Aksi Indonesia Untuk Perubahan Iklim Dunia

Jumat, 16 Desember 2016 – 09:42 WIB
Menteri LHK Siti Nurbaya saat menghadiri Konferensi Perubahan Iklim (COP) ke-22 di Marrakech, Maroko. Foto Humas KLHK for JPNN.com

jpnn.com - INDONESIA mempertegas posisi pentingnya saat menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB tentang perubahan iklim Conference of Parties (COP) atau COP-22 di Marrakesh, Maroko, pada pertengahan November 2016.

COP-22 membahas pelaksanaan teknis dari Kesepakatan Paris untuk perubahan iklim (Paris Agreement) COP-21 yang diselenggarakan tahun 2015. Paris Agreement merupakan puncak upaya negosiasi negara-negara PBB untuk pengaturan global upaya penurunan emisi dan pengendalian perubahan iklim. Paris Agreement sendiri telah diratifikasi oleh Indonesia menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2016.

BACA JUGA: Asyiiiik...Polri Resmi Terbitkan e-Tilang, e-Samsat, dan SIM Online

Disamping keputusan formal melalu COP22/CMP12/CMA1, hasil penting dari pertemuan tahunan ini berupa deklasari “Marrakech Action Proclamation for Our Climate and Sustainable Development”.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Siti Nurbaya menegaskan bahwa deklarasi tersebut merupakan sinyal bagi seluruh pemangku kepentingan untuk segera beranjak dari fase komitmen menuju realisasi aksi penanganan perubahan iklim melalui implementasi Perjanjian Paris, serta mobilisasi means of implementation yaitu pendanaan, alih teknologi dan peningkatan kapasitas.

BACA JUGA: Jokowi Diminta Cabut Lagi PP soal Ormas WNA

Seperti yang diketahui bersama,  Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris dan telah menyampaikan first Nationally Determined Contribution yang berisi garis-garis besar pelaksanaan pengendalian perubahan iklim pada 30-50 tahun mendatang.

''Dari hasil COP 22 ini,  Indonesia bersama Negara lain siap mengimplementasikan Perjanjian Paris guna memenuhi target yang ambisius, melalui upaya inklusif, yang merefleksikan prinsip-prinsip equity, common but differentiated responsibilities, respective capabilities, dengan memperhatikan perbedaan kondisi masing-masing negara,'' jelas Menteri Siti.

BACA JUGA: Sosialisasi Empat Pilar MPR melalui Pagelaran Seni Budaya Mandar

Indonesia sendiri sudah melakukan berbagai langkah nyata dalam implementasi Perjanjian Paris. Pada agenda transparency framework,  Indonesia telah memberikan contoh dengan telah selesainya penyusunan MRV framework serta peluncuran Sistem Registrasi Nasional.

Pada bagian peningkatan kapasitas,  Indonesia bersama China menjadi wakil dari Asia Pacific sebagai anggota Paris Committee on Capacity Building (PCCB) dimana akan menentukan program-program peningkatan kapasitas di negara berkembang termasuk di Indonesia

Demikian juga halnya dengan adaptation communication, dimana Indonesia berhasil memberikan masukan agar lebih simple dan fleksibel untuk setiap Negara agar tidak menjadi beban baru.

Pada acara puncak penutupan COP 22, perwakilan Indonesia menyampaikan tujuh pesan utama untuk menjadi perhatian COP Presiden pada negosiasi mendatang, yaitu:

1. Mendorong pencapaian target penurunan emisi dan agenda adaptasi sebelum tahun 2020 sebagai landasan kuat untuk pelaksanaan komitmen negara-negara pasca 2020. Secara khusus kepada negara-negara maju yang telah meratifikasi “Doha Amendment” untuk menuntaskan kewajiban menurunkan emisinya.
 
2. Perhatian yang sama terhadap program-program adaptasi,  mitigasi dan dukungan pendanaan,  alih teknologi dan peningkatan kapasitas harus sama rata. Indonesia juga mendorong agar perlakukan yang sama ini harus berlanjut pada implementasi NDC dengan mempertimbangan kapasitas yang berbeda-beda di masing-masing negara.

3. Mendorong pencapaian target dukungan pendanaan 100 milar USD sampai tahun 2020 dengan memperhatikan antara janji (pledges) dan realisaasi.  Indonesia juga mendorong agar target-trget yang dibicarakan bukan hanya pre 2020 tapi juga pasca 2020 termasuk pendanaan adaptasi.

4. Menfasilitasi implementasi dan pemenuhan (Compliance) program mitigasi dan adaptasi sangat penting untuk mendukung pencapaian target Indonesia dan negara berkembang lainnya. Indonesia menekankan agar “Compliance” merupakan kunci dan harus dilanjutkan dengan prinsif facilitative, non punitive dan non adversarial.

5. Peran dari transparency framework tidak ternilai harganya.  Indonesia mengajak agar memperhatikan keseimbangan aspek substantive dan pengorganisasian pembahasannya serta keseimbangan pada transparansi aksi dan dukungan pendanaan,  alih teknologi dan peningkatan kapasitas.  Hal ini sangat penting untuk eveluasi pencapaian melalui global stocktake di tahun 2023 mendatang.

6. Menegaskan pentingnya tindaklanjut semua mandat dari COP-22, CMP-12 dan CMA-1 termasuk submisi negara anggota dan aspek substansi lainnya,  dan menyetujui penetapan waktu kelanjutan persidangan CMA-1.  Indonesia juga mendukung pelaksanaan Facilitative Dilogue di tahun 2018 untuk menilai kesiapan setiap negara dalam menjalankan NDC-nya masing-masing.

7. Indonesia menegaskan prinsip inklusifnes, transparan, terbuka dan leaving no one behind dalam proses negosiasi mendatang.

Sementara itu ditekankan, bahwa sangat penting masyarakat Indonesia mengetahui tindak lanjut pertemuan Marrakesh, karena dampak dari perubahan iklim sudah nyata dirasakan.

Cuaca ekstrim yang terjadi di banyak daerah di Indonesia, menjadi salah satu bukti nyata pengaruh dari perubahan iklim. Untuk itulah Pemerintah pusat, pemerintah daerah, akademisi,  peneliti, tokoh masyarakat, pihak swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat,  masyarakat umum bahkan sampai individual memiliki peran masing-masing yang secara simultan dapat berkontribusi dalam upaya Nasional mengendalikan perubaan iklim.

Menteri Siti menambahkan, di Indonesia juga sudah banyak dilakukan berbagai kegiatan penanganan perubahan iklim yang dimulai dari inisiatif masyarakat, disamping juga kebijakan secara Nasional dalam hal pengelolaan hutan dan lahan, serta energi dan fiscal.

Salah satu upaya nyata adalah berbagai aksi penanaman pohon secara rutin di berbagai daerah. Bahkan penanaman serentak 238 ribu pohon di Tuban beberapa waktu lalu, berhasil memecahkan Guiness Book of World Record.

Sistem adopsi pohon juga sudah banyak diprakarsai masyarakat, seperti di Cianjur, Jawa Barat dan daerah lainnya. Juga prakarsa masyarakat, para tokoh dan BUMN, seperti pendirian pusat mangrove dan arboretum jenis tanaman lowland, coastal di Indramayu.

Beberapa kebijakan kunci fiscal juga dilakukan, seperti mengurangi subsidi BBM di APBN, aturan OJK untuk tidak memberikan fasilitas keuangan bagi perusahaan yang tidak melindungi lingkungan hidup, dan dukungan pengembangan listrik dari sampah.

Selain itu dengan melakukan moratorium gambut dan hutan primer, moratorium sawit dan restorasi gambut, moratorium batubara walau masih terbatas, serta kebijakan hutan sosial yang melibatkan masyarakat lokal dan masyarakat adat, karena secara langsung mereka bisa menjaga hutannya dari dekat.

(rls16)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tingkatkan Kualitas Kader Beringin Lewat Sekolah Partai


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler