jpnn.com - KEHADIRAN Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Aksi Bela Islam III atau Aksi 212 di Monas pada Jumat, 2 Desember tentu merupakan kejutan luar biasa bagi rakyat Indonesia. Jokowi yang sebelumnya tidak menemui massa Aksi Bela Islam II di depan Istana Negara pada 4 November silam, justru berbaur dengan massa Aksi 212 di Monas untuk salat Jumat bersama.
Jokowi bahkan menyempatkan berpidato di depan massa Aksi 212. Sesuatu yang sebelumnya tak diduga-duga oleh massa aksi.
BACA JUGA: Politikus Golkar Ini Malu dengan Aksi PKI 412
Tapi harus dicatat, kehadiran Jokowi di Monas itu tidak bisa hanya dianggap sebagai sebuah kejutan. Ada sikap kenegarawanan dalam tindakan Jokowi di depan massa Aksi 212. Selama ini, Jokowi melihat Islam di Indonesia tidak hanya sebagai agama saja, tapi juga merupakan kekuatan sosial politik yang merupakan bagian dari kebhinnekaan bangsa.
Karenanya saya tidak terkejut dengan kehadiran Presiden Jokowi dalam salat Jumat di Monas itu. Dalam beberapa kali diskusi dengan Jokowi, cara pandangya terhadap ke-Islaman dan ke-Indonesia-an memang seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
BACA JUGA: Ternyata Ahmad Dhani Ditangkap di Kamar Dul
Jokowi berargumen bahwa Islam di Indonesia tidak sekedar sebagai agama mayoritas, tapi juga civilization (peradaban) yang memengaruhi perjalanan sejarah dan budaya bangsa. Jokowi memandang Islam telah berakulturasi dalam proses budaya bangsa.
Contoh paling mudah adalah ketika seorang ibu mulai mengandung, memasuki masa tujuh bulan, kelahiran hingga akikah, ada pengaruh Islam yang menjadi rujukan. Bahkan dalam hal pernikahan dan kematian, masyarakat menempatkan Islam sebagai rujukan.
BACA JUGA: Organisasi Sayap Gerindra Dukung Prabowo Maju Pilpres Lagi
Ajaran Islam sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat kita sejak datangnya Wali Songo di tanah Jawa. Dan itu terus berlangsung hingga kini.
Karenanya, konstruksi berpikir Jokowi memang menempatkan kerja keras untuk memajukan bangsa di segala bidang dan berhasil atau tidaknya akan sangat dirasakan oleh umat Islam selaku pemegang saham mayoritas republik ini yang hidup berdampingan dengan umat beragama lain.
Jika bangsa ini makmur sejahtera, ekonomi menggeliat, daya beli meningkat, jaminan kesehatan dan pendidikan berjalan, maka umat Islam di Indonesia yang merasakan efeknya. Sebaliknya, bila bangsa ini hancur dan gagal, maka umat Islam yang paling dirugikan.
Sejarah mencatat ketika Bung Tomo menggelorakan semangat perang dengan pekikan "Allahu Akbar" berulang-ulang bukan berarti ingin mendirikan negara Islam. Bung Tomo justru meyakini upaya memerdekakan bangsa ini dari penjajahan Belanda pada hakikatnya juga membebaskan dan membela mayoritas umat Islam agar menuju kesejahteraan yang lebih baik.
Saya pun meyakini hal yang sama ada dalam pikiran Jokowi ketika mengumandangkan takbir di depan jutaan jemaah salat Jumat di Monas pada Aksi 212 lalu. Jokowi sangat paham bahwa membela bangsa dan memajukan negara ini berarti juga membela umat Islam yang menjadi bagian terbesar dalam republik.
Di sinilah Jokowi mencontoh keteladanan Nabi Muhammad dalam bernegara. Walaupun Islam mayoritas saat itu, tapi tetap menjamin dan perlindungan untuk agama-agama yang lain. Dan sebagai presiden, Jokowi wajib mengikuti apa yang disepakati founding fathers kita ketika menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan menjalankan UUD 1945.
Jadi, bagaimana mungkin Jokowi dituding mengabaikan umat Islam? Toh, ibunda dalam kehidupan sehari-hari tidak lepas tahajud dan berpuasa. Adik-adik beliau juga berhijab semua.
Jangan ragukan komitmen Jokowi terhadap umat Islam. Saya melihat pernyataan Habib Rizieq Shihab di Monas tentang upaya memajukan umat Islam demi menjaga Indonesia, hakikatnya sejalan dengan pemikiran Jokowi. Hanya rasanya saja yang berbeda.
Tapi ke-Indonesia-an dan Islam di sini memang dua sisi mata uang yang tidak perlu didikotomikan. Keduanya tidak perlu dipertentangkan.
Soal Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama alias Ahok yang kini terjerat kasus dugaan penodaan agama, hal itu sudah menjadi risikonya. Ahok memang harus mempertangungjawabkan ucapannya tanpa harus disangkutpautkan dengan pihak lain, apalagi Presiden Jokowi.
Saya pikir kecerobohan Ahok dalam berbagai video, termasuk saat dia membahas tentang surga dan Neraka dalam konsepsi Kristen di dalam rapat di Balai Kota DKI, ataupun saat mengutip Surat Almaidah ayat 51 di Kepulauan Seribu, merupakan resiko pribadinya yang tidak menjaga omongan. Tidak ada satu pun orang di negeri ini yang bisa menjaga mulut Ahok.
Karenanya yang harus dicatat bahwa pernyataan Ahok bukanlah cerminan sikap politik Jokowi ataupun PDI Perjuangan selaku pengusungnya yang mengedepankan nilai-nilai penghormatan terhadap agama, apalagi digeneralisasi dan dipolitisasi menjadi isu suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA). It's not fair.(***)
*Penulis adalah Direktur Pusaka Trisakti
BACA ARTIKEL LAINNYA... Prabowo Resmi Diusung Kembali Ikut Pilpres 2019
Redaktur : Tim Redaksi