jpnn.com - JAKARTA - Sejumlah kalangan menilai, keputusan pemerintah untuk menunda konsolidasi antara Bank Tabungan Negara (BTN) dengan Bank Mandiri akan berdampak buruk terhadap masa depan bank BUMN tersebut.
Indikasinya sudah nampak, dimana banyak investor yang melepas sahamnya di pasar, sehingga harga saham BTN kembali jatuh ke level Rp 1.090 per saham.
BACA JUGA: 2014, PT Pupuk Indonesia Targetkan Pendapatan Rp 56,32 miliar
Kondisi ini berbeda jauh ketika Meneg BUMN Dahlan Iskan menyampaikan rencana konsolidasi Bank Mandiri-BTN. Saat itu, yakni 17 April 2014, saham BTN sempat melesat ke level Rp 1.525 per saham. Artinya sebulan terakhir saham BTN terpuruk hingga 40 persen.
Kondisi ini disayangkan anggota Komisi XI DPR RI Arif Budimanta. “Aksi korporasi harusnya tidak dikaitkan dengan politisasi, apalagi bagi BUMN yang sudah Tbk. Seharusnya yang dikedepankan adalah kinerja kedepan dan fungsi dari bank tersebut yang optimum melayani kebutuhan masyarakat sesuai dengan tujuan ketika didirikan,” ujar Arif Budimanta.
BACA JUGA: Cadangan Devisa Tertinggi Setahun Terakhir
Hal senada disampaikan Kepala Riset Universal Broker Indonesia Satrio Utomo. Dikatakan, penundaan akuisisi BTN oleh Bank Mandiri membuat investor kecewa karena hal itu akan mempengaruhi Prospek BTN ke depan. Menurutnya risiko likuiditas dan kredit BTN juga semakin memburuk, dan ini tidak positif bagi investor saham.
Memburuknya kondisi BTN sudah terlihat di kuartal I 2014. Meskipun kreditnya tumbuh diatas 20%, namun kualitas kredit BTN semakin memburuk. Hal tersebut tergambar dari peningkatan Non Performing Loan (NPL) BTN di kuartal I 2014 sebesar 4,7%, yang lebih tinggi dibandingkan kuartal IV 2013 yang mencapai 4%. Total NPL BTN ini setara dengan Rp 4,8 triliun, atau dalam 3 bulan kredit macet BTN bertambah sekitar Rp 800 miliar dibandingkan Desember 2013.
BACA JUGA: Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi 5,7 - 5,8 Persen
Dengan kualitas kredit yang memburuk, coverage ratio kredit BTN juga terus menurun. Jika di tahun 2011 coverage ratio kreditnya mencapai 54,1%, pada akhir Maret 2013 hanya tinggal 27,3%. Kredit perumahan bersubsidi dan kredit komersial menjadi dua segmen yang menyumbang NPL terbesar di BTN, yaitu masing-masing 5,7% dan 8,4%.
Sementara dengan ratio LDR mencapai 100%, BTN harus menghadapi tingginya beban pendanaan akibat besarnya dana mahal. DPK BTN per 31 Maret sebesar Rp 102,2 triliun, dimana sekitar 58,7% merupakan dana mahal.
Dengan struktur dana mahal yang begitu dominan dan risiko kredit yang meningkat, tingkat efisiensi BTN menjadi sangat rendah. Hal itu terlihat dari kenaikan BOPO di kuartal I 2014 yang menjadi 86,5% dibandingkan 83,1% periode sama 2013.
Satrio mengatakan, problem yang dihadapi BTN seharusnya dapat diselesaikan jika mereka melakukan konsolidasi dengan Mandiri. Tapi akibat rencana ini ditunda, kondisi BTN menjadi tidak pasti. "Ini yang perlu disayangkan, mengingat rencana meneg BUMN itu sangat positif," ulasnya.
Pengamat Pasar Modal Edwin Sinaga menambahkan, in-efisiensi menjadi salah satu problem yang dihadapi oleh BTN. Selain itu, sistem kerja di BTN tidak mampu mengkapitalisasi aset karyawan untuk meraih keuntungan secara maksimal. Hal ini bisa dilihat dari kontribusi per karyawan terhadap laba bersih di BTN yang hanya Rp 195 juta, jauh dibawah produktivitas Mandiri sebesar Rp 554 juta, BNI Rp 347 juta dan BRI sebesar Rp 260 per karyawan.
"Kondisi ini menunjukkan BTN tidak akan mampu memperbesar modal jika tak dilakukan penambahan modal. Melalui sinergi dengan Bank Mandiri seharusnya BTN bisa lebih besar dan sehat untuk membiayai sektor perumahan yang menjadi fokus bisnisnya," ujar Edwin.
Direktur INDEF Enny Sri Hartati juga menyayangkan tertudanda akuisisi ini. “Sayangnya kedua belah pihak berfikir secara parsial dan subyektif. Lepaskan semua aspek politis dulu. Baru bisa secara clear dihitung benefit cost-nya.”
Dengan kondisi bisnis yang stagnan, investor BTN juga dirugikan. Pasalnya selama 3 tahun terakhir ROE dan ROA BTN terus menukik. Jika di tahun 2011 ROE BTN mencapai 17,6%, pada kuartal I lalu hanya tinggal 12,6%. Adapun ROA BTN juga kian menipis dari 2% pada 2011 menjadi hanya 1,39%. Alhasil, pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas tidak mampu mendapatkan manfaat yang optima karena nilai perusahaan terus menurun. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... SMI Terbitkan Obligasi Rp 1 Triliun
Redaktur : Tim Redaksi