Kalah Bertanding Menanam Cabe dengan 'Orang Sakti', Memeluk Islam

Jumat, 10 Juni 2016 – 00:45 WIB
MAKAM: Penjaga makam Datokarama yang terletak di Jalan Rono, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulteng, di kompleks makam Datokarama, akhir Mei lalu. Foto: MUGNI SUPARDI/Radar Sulteng/JPNN.com

jpnn.com - BAGI penduduk Kota Palu, Abdullah Raqie atau yang lebih dikenal dengan Datokarama, adalah  seorang yang sakti atau keramat (datuk). 

Dia seorang tokoh ulama penyebar agama Islam pertama di lembah Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng). 

BACA JUGA: Air Mata sang Ibu Menetes saat Anaknya Digelandang Densus 88

MUGNI SUPARDI-ANTON TULO’IYO, Kota Palu

DARI Kota Padang, Sumatera Barat, sebelum masuk ke Bukit Tinggi, ada sebuah perkampungan yang namanya yakni Sepuluh Koto. Menurut sejarawan di Universitas Tadulako (Untad) Palu, Sulteng, Sepuluh Koto adalah tempat kelahiran dari Abdullah Raqie. 

BACA JUGA: Serda Nana, Tentara yang Rajin Berdakwah

“Dari tempat itulah dia (Abdullah Raqie,red) lahir,” singkat sejarawan Untad, Haliadi Sadi, saat dimintai Radar Sulteng (Jawa Pos Group) menceritakan sejarah Islam masuk ke Palu, akhir pekan lalu (3/6). 

Hadi menjelaskan, karena terdapat perbedaan pendapat dari para ulama di sekitar tempat tinggalnya tentang kedatangan kolonial Belanda di pertengahan abad ke 17, membuat Datokarama seakan-akan tersingkirkan. Makanya dia memilih pergi. 

BACA JUGA: Salut, Bambang Tetap Jadi Satpam Meski Kelola Bisnis Hotel Sendiri

“Keputusan pun diambil. Dan memilih lebih baik meninggalkan kampung halamannya untuk mengembangkan ajaran Islam,” lanjut pria berkaca mata ini.

Pada sekitar tahun 1740-an, Datokarama memutuskan angkat kaki menuju ke bagian timur Tanah Minang. Hampir 50-an orang yang terdiri dari sanak keluarga dan anak buahnya menemani Datokarama  dengan sebuah perahu layar. 

Tak ada yang bisa memastikan, berapa lama perahu Datokarama mengarungi lautan melintasi beberapa wilayah hingga sampai ke Tanah Kaili Lembah Palu, Sulteng. Apalagi transportasinya waktu itu hanya mengandalkan kekuatan perahu layar. 

Namun, kata Hadi, sebelum sampai ke Tanah Kaili, rombongan Datokarama singgah dulu di sebuah pantai. Namun sayang, nama pantai itu tak diketahui akibat kurangnya data dan fakta untuk memperkuat kisah dari Datokarama. Dari pantai itu tadi, perahu layar Datokarama kemudian menyeberang ke Johor, Malaysia. 

Di negeri jiran itu, Datokarama memperdalam kembali pengetahuannya tentang Islam dari ulama Johor, Malaka dan sebagian ulama Pathani, Thailand Selatan. Di Johor sendiri kala itu, banyak pedagang-pedagang dari Suku Bugis, asal Indonesia. Selain berdagang di Johor, para pedagang Bugis tersebar di beberapa wilayah seperti Singapura dan Malaka. 

“Ketika itulah Abdullah Raqie (Datokarama,red) banyak bertanya dengan pedagang tentang bagaimana alur perjalanan hingga dirinya sampai ke Johor,” ulas Hadi menjelaskan kisah tokoh pembawa Islam pertama di Tanah Kaili tersebut.

Para pedagang tersebut pun menjelaskan, jalur-jalur yang dilalui hingga sampai ke Johor. Dimulai dari Tanah Bugis (Makassar) menuju ke Kalimantan Selatan, kemudian pindah ke Kalimantan Barat, selanjutnya menyeberang ke Riau dan akhirnya tiba di Johor. 

“Maka rombongan Abdullah Raqie mengikuti jalur perdagangan orang-orang Bugis di pertengahan nusantara hingga sampai di Pulau Salemo (di Makassar),” sebut Hadi.

Di kepulauan itu, Datokarama singgah di tempat pengajian pertama yang berdiri di Sulawesi Selatan. Dia bertemu beberapa ulama seperti Datuk Patimang, Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri Tiro, yang mengembangkan Islam di wilayah tersebut. 

Suatu ketika, terjadi sebuah diskusi antara Datokarama dengan ulama di Pulau Salemo hingga akhirnya dia disarankan untuk menuju ke bagian utara. Seperti ke wilayah Samarinda (Kalimantan) dan Sulteng. 

“Ada beberapa ulama yang sampai di Mandar, tetapi Datokarama tidak. Tujuannya langsung menuju ke wilayah Kaili, Teluk Palu,” ungkap Hadi.

Perahu layar yang membawa rombongan Datokarama terdampar di Karampe, pesisir Teluk Palu. Sebutan Karampe sendiri diambil dari perahu Datokarama yang karam di pantai itu. “Maknanya itu terdampar di sana,” jelasnya.

Kala itu, tidak jauh dari Karampe, terdapat salah satu kerajaan yang namanya Kerajaan Besusu yang dipimpin oleh Pue Ngari. 

Pue Ngari yang mendengar kedatangan Datokarama menerimanya dengan hangat dan secara baik rombongan yang memiliki tujuan menyebarkan Islam di Tanah Kaili. Di sisi lain, Pue Ngari tidak sendirian di Tanah Kaili, tetapi dia memiliki teman seperti Pue Njidi dan Pue Bongo. 

Saat itu, Pue Ngari menganggap bahwa Pue Njidi yang berada di perkampungan Pogego (saat ini dikenal dengan sebutan Kabonena,red) adalah orang yang sangat ditakuti dan harus mengetahui kedatangan dari Datokarama. 

Dengan perantaraan Pue Ngari, maka bertemulah Datokarama dengan Pue Njidi. Dalam pertemuan itu, ada cerita (mitos) orang-orang tua dulu bahwa keduanya terjadi dialog hingga menghasilkan kesepakatan sebuah pertandingan. Yaitu menanam cabe dengan satu kesepakatan yang dibuat. 

“Barang siapa yang tumbuh cabenya terlebih dahulu dan berbuah, maka dia dianggap jagoan. Pertandingan itu dimenangkan oleh Abdullah Raqie (Datokarama). Sebab, pohon cabe milik Pue Njidi mati sebelum berbuah, sedangkan Datokarama pohon cabenya sampai berbuah. Sehingga tunduklah Pue Njidi termasuk Pue Ngari hingga mereka berdua memeluk Islam,” ungkapnya.

Hadi menjelaskan, dirinya sebagai seorang sejarawan mencoba mengartikan gambaran dialog antara Datokarama dengan Pue Njidi. Kalau orang tua dulu melihat hanya sebatas mitos belaka. Tapi sesungguhnya dialog antara Pue Njidi dan Datokarama adalah tentang keesaan Allah SWT. 

Datokarama menyatakan bahwa manusia harus tunduk kepada Allah SWT bukan kepada yang lain. Tetapi Pue Njidi katakan bahwa mereka tunduk kepada Karampue Ri Langi (penguasa langit) dan Karampue Ri Ntana (penguasa tanah). 

Namun, karena Pue Njidi kalah dalam argumentasi dengan ulama dari Tanah Minang itu tentang keesaan sang pencipta. Pue Njidi menjelaskan keesaan tersebut tidak sampai tuntas, namun berbeda halnya dengan cerita dari Datokarama hingga selesai. Mulai dari kelahiran sampai kematian, maka membuat Pue Njidi pun sampai menganut Islam. 

“Saat itu Islam yang dianut masih mitologis. Bukan seperti anggapan kita sekarang harus tahu membaca Alquran dan sebagainya. Kala itu hanya diperkenalkan saja, bahwa agama ini adalah yang terbaik pada saat itu,” jelas sejarawan Islam tersebut.

Mulai saat itu juga, diterimalah kehadiran Datokarama oleh Pue Njidi, Pue Ngari dan Pue Bongo, sebagai penguasa di wilayah Palu, bersamaan dengan para orang-orang tua di Palu untuk mengikuti jejak kepemimpinnya dengan ajaran Islam. 

Walaupun belum sepenuhnya menjalankan Islam secara kaffah, para orang tua tersebut menyatakan mereka sudah masuk Islam, dengan kepercayaan yang lama masih tetap dianut. 

“Nanti ketika datang Guru Tua (Sayyid Idrus Aljufri) yang melengkapi, dengan membangun masjid dan sekolah. Dalam kajian saya, Guru Tua adalah kajian dalam masa ilmu pengetahuan,” sebutnya. 

Guru Tua datang ke Palu pada sekitar tahun 1929, kemudian pada tahun 1930-an di Guru Tua membangun perguruan Islam yang bernama Alkhairaat. Dua puluh tahun kemudian, perguruan ini berkembang luas di sekitar Kota Palu hingga ke daerah Sangir Talaud dan pulau-pulau kecil utara pulau Sulawesi. (**/sam/jpnn)

*Dilengkapi dari buku Sejarah Islam di Kota Palu, terbitan PusSEJ Lemlit Untad dan Disdikbud Palu.  

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Salat Tarawih Tengah Malam, Pulang Harus Pamitan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler