihak kepolisian, atas dasar penipuan.
Terkait kasus ini tim kuasa hukum Ahmadi menegaskan akan melaporkan Ketua Pengadilan Negeri Sinabang ke Komisi Yudisial (KY).
Pelaporan itu dilakukan karena tim kuasa hukum tereksekusi (Ahmadi) yakni Sanri Amin Cs, menemukan sejumlah kejanggalan pada eksekusi tersebut.
Selain terkesan ada unsur “paksaan” dalam mengeksekusi (dengan membuldoser), gugatan atau permohonan melawan eksekusi yang diajukan oleh tereksekusi juga tidak ditanggapi pihak pengadilan.
Kuasa hukum Ahmadi, Sanri Amin menyebutkan “Pelaksanaan eksekusi yang dijalankan PN Sinabang sangat tidak fair. Eksekusi rumah yang berdiri di lahan sekitar 300 meter tersebut dihancurkan, ketika tergugat Ahmadi telah memasukkan gugatan perlawanan eksekusi karena menemukan novum atau bukti-bukti perkara baru,” katanya dalam jumpa pers di Banda Aceh, Kamis (6/9) malam.
Sandi menjelaskan, pada 2011 lalu Ahmadi membeli sebidang tanah (300 meter) di Desa Ameria Bahagia, Air Dingin, Kota Sinabang. Tiga tahun kemudian atau setelah adanya bangunan rumah semi permanen di atasnya, penjual tanah kepada Ahmadi digugat oleh orang lain.
Dalam perkara ini, Ahmadi sebagai pembeli tanah dan pemilik bangunan rumah dimasukkan sebagai tergugat dua, tergugat satu orang yang menjual tanah dan ada seorang lainnya sebagai tergugat tiga. Atas gugatan tersebut, para tergugat menang di tingkat kasasasi hingga tingkat Peninjauan Kembali (PK) Mahakamah Agung (MA).
Pengadilan memutuskan menghapus hak Ahmadi atas tanah yang dibelinya, dan tanah dikembalikan ke tergugat dalam keadaan kosong. Kemudian pihak PN Sinabang melakukan eksekusi putusan MA tersebut dengan memanggil Ahmadi agar membongkar bangunannya.
Atas pangilan eksekusi tersebut, Ahmadi melalui kuasa hukumnya Sanri Amin Cs pada 20 Agustus 2018, memasukkan gugatan perlawanan eksekusi ke pengadilan karena menemukan bukti perkara baru. “Kami juga memasukkan surat penangguhan eksekusi ke PN Sinabang,” ujar Sanri.
Namun pada 30 Agustus 2018, rumah Ahmadi dirobohkan menggunakan alat berat sementara pengadilan mengabaikan gugatan perlawanan dan surat penangguhan eksekusi tersebut. Padahal, sidang gugatan perlawanan eksekusi baru dilaksanakan pada awal September 2018.
"Kami heran apa kepentingan pengadilan untuk cepat -cepat mengeksekusi rumah Ahmadi. Kami punya bukti baru untuk gugatan perlawanan. Kalau nanti Ahmadi terbukti tidak bersalah, siapa yang bertanggung jawab atas rumah yang sudah dihancurkan ini," tanya Sanri Amin.
Sanri Amin menyayangkan sikap pengadilan yang tetap mengeksekusi rumah Ahmadi dan memakai alat berat, sementara tergugat sudah memasukkan gugatan perlawanan ke Pengadilan Negeri Sinabang. Lanjut Sanri, pengadilan bisa langsung mengeksekusi rumah tersebut apabila tidak ada lagi upaya hukum yang dilakukan tergugat.
Karena merasa diperlakukan tidak adil, pada Senin mendatang kuasa hukum Ahmadi, Sanri Amin Cs akan melaporkan ketua Pengadilan Negeri Sinabang berinisial HM , Hamzah Sulaiman ke Komisi Yudisial (KY) RI. (ibi/mai)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Forum Ahli Waris Pulau Pari Anggap Laporan Ombudsman Keliru
Redaktur : Tim Redaksi