jpnn.com, JAKARTA - Perintah penahanan pasca vonis dibacakan oleh Majelis Hakim dalam perkara pidana penodaan agama terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada tanggal 9 Mei 2017, tidak sekedar kontroversial akan tetapi juga menjadi ajang kesewenang-wenangan Majelis Hakim ketika harus memerintahkan penahanan tanpa menyebutkan untuk berapa lama Ahok harus ditahan.
Penahanan Majelis Hakim terhadap Ahok harus didasarkan pada ketentuan pasal 26 KUHAP, namun dalam kenyataannya Majelis Hakim melihat Ahok berada pada posisi kooperartif mengadapi persudangan hingga vonis dibacakan.
BACA JUGA: Gerakan Matikan 1000 Lilin, Akun Facebook Milik Gubernur Sulsel Diretas
Pertanyaannya mengapa ketika kewenangan untuk menahan bagi Majelis Hakim sudah tidak ada, lagi pula Ahok dinyatakan kooperatif dan berlaku sopan dalam persidangan hingga mendapatkan bonus berupa keringanan hukuman (menurut Majelis Hakim), namun Ahok tetap dipedintahkan untuk ditahan.
Sejumlah kejanggalan sikap Majelis Hakim yang tercermin dalam putusan perkara Ahok tetap tidak dapat ditutup-tutupi oleh Majelis Hakim akan bisa mejawab pertanyaan di atas, antara lain :
BACA JUGA: Yakin Mau Menghapus Pasal Penodaan Agama? Nih Risikonya
Pertama, Majelis Hakim tidak pernah berupaya untuk meminta JPU menghadirkan Buni Yani guna didengar keterangannya sebagai orang yang mengunggah rekaman video ucapan Ahok yang kemudian menjadi heboh, padahal nama Buni Yani telah disebut-sebut sejak penyidikan hingga dalam persidangan seperti tertera dalam halaman 611 putusan Majelis Hakim.
Kedua, Majelis Hakim dalam putusannya hanya mempertimbangkan alat bukti saksi dan ahli ahli yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, sementara ahli dan saksi yang meringankan yang diajukan Terdakwa/Penasehat Hukum sama sekali tidak dipertimbangkan, tanpa memberi alasan apapun.
BACA JUGA: Banding Ahok, Akankah Divonis Hukuman Minimal?
Ketiga, Majelis Hakim memerintahkan penahanan atas diri Ahok pada saat kebutuhan persidangan tidak memerlukan dan mungkinkan Majelis Hakim untuk memeriksa Ahok dalam tingkat pemeriksaan Pengadilan Negeri karena vonis sudah dibacakan dan vonis langsung dinyatakan banding.
Keempat, Majelis Hakim memasukan perintah penahanan tanpa batas waktu dalam amar putusan, beresiko memberi pesan kepada publik bahwa Ahok sudah dipenjara dua tahun dan langsung dieksekusi oleh Jaksa Penuntut Umum, tanpa kenyebutkan untuk berapa lama Ahok berada dalam tahanan.
Kelima, Kewenangan penahanan pasca pembacaan vonis yang langsung dinyatakan banding, otomatis beralih menjadi wewenang Hakim Pengadilan Tinggi ybs dan faktanya hingga saat ini Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta belum mengeluarkan perintah penahanan terhadap Ahok, karenanya keberadaan Ahok di dalam tahanan harus dipandang sebagai penyanderaan atas dasar kesewenang-wenangan Majelis Hakim.
Keenam, sikap anomali Hakim dalam pertimbangan putusan mengenai hal-hal yang meringankan menegaskan bahwa Terdakwa bersikap kooperatif selama dalam persidangan; artinya penahanan yang dikeluarkan Majelis Hakim saat vonis dibacakan menjadi kontraproduktif dan tidak compatible sehingga menjadi sebuah anomali.
Ketujuh, Penggunaan pasal 193 ayat (2) KUHAP sebagai dasar untuk menahan Ahok, dengan alasan selama putusan belum berkekuatan hukum tetap Ahok dikhawatirkan akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti ataupun mengulangi tindak pidana lagi, jelas merupakan pertimbangan hukum yang dicari-cari dan melecehkan kejujuran dan ketatan Ahok dalam mengikuti persidangan.
Apalagi saat vonis dibacakan dan banding langsung dinyatakan oleh Ahok, kepentingan pemeriksaan Majelis Hakim sudah selesai sehingga kewenangannya untuk menahanpun sudah tidak ada, karena sudah beralih.
Kedelapan, Majelis Hakim seolah-olah masih memerlukan pemeriksaan pasca pembacaan vonis, sehingga melakukan penahanan terhadap Ahok, padahal posisi Majelis Hakim berada pada pembacaan vonis, sehingga kepentingan pemeriksaan Majelis Hakim sudah tidak ada lagi, karena sudah menjadi wewenang Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta, berdasarkan ketentuan pasal 238 ayat (2) KUHAP.
Penggunaan pasal 197 ayat (2) KUHAP oleh Majelis Hakim juga tidak tepat karena ancaman putusan batal demi hukum sudah dinyatakan tidak berlaku oleh MK, sehingga dengan demikian alasan Majelis Hakim dengan berlindung dibalik ketentuan pasal 197 ayat (2) KUHAP terlalu dicari-cari dan membuktikan bahwa Majelis Hakim tidak mengikuti perkembangan hukum.
Kesembilan, Majelis Hakim tidak secara utuh mempertimbangkan eksistensi UU No. 1/PNPS Tahun 1965 terkait dengan penerapanmpasal 165a KUHP yang kelahirannya melalui pasal 4 UU No. 1/PNPS Tahun 1965, meskipun telah dijadikan pertimbangan dalam putusannya halaman 609 yang menyatakan "Terdakwa seharusnya berusaha utk menghindari penggunaan kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat merendahkan dan menghina suatu agama sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 4 huruf a Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965".
Namun demikian Majelis Hakim ketika memeriksa hingga membacakan vonis Ahok, Hukum Acara yang diatur di dalam ketentuan UU No. 1/PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama diabaikan tanpa dipertimbangkan sama sekali.
Padahal jika kententuan pasal 1, 2, 3 dan 4 (pasal 4 melahirkan pasal 156a KUHP) UU No. 1/PNPS Tahun 1965), diterapkan secara konsekuen, maka perbuatan yang didakwakan kepada Ahok masih sangat prematur, karena baru dikualifikasi sebagai tindak pidana, manakala Ahok sudah diberikan peringatan dalam bentuk Keputusan Bersama oleh Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama, namun Ahok tetap melanggar.
Mengenai persoalan peringatan terlebih dahulu dan pemidanaan kemudian telah mendapat penguatan dalam putusan perkara Uji Undang-Undang No. 1/PNPS Tahun 1965 terhadap UUD 1945 dalam perkara No. 140/PUU-VII/2009 pada tahun 2009 dan dalam perkara No. 84/PUU-X/2012, dimana MK dalam pertimbangannya menyatakan UU No. 1/PNPS Tahun 1965 masih diperlukan dan khusus mengenai pasal 156a penerapannya berdasarkan pada asas ultimum remedium.
Artinya Ahok baru bisa dikatakan telah melakukan tindak pidana manakala Ahok sudah diberikan peringatan terleboh dahulu oleh Jaksa Agung, Mendagri dan Menteri Agama, namun tetap melanggar.
Ini adalah hukum positif yang lolos dari uji UU terhadap UUD 945 sebanyak dua kali.
Penahanan dan alasan penanahan Majelis Hakim terhadap Ahok sesungguhnya hanya ingin memberi lable negatif kepada Ahok bahwa Ahok seorang penista agama yang harus dihukum sebelum hukuman dijatuhkan.
Padahal kalau hanya menahan untuk kepentingan pemeriksaan, mengapa sejak penyidikan dan penuntutan hingga Majelis Hakim membuka persidangan, Ahok tidak dikenakan penahanan. Mengapa Majelis Hakim hingga pembacaan putusan masih mengakui bahwa Ahok bersikap kooperatif selama persidangan (tidak melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti dan tidak mengulangi perbuatan yang disangkakan atau didakwakan).
Namun demikian mengapa Majelis Hakim seakan-akan serta-merta kehilangan kepercayaan terhadap Ahok dengan memerintahkan Ahok ditahan tanpa batas waktu. Jika memang penahanan pasca vonis dibacakan bertujuan untuk kepentingan pemeriksaan yang sifatnya sementara dan limitatif, mengapa Majelis Hakim tidak membuat Penetapan Perintah Panahanan di luar amar putusan.
Mengapa perintah panahanan tanpa batas waktu itu dimuat bersamaan dengan amar putusan pemidanaan dua tahun penjara dan diumumkan ke publik.
Antara kebutuhan penahanan di satu pihak dan persyaratan obyektif dan subyektif untuk menahan Ahok saat vonis dibacakan sangat tidak compatible, karena terdapat nuansa memenuhi dendam pihak ke tiga, nuansa untuk merusak nama baik Ahok terutama pertimbangan subyektif kekhawatiran akan Ahok melarikan diri, merusak barang bukti dan mengulangi perbuatan yang didakwakan, sementara pada saat bersamaan Majelis Hakim dalam pertimbangan untuk hal-hal meringankan mengakui Ahok bersikap kooperatif sebagai unsur esensial terkait setia menghadiri setiap sidang, tidak menghilangkan barang bukti malahan Ahok memberikan tambahan barang bukti dipersidangan apalagi mengulangi perbuatan yang didakwakan.
Putusan Majelis Hakim menahan Ahok sudah berada di luar konteks kewenangan Hakim berdasarkan ketentuan pasal 26 KUHAP, karena itu argumentasi Majelis Hakim ketika mengeluarkan perintah menahan Ahok dengan pertimbangan ketentuan pasal 193 ayat (2) KUHAP tanpa melihat urgensi penahanan Terdakwa berdasarkan ketentuan pasal 26 KUHAP dan kewenangan menahan Hakim Pengadilan Tinggi berdasarkan ketentuan pasal 238 ayat (2) KUHAP.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri seolah-olah telah memasang perangkap untuk mencoba memasung sekaligus menjebak Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta, ketika berkas permohonan banding diserahkan kepada Hakim Tinggi, maka Hakim Tinggi diharapkan tetap menahan Ahok dengan dasar ketentuan pasal 224 KUHAP.
Disinilah "mens rea" bagi Hakim ketika Hakim ditunggangi kepentingan pihak ketiga yang hendak memboncengi Pengadilan untuk melampiaskan dendam dan nafsu kekuasaan.
Dengan demikian maka Kemandirian Peradilan dan Kebebasan Hakim pasca reformasi masih merupakan sebuah fatamorgana yang selalu muncul dalam setiap perkara-perkara yang bernuansa politik tingkat tinggi. (***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Saya Gubernur Sulsel Mendukung âGerakan Matikan 1000 Lilinâ
Redaktur : Tim Redaksi