AKBP Sumy Hastry Purwanti, Polwan Berkeahlian Unik di Polri

Ahli Mengidentifikasi Mayat lewat Tulang

Jumat, 25 Maret 2016 – 23:13 WIB
AKBP Dr Sumy Hastry Purwanti dr DFM SpF (kedua dari kanan) berfoto bersama usai meraih gelar doktor forensik di kampus FK Unair Surabaya. Foto: dokomentasi pribadi/Radar Semarang/JPG

jpnn.com - AKBP Dr Sumy Hastry Purwanti dr DFM SpF menjadi sosok polisi wanita yang unik di tubuh Polri. Keahliannya adalah mengidentifikasi mayat yang sudah rusak melalui tulang.

M. HARIYANTO, Semarang

BACA JUGA: Kampung Wisata tanpa Listrik, Terang Tunggu Ada Pernikahan

BELUM lama ini, Sumy Hastry Purwanti meraih gelar doktor dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Wanita kelahiran Jakarta, 23 Agustus 1970 ini menuntaskan pendidikan strata 3 setelah menyelesaikan disertasi berjudul Variasi Genetika Pada Populasi Batak, Jawa, Dayak, Toraja dan Trunyan dengan Pemeriksaan D-Loop Mitokondria DNA untuk Kepentingan Identifikasi Forensik.

”Total saya selesaikan kuliah doktor selama tiga tahun 10 bulan. Khusus penelitian disertasi saya selesaikan selama setahun,” tuturnya Radar Semarang (Jawa Pos Group).

BACA JUGA: Dokter Lo Siauw Ging Kerap Menolak Uang dari Pasien

Lewat disertasinya itu, ia ingin membuktikan kepada masyarakat bahwa tulang manusia bisa diselidiki untuk mengungkap identitasnya. Untuk pembuktian disertasinya itu, Hastry meneliti puluhan sampel tulang orang yang sudah meninggal.

”Rata-rata sampel yang saya ambil sudah meninggal selama 50 tahun. Total sampel ada 70 tulang, namun yang berhasil diperiksa 50,” bebernya.

BACA JUGA: Mengharukan, Aksi Sejumlah Polisi Ini Sungguh Mengharukan

Ia menjelaskan, bukan hal mudah mencari tulang untuk mendukung penelitiannya. Selan itu, sampel tulang itu juga harus melewati proses panjang. Pasalnya, sampel yang akan diteliti harus betul-betul keturunan asli Jawa, Dayak, Batak, Toraja dan Trunyan (Bali) tanpa ada campuran DNA dari populasi lain.

”Saya harus berhadapan dengan adat istiadat itu. Ada keluarga sampel yang akan diteliti awalnya menolak. Namun setelah dijelaskan bahwa ini untuk kepentingan penyelidikan akhirnya mereka mau,” ucap alumnus Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Semarang 2004 ini.

Hastry menuturkan, ketika akan meneliti tulang atau kerangka manusia keturunan Batak, ia harus membongkar terlebih dulu jenazah yang sudah dikuburkan. Selain minta izin untuk melakukan pembongkaran, juga ada prosesi upacara dan tari-tarian agar masyarakat mengizinkannya penelitian kerangka warga keturunan Batak.

”Kalau suku asli Dayak, harus mencari ke dalam hutan. Minta izin ketua adat, ritual dari malam hingga pagi hari di tengah hutan, upacara potong hewan babi. Karena saya muslim, jadi potong ayam, dan saya harus makan ayam itu. Kalau di Toraja, harus beli emas dan kertas khusus sebagai alat ritual supaya diizinkan pemuka adat dan keluarga kerangka yang akan diteliti,” jelasnya.

Dari penelitian atas DNA Mitokondria dari tiga populasi Dayak, Jawa dan Batak ternyata ditemukan kesamaan. Menurutnya, ada hubungan kekerabatan antara populasi Batak, Dayak dan Jawa. Sedangkan Toraja dan Trunyan (Bali) tidak memiliki kesamaan dengan populasi lainnya.

”Ada beberapa persamaan dari DNA Mitokondria, dari pola pewarisan yang diturunkan oleh ibu. Ini bisa dideteksi sampai 33 generasi. Temuan ini bisa menjadi acuan identifikasi di lingkup forensik dan Polri ke depannya. Pencarian data antemortem bisa dipersempit setelah tahu sampel yang akan diteliti, jadinya lebih mudah mengidentifikasi,” bebernya.

Kasubbid Dokpol Bid Dokkes Polda Jateng ini menilai jumlah dokter di Indonesia yang memiliki spesialisasi tersebut masih kurang dari 100 orang. Menurutnya, keahlian itu  sangat unik dan langka. Sebab, kebanyakan perempuan enggan berlama-lama berurusan dengan mayat.

”Ada banyak tantangan yang harus dihadapi dokter forensik. Harus bekerja tanpa kenal waktu, kuat mental karena harus sering berhadapan dengan berbagai jenis mayat, baik yang sudah membusuk maupun potongan tubuh manusia yang tak lagi dikenali, biasaya korban kecelakaan, ledakan bom, dan bencana alam,” jelasnya.

Hastry pun mengaku sangat berterima kasih kepada semua pihak yang selalu mendukung dan membantunya untuk menuntaskan disertasi doktoralnya. Polwan yang pernah dipercaya mengidentifikasi korban hilangnya pesawat AirAsia di Selat Karimata itu pun berjanji akan selalu siap sedia jika tenaganya dibutuhkan.

”Namanya tugas dan kewajiban, sesibuk apa pun akan tetap jadi prioritas. Bahkan kalau sedang banyak kasus, seminggu bisa lebih dari dua kali mengotopsi mayat,” pungkas polwan yang menjadi anggota tim Disaster Victim Identification (DIV) Polda Jateng itu. (*/aro/ce1/JPG/ara/JPNN)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ngojek Setahun Rp 7 Juta, Kini Rp 27 Juta Per Bulan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler