Rach Alida Bahawere dari Divisi Perempuan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, mengatakan, pemberitaan tentang anak kerap kurang mempertimbangkan kemungkinan si anak menjadi korban secara berulang-ulang
BACA JUGA: Pertemuan di Malang Inisiatif Anggodo
"Anak yang telah menjadi korban kekerasan, bisa juga menjadi korban pemberitaan," katanya saat dihubungi di Sekretariat AJI Indonesia, Kwitang, Senen, Jakpus, Rabu (27/1).Dia mencontohkan, dalam kasus berita anak terinfeksi HIV/AIDS, misalnya, si anak yang telah menjadi korban karena ketidaktahuan ataupun ketidakhati-hatian orang tuanya, setelah diberitakan justru menjadi korban stigma
BACA JUGA: RS Dilarang Jual Darah
Misalnya, ketika si anak dan keluarganya dikucilkan dari lingkungan tempat tinggalnya
BACA JUGA: Tak Harus Orang Asli Papua
Setelah wajah si anak ditampilkan secara utuh tanpa dikaburkan, atau identitas diri seperti nama, alamat, dan sekolah si anak dimuat tanpa disamarkan, setelah diberitakan, justru si anak dipaksa menanggung rasa malu atau mengingat lagi peristiwa traumatik yang pernah dia alamiRach juga menyoroti istilah 'razia dubur' bagi anak jalanan yang disertai berbagai pemberitaan tentang razia tersebut, sangat berpotensi membuat si anak yang telah menjadi korban kekerasan seksual untuk kembali menjadi korban pemberitaan"Padahal, jangankan dalam kasus anak-anak yang jadi korbanDalam memberitakan anak-anak yang menjadi pelaku tindak kriminal pun, kemasan beritanya tetap harus memposisikan si anak sebagai korban," katanya
Di lapangan, lanjutnya, juga masih ditemui jurnalis yang tidak menggunakan jurnalisme perspektif anakMisalnya masih ada wartawan yang bertanya pada anak, “Apakah kamu pernah disodomi?”, “Apa yang ada dalam benak kamu kalau di sodomi”.
Kalimat itu dilontarkan kepada anak jalanan secara langsungItu pun dengan mengggunakan cara bertanya yang kasarTak ada empati sama sekali dari jurnalis"Ini tentu bukan perilaku jurnalis yang menerapkan jurnalisme perspektif anak," lanjutnya
Karena AJI Indonesia mengingatkan para jurnalis baik reporter, redaktur, dan produser serta penanggung jawab ruang redaksi untuk memperhatikan hal-hal seperti kode etik jurnalistik, dan menghindari eksploitasi dan sensualisme anak, menghindari seksual image terhadap anak di media, serta tidak mengekspose anak secara berlebihan.(lev/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Klaim Tetap Dibayar
Redaktur : Antoni