Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi Bergerak: Tolak Nepotisme, Lawan Politik Dinasti

Jumat, 08 Desember 2023 – 07:35 WIB
Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi menggelar unjuk rasa di depan Balai Kota Malang, Jawa Timur pada Kamis (7/12). Foto: supplied

jpnn.com - Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi memperingati Hari Antikorupsi dan Hari HAM Internasional dengan menggelar unjuk rasa di depan Balai Kota Malang, Jawa Timur pada Kamis (7/12).

Dalam aksi tersebut, mahasiswa dari sembilan organisasi menyuarakan penyelamatan demokrasi, tolak nepotisme, lawan politik dinasti, serta menuntut diadilinya para pelaku pelanggaran HAM berat.

BACA JUGA: Front Demokrasi Sumatera Utara Tolak Politik Dinasti dan Neo-Orba

Organisasi yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi terdiri dari HMI Hukum Universitas Brawijaya, HMI Ilmu Budaya Universitas Brawijaya, GMNI Cabang Malang Raya, IMM Universitas Brawijaya, IMM Aufklarung Teknik UMM.

Lalu,Lembaga Yustisi Mahasiswa Islam Malang, Kohati Hukum Universitas Brawijaya, Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

BACA JUGA: Heboh Asam Sulfat dan Ibu Hamil, Dokter Rina: Maksud Gibran Adalah Asam Folat

Koordinator aksi Dimas Aqil Azizi mengatakan demokrasi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus mengalami kemunduran dan semakin menjauh dari semangat dan tujuan awalnya yang didorong oleh berbagai kelompok pro-demokrasi pada tahun 1998.
"Puncak dari kemunduran tersebut adalah dinamika politik Pemilu 2024 yang sarat dengan cara-cara berpolitik yang kotor dan menggunakan segala cara demi ambisi melanggengkan kekuasaan," ucap Dimas dikutip dari siaran pers.

Menurut menteri koordinator Pergerakan Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya itu, sejumlah agenda reformasi politik awal era reformasi 1998, seperti penghapusan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat, semakin dilupakan bahkan diabaikan oleh para elit politik.

BACA JUGA: Merasa Diintimidasi Polisi, Butet Kartaredjasa: Saya Kehilangan Kemerdekaan

Sementara itu, politik elitis yang transaksional dan bahkan cenderung menghalalkan segala cara meskipun hal itu mengkhianati amanat reformasi tahun 1998, semakin menguat dalam dinamika dan arus perkembangan politik, baik di tingkat lokal maupun nasional.

Dia menuturkan bahwa gejala kemunduran demokrasi Indonesia sejatinya mulai nampak sejak tahun-tahun sebelumnya. Di antaranya ditandai dengan upaya pelemahan terhadap gerakan anti-korupsi melalui revisi UU KPK.

Dimas menyebut revisi UU KPK telah membonsai kemampuan lembaga antirasuah untuk membongkar kasus-kasus korupsi yang menjadi penyakit kronis dan akut elit politik nasional.

"Demikian juga dalam pemilihan pimpinan KPK, juga tidak luput dari intervensi kekuasaan," ujar direktur utama Lembaga Yustisi Mahasiswa Islam itu.

Hasilnya, kata dia, KPK hari ini tidak hanya menjadi lemah, tetapi juga amburadul dan makin kehilangan integritasnya. Padahal, KPK sebelumnya menjadi lembaga terdepan harapan rakyat dalam pemberantasan penyakit korupsi di Indonesia.

Ruang Kebebasan Sipil Dibatasi

Aliansi mahasiswa tersebut juga menyinggung penyusutan ruang kebebasan sipil juga menjadi penanda lain dari kemunduran demokrasi, padahal, itu merupakan hal yang esensial dalam demokrasi.

"Namun, di era pemerintahan Jokowi, kondisinya makin terkikis," kata Dimas.

Hal itu ditandai oleh berbagai pembatasan dan pembungkaman terhadap kebebasan ekspresi dan kritik masyarakat yang dilakukan melalui berbagai cara, mulai kriminalisasi aktivis, ancaman dan intimidasi, brutalitas aparat keamanan (TNI/Polri), dan bentuk-bentuk serangan lainnya.

Berbagai bentuk serangan terhadap kebebasan sipil tersebut dijalankan untuk mengamankan kepentingan elit politik kekuasaan dan kekuatan modal, yang dikemas dengan dalih menjaga stabilitas keamanan dan mengamankan pembangunan ekonomi.

Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat

Di sisi lain, aliansi mahasiswa juga menyoroti penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang menjadi mandat reformasi tahun 1998, seperti Talangsari Lampung, Penghilangan Paksa 1997/1998 dan Trisakti dan Semanggi, dan lainnya cuma menjadi janji palsu dan jargon politik.

"Tidak ada langkah nyata untuk menyelesaikannya secara tuntas," ucapnya.

Alih-alih menyelesaikan kasus-kasus tersebut, kata Dimas, Presiden Jokowi bahkan memberi tempat dan jabatan-jabatan strategis di dalam kekuasaannya kepada sejumlah mantan perwira tinggi militer yang diduga bertanggung jawab dalam kasus-kasus kejahatan kemanusiaan tersebut.

Dimas menyebut pemberian karpet kekuasaan kepada pelaku pelanggaran HAM berat benar-benar melukai rasa keadilan korban dan keluarganya yang selama bertahun-tahun mencari dan menantikan keadilan.

"Presiden Jokowi menjadi pelindung utama pelanggar HAM berat," lanjutnya.

Bahaya Politik Dinasti

Aliansi mahasiswa menilai puncak dari kemunduran demokrasi di era Presiden Jokowi makin terlihat nyata dalam Pemilu 2024.

Mereka memandang demokrasi yang sejatinya menjadi ruang perwujudan prinsip kedaulatan rakyat, justru digunakan oleh Jokowi untuk melanggengkan kekuasaannya dengan membangun dinasti politik keluarganya.

"Tidak tanggung-tanggung, untuk memuluskan kepentingan politik tersebut, instrumen hukum dan kekuasaan juga digunakan," tutur Dimas.

Politik dinasti menurutnya menjadi hal yang berbahaya dan mengancam masa depan negara hukum dan demokrasi Indonesia.

Sebab, politik dinasti tidak hanya meminggirkan rakyat dari ruang politik karena kekuasaan digenggam oleh keluarga dan segelintir elit politik, tetapi juga sangat terkait erat dengan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).

"Pembangunan politik dinasti oleh Jokowi tampak nyata dengan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres pendamping Prabowo Subianto," ujar Dimas.

Untuk memuluskan langkah politik tersebut, katanya, Mahkamah Konstitusi (MK) pun dibajak sehingga mengeluarkan putusan yang memuluskan langkah pencalonan Gibran di Pilpres 2024.

"Hal ini sulit dibantah mengingat yang menjadi Ketua Majelis Hakim MK memiliki kaitan kekerabatan dengan Presiden Jokowi dan putranya, Gibran Rakabuming Raka," kata Dimas.

Mereka menilai terdapat konflik kepentingan yang kemudian memengaruhi putusan MK sebagaimana tergambar jelas dalam putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK).

"Pembajakan MK menjadi contoh nyata dari pembajakan dan manipulasi institusi hukum untuk memuluskan jalan politik dinasti keluarga Jokowi," ujarnya.

Dimas menyebut bahaya lain dari politik dinasti tidak berhenti sampai di situ. Mengingat dinasti berkait dengan praktik KKN, juga ada potensi besar untuk penyalahgunaan kekuasaan negara, untuk tujuan pemenangan kontestasi politik dalam Pemilu.

"Potensi penyalahgunaan tersebut terlihat dari indikasi penggunaan aparat pertahanan dan keamanan negara," katanya.

Berangkat dari pandangan di atas, Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi menyerukan kepada semua pihak yang masih peduli terhadap generasi mendatang untuk menyelamatkan demokrasi, menolak semua bentuk politik nepotisme, KKN, politik dinasti, dan tolak pelanggar HAM berat dalam kekuasaan.

"Jangan biarkan demokrasi Indonesia terus mengalami kemunduran, keadilan dan kemanusiaan diinjak-injak oleh elit politik kekuasaan,' ujar Dimas.(fat/jpnn.com)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler