Ajudan Gus Dur Selalu Bawa Sekoper Penuh Video Lawak

Sabtu, 11 Juni 2016 – 00:35 WIB
Gus Dur. Foto: serbaserbigusdur.wordpress.com

jpnn.com - BAMBANG Semedhi, pria kelahiran Kromengan, Kabupaten Malang, Jatim, adalah mantan wartawan istana, yang sudah keliling dunia bersama tiga Presiden Indonesia. 

Kepala Humas dan Kerjasama FISIP Universitas Brawijaya Malang ini sudah mengarungi 67 negara dalam kerja jurnalistiknya. Pria yang juga dosen itu menjadi jurnalis kepresidenan selama 12 tahun.

BACA JUGA: Kalah Bertanding Menanam Cabe dengan Orang Sakti, Memeluk Islam

Fino Yudistira-Malang

Tawa Gus Dur menggelegar di kabin pesawat kepresidenan RI. Guyonan Topan pelawak Jawa Timuran, mencicit-cicit di layar monitor yang menempel di kursi pesawat. Ajudan sang bapak bangsa ikut ngakak, melihat tingkah Timbul yang saling lempar ejekan dengan Lesus.

BACA JUGA: Air Mata sang Ibu Menetes saat Anaknya Digelandang Densus 88

Wartawan kepresidenan RI, yang ikut dalam rombongan presiden keempat RI tersebut, juga tak bisa menahan tawa.

Cair. Begitulah suasana yang ada di antara wartawan dengan Gus Dur saat masih menjadi presiden. Begitulah secuplik kisah Bambang Semedhi, Kepala Humas dan Kerjasama FISIP UB, dalam mengenang satu ceritanya sebagai salah satu wartawan kepresidenan RI. 

BACA JUGA: Serda Nana, Tentara yang Rajin Berdakwah

Tawa dan duka menjadi jurnalis presiden pun, diluapkannya ketika ditemui Malang Post (Jawa Pos Group) di ruang Humas FISIP UB, 10 Juni 2016, Jumat pagi.

“Saya menjadi reporter TVRI di istana presiden mulai dari tahun 1990 sampai 2002. Saya juga sekaligus jadi penanggung jawab program Dunia Dalam Berita yang tayang tiap jam 9 malam di TVRI. Saya sudah mengalami era tiga presiden, yakni Suharto, Habibie dan Gus Dur,” kata Bambang, mengawali kisah perjalanannya sebagai wartawan presiden.

Karir Bambang sebagai wartawan sebenarnya bukanlah reporter. Awal masuk ke TVRI, dia menempuh pendidikan dasar sebagai kameramen. Mulai tahun 1977, Bambang menjalani profesinya di berbagai bidang pemerintahan, termasuk liputan harian di gedung DPR/MPR Beberapa tahun menjalani profesinya, dia merasa iri dengan para reporter.

“Badan saya kan kecil, sedangkan kamera recorder zaman dulu itu besar-besar. Saya iri lihat reporter yang cuma bawa block note dan pulpen serta tape recorder. Setelah itu, saya akhirnya pindah jadi reporter dan dapat kesempatan untuk sekolah jurnalistik di Korea Selatan,” tandas pria 64 tahun ini.

Pada tahun 1984, Bambang bersama 20 orang dari seluruh dunia, menjalani school of journalism di Seoul, ibukota Korsel. Sekolah ini adalah bikinan UNESCO untuk mengumpulkan serta mendidik 20 jurnalis dari seluruh dunia. Bambang menjadi salah satu wartawan Indonesia yang masuk di program tersebut.

Selama dua tahun, Bambang mendalami ilmu jurnalistik di Seoul di bawah instruktur jurnalistik dari UNESCO. Setelah selesai pendidikan, dia pulang ke Indonesia tahun 1984. Dia semakin moncer sebagai reporter televisi, dan akhirnya jadi jurnalis presiden pada tahun 1990. Bambang mengakui tidak mudah jadi wartawan presiden terutama di era Orde Baru.

“Saya harus menjalani semacam fit and proper test serta screening sebelum mengantongi kartu pers wartawan Istana Negara,” jelas bapak empat anak ini. 

Sebagai wartawan istana era Suharto, kehidupan sehari-harinya di pusat pemerintahan Indonesia sangat ketat. Dia dituntut harus bersikap sopan dan memakai pakaian formal setiap hari.

Pasalnya, Istana Negara selalu didatangi oleh tamu dari luar negeri dan wartawan wajib menunjukkan identitas diri sebagai orang Indonesia yang sopan. Bahkan, urusan table manner saat makan bersama tamu diplomatis negara lain pun ikut diperhatikan secara langsung oleh Menteri Sekretaris Negara.

“Kita gak boleh pakai jeans, rambut gak boleh gondrong, celana jeans jelas dilarang dan sepatu harus selalu sepatu formal. Kita tidak pernah cekikikan dan harus bersikap sopan saat di dalam Istana Negara. Bahkan, cara makan malam bersama tamu diplomatik pun diajarkan,” sambung Bambang.

Kakek empat cucu tersebut pun menceritakan, betapa luar biasanya perubahan media dari era Orde Baru ke reformasi paska 1998. Menurutnya, era Orde Baru adalah era yang sangat mengekang media. Wartawan dikendalikan oleh Mensesneg dan Menteri Penerangan. Menurutnya, wartawan istana era tersebut sangat kuat sebagai corong pemerintah.

Jurnalis harus sangat hati-hati dalam menulis dan melaporkan berita. Jika sampai ada yang ‘nyeleneh’ dalam membuat berita dari Istana Negara, maka jurnalis tersebut akan disemprot oleh Mensesneg. Ancamannya pun bermacam-macam, termasuk pelarangan liputan di kantor Presiden RI, sekaligus pencabutan kartu pers ring satu Istana Negara.

Bambang pun pernah mengalami hal tersebut, ketika almarhum Suharto sedang digoncang gerakan reformasi 1998. Sekitar tanggal 18 Mei 1998, rombongan kepresidenan berkunjung ke Mesir.

“Saya posisi juga di Mesir, disambut Hasan Wirayuda, masih Duta Besar. Saat itu sekitar jam 8 malam waktu Mesir, dan jam 12 malam waktu Indonesia. Kondisi Indonesia saat itu, chaos. Lalu, dalam pidatonya, Pak Harto bicara bahwa dia mengundurkan diri dari jabatan Presiden RI,” kata Bambang.

Ucapan pengunduran diri Suharto tersebut langsung membuat Bambang kaget. Dengan tergesa-gesa, dia mengirimkan rekaman video ungkapan pengunduran diri Suharto ke Indonesia. Tidak seperti sekarang, mengirim rekaman video pada zaman itu sangat kompleks. Dia mengakses jalur satelit ke London, diarahkan ke Hongkong, baru bisa terkirim ke Indonesia.

“Berita itu muncul jam 12 malam waktu Indonesia, media lain sudah deadline. Pagi harinya, reportase saya jadi satu-satunya sumber yang mengungkap pengunduran diri Pak Harto. Tapi, pagi jam 8, berita itu langsung dibantah juga. Saya dipersalahkan Mensesneg (Saadilah Mursjid),” cerita Bambang.

Setelah pemberitaan tersebut, suasana Indonesia semakin panas. Bambang kembali liputan ke Istana Negara, dan menginap tiga malam di sana. Kondisi gedung pusat pemerintahan Indonesia sudah dipenuhi banyak tentara. Lalu, tiga hari setelah berita Bambang, Suharto akhirnya benar-benar mengumumkan secara resmi mundur dari jabatan Presiden RI pada 21 Mei 1998.

Era yang ketat dan penuh sensor di Orde Baru, berubah ketika Habibie dan Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI. “Kalau pak Habibie lebih santai. Karena ruang wartawan istana berseberangan dengan ruang presiden, Pak Habibie seringkali mampir, menyapa dan ngobrol-ngobrol. Lalu, masuk eranya Gus Dur, jurnalisme jadi sangat terbuka sekali,” papar Bambang.

Menurutnya, reformasi mengubah wajah jurnalisme yang dikebiri di era Orde Baru, menjadi jurnalisme yang sangat terbuka.

Gus Dur sendiri begitu cair dengan wartawan istana. Suasana ruang kabin pesawat kepresidenan yang sangat senyap saat era Suharto, jadi penuh gelak tawa ketika era Gus Dur. Layar monitor pesawat presiden selalu dipenuhi video-video lawakan untuk menghibur rombongan kepresidenan.

“Ajudan Gus Dur itu selalu bawa satu koper penuh video lawak. Gus Dur suka nonton Srimulat. Dulu 8 tahun kabin pesawat presiden itu tegang dan tenang. Sedangkan, Gus Dur suka ngobrol dan bercanda dengan wartawan. Kan memang orangnya ceplas-ceplos,” tambah pria yang sudah naik haji bersama Gus Dur tersebut.

Sebagai jurnalis istana, dia telah menginjakkan kaki di 67 negara yang berbeda mulai 1990 sampai 2002. Semua benua pun pernah dijelajahi Bambang. Dalam satu tahun, Presiden RI berkunjung ke luar negeri sekitar 8-10 kali. Saat era Habibie, dia pernah satu bulan keliling Eropa.

“Saat naik haji bersama presiden, rombongan tidak langsung ke Mekkah. Kita ke Abu Dabhi, Yaman Selatan, Mesir, Nigeria, Sudan dan menyeberang Madinah. Setelah itu baru ke Jeddah dan Mekkah. Kita juga dapat keistimewaan. Saat towaf, pintu kabah dibuka dan kita masuk,” kata Bambang.

Dia menyebut, pengalaman sebagai wartawan istana ini adalah harta berharga yang tak bisa digantikan oleh apapun. Bahkan, jika dia bereinkarnasi dan boleh memilih pekerjaan, maka dia akan langsung memilih jadi wartawan. 

“Jadi wartawan itu asyik. Kita jadi punya banyak perspektif dan sudut pandang yang berbeda dalam melihat segala hal,” tutup Bambang.(*/sam/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Salut, Bambang Tetap Jadi Satpam Meski Kelola Bisnis Hotel Sendiri


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler