jpnn.com, JAKARTA - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai penunjukan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai Menteri ATR/BPN yang baru lebih cenderung pada bagi-bagi posisi jabatan menteri.
Hal itu disampaikan Sekjen KPA, Dewi Kartika dalam keterangan tertulisnya yang diterima JPNN.com, Rabu (21/2).
BACA JUGA: Jokowi Tegaskan tidak Ragu Tunjuk AHY jadi Menteri ATR/BPN, Ini AlasannyaÂ
"Penunjukan AHY sebagai Menteri ATR/BPN yang baru lebih cenderung pada bagi-bagi posisi jabatan Menteri, ketimbang memberikan solusi bagi PR besar realisasi reforma agraria yang semakin menumpuk," kata Dewi.
Dia menjelaskan penunjukkan AHY terjadi di tengah PR besar Presiden Joko Widodo dalam upaya menunaikan janji politiknya, yakni merealisasikan reforma agraria di Indonesia di sisa waktu pemerintahan yang tersisa beberapa bulan.
BACA JUGA: Angkat AHY Jadi Menteri ATR/BPN, Jokowi Berpesan 3 Hal Ini
Dewi menyebutkan pada pertemuan langsung di Istana Negara tahun 2020, Jokowi merespons tuntutan KPA saat mengingatkan kemacetan penyelesaian konflik agraria.
"Presiden Jokowi berjanji setidaknya akan menyelesaikan 50 persen Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA). Janji tersebut terkait redistribusi tanah hasil penyelesaian konflik agraria masyarakat dengan HGU perkebunan swasta dan PTPN (BUMN)," lanjutnya.
BACA JUGA: Dilantik Jokowi, AHY Sebut Momen Bersejarah Demokrat Kembali ke Pemerintahan
Namun, memasuki 10 tahun masa kepemimpinannya, janji tersebut tidak kunjung terlaksana.
Sebab, jelas Dewi, upaya-upaya yang dilakukan selama ini tidak mengarah pada penyelesaian konflik agraria, koreksi ketimpangan penguasaan tanah, dan redistribusi tanah kepada petani.
"Salah satu penyebab mandeknya realisasi reforma agrarian adalah kinerja buruk Tim Nasional Reforma Agraria dan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA)," ungkap Dewi.
Dewi menjelaskan PR besar lainnya di bidang agraria ialah kegagalan Reforma Agraria terhadap klaim-klaim kawasan hutan di atas tanah-tanah petani, masyarakat adat, dan puluhan ribu desa.
"Hal ini mengakibatkan persoalan agraria semakin menumpuk selama rezim pemerintahan Jokowi," tuturnya.
KPA sendiri mencatat, sembilan tahun terakhir terjadi 2.939 letusan konflik agraria di berbagai sektor dengan luas 6,3 juta hektar.
Dewi menjelaskan korban konflik agraria mencapai 1,75 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia.
"Selain itu, terdapat 2.442 rakyat yang ditangkap dan dikriminalisasi, 905 orang mengalami kekerasan, 84 orang tertembak dan 72 tewas di wilayah konflik agraria," jelasnya.
Dia juga menjelaskan di sisa waktu pemerintahan yang tinggal menghitung bulan, yang sebenarnya diperlukan ialah terobosan politik untuk memastikan janji Presiden Jokowi menyelesaikan konflik agraria dan redisribusi tanah kepada petani dapat terealisasi.
Dewi menilai penunjukan AHY bukan pilihan yang tepat, sebab latar belakang dia yang tidak banyak bersentuhan dengan sektor agraria.
"Seharusnya, di sisa akhir masa pemerintahannya, Jokowi menunjuk sosok menteri yang sudah berpengalaman dan memahami seluk-beluk persoalan agraria, bukan yang perlu beradaptasi dan perlu waktu belajar memahami lagi masalah-masalah agraria," tegas Dewi.
KPA juga sangat menyayangkan sikap Jokowi yang lebih memilih bagi-bagi jabatan daripada fokus pada percepatan 9 juta hektar reforma agrarian sesuai janji politiknya dalam Nawacita.
Dewi juga menyampaikan catatan bahwa Partai Demokrat yang dipimpin AHY mempunyai rekam buruk konflik agraria di Indonesia pada dua periode pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Selama dua periode berkuasa (2004-2014), SBY tercatat memberikan 55 juta hektar konsesi kepada korporasi kehutanan, sawit dan tambang," katanya.
"Pada periode yang sama, KPA mencatat 1.520 konflik agraria seluas 5.711.396 hektar yang menyebabkan 977.103 Keluarga menjadi korban.Tidak hanya menggusur, tetapi pada masa pemerintahan SBY 1.433 dikriminalisasi, 636 dianiaya, 110 tertembak dan 155 tewas," pungkas Dewi.(mcr8/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur : M. Adil Syarif
Reporter : Kenny Kurnia Putra