Rusmala Dewi bisa lega setelah bayinya yang berusia 11 bulan bisa kembali ke pangkuannya, setelah sempat dijual oleh suaminya sendiri.
Polisi sudah menetapkan ayah kandungnya yang berusia 36 tahun sebagai tersangka, setelah menjual bayinya seharga Rp15 juta lewat Facebook.
BACA JUGA: Warga Mengerubuti Hotel Tempat Liam Payne Ditemukan Meninggal
Saat transaksi bayi terjadi, Dewi sedang berada di Kalimantan untuk bekerja. Namun ketika kembali ke Tangerang, ia tak tahu keberadaan anaknya.
Menurut laporan polisi pembelinya adalah pasangan yang sudah 10 tahun menantikan anak.
BACA JUGA: Pendidikan di Australia Mengkhawatirkan karena Sistemnya Rusak?
"Hasil penjualannya digunakan untuk membeli dua buah handphone untuk keperluan sehari-hari dan juga untuk bermain judi," ujar Kombes Ade Ary Syam Indradi, Kepala Bidang Humas Metro Jaya, bulan lalu.
Polisi juga sempat menangkap pasangan yang menjadi pembeli bayi, tapi Dewi kemudian mencabut laporannya setelah ia berdiskusi dengan orang tua dan keluarga besarnya.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Bintang Hiphop P Diddy Hadapi Tuduhan Baru Terkait Pelecehan Seksual
“Kenapa saya berubah pikiran karena memang sejauh ini saya melihat dari si penadah ini tulus merawat anak saya," ujar Dewi saat berbincang di acara Rosi dari Kompas TV.
"Sejauh ini enggak ada kekerasan sama sekali, anak saya kembali ke pelukan saya dengan sehat," tambahnya.
"Saya [bisa] merasakan juga gimana sih penantian 10 tahun enggak punya anak."
Tapi di acara tersebut ia mengaku tidak bisa memaafkan suaminya.
“Kalau dari suami saya enggak bisa karena memang saya sakit banget sebagai seorang ibu"
"Kenapa sih harus anak ... makanya saya sampai melangkah sampai sejauh ini, saya pingin suami saya dihukum karena memang saya enggak terima.”
Dewi mengatakan kalau dia tidak lapor ke polisi, maka ia tidak akan pernah tahu ke mana bayinya saat itu.Kondisi yang menyebabkan penjualan bayi
Tidak ada data resmi soal berapa jumlah bayi dan anak yang dijual di Indonesia.
Tapi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan mereka menerima 64 aduan terkait dengan eksploitasi dan perdagangan anak pada tahun 2023, naik dari 33 pengaduan di tahun 2022.
Tapi KPAI mengatakan tidak bisa dikatakan tren-nya meningkat, karena jumlah pengaduan berfluktuasi setiap tahunnya. Namun yang pasti, KPAI mengkhawatirkan karena perdagangan bayi dan anak masih terjadi.
"Ya pasti karena [angka] ini yang teradukan, kita itu dari data pengaduan aja segini ya, belum lagi yang tidak teradukan," ujar Ai Maryati, Ketua KPAI kepada ABC Indonesia.
Bulan lalu kepolisian juga membongkar sindikat perdagangan bayi yang terjadi antara pulau Jawa dan Bali dan sudah menetapkan delapan tersangka.
Sebuah yayasan di Tabanan, Bali menggunakan kedok sebagai tempat menampung dan membantu ibu-ibu hamil untuk menjalankan modusnya, seperti keterangan polisi.
Salah satu tersangka, pria berusia 41 tahun, dituduh mencari bayi-bayi di Jawa kemudian menjualnya kepada mereka yang sedang ingin mengadopsi anak.
Polisi mengatakan sindikat tersebut dituduh menjual bayi-bayi tersebut dengan kisaran harga Rp25 hingga 45 juta.
Tahun lalu terkuat modus kejahatan yang sama, yakni dengan menggunakan yayasan untuk melakukan transaksi penjualan bayi.
Polisi menangkap pria berusia 32 tahun asal Bogor, yang dikenal dengan sebutan "Ayah Sejuta Anak", yang kemudian divonis hukuman empat tahun penjara.
Polisi mengatakan ia terlibat dalam "perdagangan anak lewat adopsi ilegal" dengan menjual anak-anak dari ibu-ibu tak bersuami di jejaring media sosial.Ibu butuh perawatan lebih baik
Ai dari KPAI mengatakan kebutuhan ekonomi dan kurangnya informasi soal cara adopsi yang legal menjadi alasan penjualan bayi masih terjadi di Indonesia.
"Tentu ada kebutuhan untuk itu," katanya.
Tidak hanya sebagai tindak pidana, adopsi ilegal juga merampas identitas agama dan politik dari anak-anak yang dijual dan diadopsi secara ilegal, bahkan ada pula yang hubungan dengan keluarganya sudah diputus dan mereka dikatakan sebagai anak yatim piatu.
Stigma terhadap ibu-ibu tunggal tanpa suami serta kehamilan di luar perkawinan juga membuat pemberantasan penjualan anak dan bayi "sulit" diberantas menurut Pusat Kajian Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) dari Universitas Indonesia.
"Bentuk bansos yang ada juga terbatas hanya untuk kelompok termiskin, bukan yang rentan," ujar Ni Luh Maitra Agastya, direktur Puskapa kepada ABC Indonesia.
"Tidak ada bansos yang menyediakan dukungan untuk perawatan anak atau child care.""Sehingga orangtua yang melahirkan bayi sudah bisa mengkalkulasi dukungan finansial yang dibutuhkan dan berat jika berada dalam kondisi finansial yang tidak stabil."
"Sudah saatnya pemerintah membangun sebuah kontinum pelayanan untuk anak dan keluarga rentan"
Ia menegaskan pentingnya untuk meningkatkan bantuan untuk kesehatan produksi dan pilihan untuk pengasuhan sementara oleh lembaga saat keluarga disiapkan secara finansial.
KPAI mengatakan jeratan hukum saat ini "masih belum optimal" dan "lemah" terkait dengan perdagangan bayi dan anak.
Sementara Dewi telah memuji kepolisian karena menurutnya dengan "cepat" menindaklanjuti laporannya dan menemukan bayinya.
Polisi mengatakan kasus tersebut sebagai sebuah "bukti komitmen" dalam melayani masytarakat.
Dalam pernyataan, Kepolisian RI mengatakan bagian dari komitmen tersebut adalah dengan menyediakan "pelayanan dan perlindungan bagi kaum rentan, khususnya anak-anak.
Termasuk diantaranya adalah dengan membentuk dua direktorak baru untuk melindungi anak-anak dan perempuan, serta korban perdagangan manusia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dunia Hari Ini: Serangan Israel di Kamp Pengungsian Menewaskan Warga Palestina