jpnn.com - Erupsi Gunung Sinabung memaksa ribuan warga dari tujuh desa meninggalkan rumah dan lahan masing-masing untuk selamanya. Kini mereka hidup berpencar. Termasuk Amin Ginting, kepala Desa Suka Meriah, Kecamatan Payung, Karo, Sumatera Utara, yang mengungsi ke desa lain.
Laporan Tomy C. Gutomo, Karo
MATA Amin Ginting berkaca-kaca saat mengingat kehidupannya sebelum Gunung Sinabung meletus. Sebagai kepala desa (Kades), hidup Amin serba berkecukupan. Gajinya sebagai Kades memang hanya Rp 1,1 juta. Tapi, dia punya lahan 2 hektare yang ditanami kopi. Belum lagi pendapatan lain-lain yang tidak sedikit. Kalau dihitung, sebelum ada bencana, penghasilan Amin sebulan sekitar Rp 10 juta.
”Sekarang, untuk makan sehari-hari saja susah,” kata Amin saat ditemui Jawa Pos di sebuah warung di Kabanjahe, Karo, Sumatera Utara, Jumat lalu (17/4). Siang itu Amin baru saja pulang dari ladang dan singgah ke warung untuk makan.
BACA JUGA: Ternyata, Salah Satu Peneliti Vaksin Kanker Serviks Itu Orang Indonesia
Sejak September 2013, Amin dan warganya tidak bisa hidup tenang. Desa Suka Meriah merupakan desa terdekat dengan puncak Gunung Sinabung. Jaraknya hanya 2,5 kilometer (km). Desa itu menjadi jalur utama aliran awan panas. Kondisi tersebut sangat berbahaya bagi penduduk yang tinggal di lokasi tersebut.
Karena itu, sejak setahun lalu, setelah Gunung Sinabung meletus dan memuntahkan awan panas, keluarga Amin beserta seluruh warga Suka Meriah harus mengungsi ke tempat yang aman. Sebab, lelehan lava menerjang desa itu hingga rata dengan tanah. Amin hanya berhasil menyelamatkan baju dan sebuah sepeda motor bebek. Sedangkan arsip-arsip penting di kantor desa tak terselamatkan.
BACA JUGA: Sambil Menangis, Menteri Susi Kisahkan Perjuangan Ibunya yang Kabur di Usia 12 Tahun
Selain Suka Meriah, desa yang juga lenyap adalah Bekerah, Simacem, Berastepu, Gamber, Gurukinayan, dan Kota Tunggal. Semua berada di ring merah Gunung Sinabung.
Barulah akhir 2014, Pemkab Karo memberikan bantuan sewa rumah dan sewa lahan kepada para pengungsi. Setiap kepala keluarga mendapatkan bantuan sewa rumah Rp 1,8 juta dan sewa lahan Rp 2 juta.
Amin menyewa rumah petak di Desa Kacaribu, Kabanjahe. Luasnya 4 meter x 6 meter dengan satu kamar. Deretan rumah petak yang ditempati Amin berhadap-hadapan dengan kandang angsa. Karena itu, tak heran bila bau kotoran unggas tersebut masuk ke rumah pria 52 tahun itu.
”Saya tinggal bersama istri dan tiga anak saya,” ucap Amin.
Menikah dengan Raminah, sebenarnya Amin dikaruniai tujuh anak. Tiga anaknya, yakni Yeni, Zaenal, dan Irfan, sudah menikah serta tinggal di desa lain. Sedangkan anak kelima mereka, Lela, yang masih duduk di kelas VIII SMP, dititipkan kepada kerabat. Yang tinggal dengan Amin adalah Andalan (kelas XI SMA), Wahyu (kelas II SD), dan Farel (baru berumur 1,5 tahun). Anak bungsunya itu lahir di pengungsian.
Amin butuh waktu agak lama untuk mengingat nama-nama anaknya. Dia mengaku sering tidak bisa berkonsentrasi karena banyak pikiran. Selain nasib keluarga, dia juga memikirkan nasib warganya.
”Kadang-kadang kalau pulang dari ladang, saya lupa di mana rumah saya,” kata Kades yang menjabat sejak 2008 itu.
Kini, untuk hidup sehari-hari, Amin menyewa ladang seluas 3.000 meter persegi. Lahan itu dia tanami jagung. Bulan lalu dia sudah panen 2 ton. Dari jagung sebanyak itu, dia bisa menjualnya Rp 5 juta dengan asumsi 1 kg dihargai Rp 2.500. Setelah dikurangi biaya produksi, Amin mengantongi Rp 3 juta. Tapi, untuk itu, dia mesti menunggu hingga tiga bulan lebih. Artinya, sebulan dia hanya mendapatkan penghasilan dari jagung tersebut tak lebih dari Rp 1 juta.
”Berat untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari,” katanya.
Di tempat pengungsiannya, tidak banyak warga Suka Meriah yang mengikuti jejak Amin. Dari 142 kepala keluarga dengan 465 jiwa, hanya beberapa yang memilih tinggal di desa yang sama dengan Amin. Lainnya menyebar ke desa-desa lain. Tapi, ada juga yang keukeuh tetap menempati lahan di sekitar Gunung Sinabung.
Ada pula yang pindah ke kota, ikut keluarga di Medan maupun Aceh. Tapi, rata-rata mereka juga menyewa ladang seperti yang dilakukan Amin untuk menghidupi keluarga.
”Saya tidak tahu lagi ke mana saja mereka. Tapi, saya masih punya semua nomor HP mereka. Kalau ada bantuan, mereka tinggal saya hubungi,” tutur Amin.
Meski tidak memiliki kantor lagi, Amin masih berstatus kepala desa. Warga tetap memanggilnya Pak Kades. Tanda tangan Amin juga masih berlaku untuk kepentingan administrasi kependudukan. Tak heran bila beberapa kali warganya yang mengungsi di tempat lain mendatangi dirinya untuk meminta tanda tangan dan stempel kelurahan.
”Yang jadi soal, kalau diundang ke kantor pemkab, saya harus pakai seragam Kades. Rasanya tidak nyaman pakai seragam itu di desa orang lain. Nanti dikira Kades tandingan,” kelakarnya.
Ada satu hal yang memusingkan Amin. Yakni terkait warganya yang meninggal dunia. Sebab, di Karo, berlaku tradisi bahwa orang yang meninggal dikubur di pekarangan atau tanah mereka. Kadang di pemakaman desa. Tapi, kini tradisi itu tak mungkin dilakukan.
”Untuk itu, saya harus meminta tolong kepada Kades setempat untuk meminta tempat pemakaman bagi warga saya,” jelas Amin.
Masa jabatan Amin sebenarnya sudah habis tahun lalu. Tapi, belum ada pergantian atau pemilihan Kades baru. Karena itu, status Amin kini pelaksana tugas (Plt).
”Katanya sih, tahun ini ada pemilihan (Kades). Tapi, saya belum tahu kapan akan dilaksanakan,” ujar Amin, yang berniat maju lagi dalam pemilihan nanti.
Hingga kini, Gunung Sinabung belum tenang. Sesekali terdengar letusan kecil dan keluar lahar dingin setiap kali hujan turun. Pemerintah pun memutuskan untuk merelokasi warga di kawasan bahaya dengan membuka permukiman baru di kawasan hutan lindung Siosar, Kecamatan Tiga Panah.
Jawa Pos sempat mengunjungi kawasan baru tersebut. Untuk mencapai permukiman itu, harus melintasi jalan menanjak dan berbukit sepanjang 17 km dari Kabanjahe. Ada 250 hektare hutan pinus yang dijadikan permukiman penduduk. Saat ini sudah dibangun 103 rumah tipe 36 di kawasan tersebut. Deretan rumah bercat hijau itu terlihat rapi, seperti rumah dinas tentara.
”Warna rumah itu merupakan pilihan para pengungsi,” kata Letkol April Hartanto, wakil komandan satgas pembangunan rumah pengungsi Sinabung. April, yang merupakan Danden Zibang, Sibolga, tinggal di kawasan itu sejak awal proyek tersebut dikerjakan.
Tidak kurang dari seribu anggota TNI-AD dikerahkan untuk membangun jalan dan permukiman baru tersebut. Setiap rumah memiliki satu kamar tidur, satu kamar mandi, dan sanitasi serta dialiri listrik PLN. Di kawasan itu, bakal dibangun 450 rumah lagi untuk kepala keluarga dari tiga desa, yakni Suka Meriah, Simacem, dan Bekerah.
Selain mendapat rumah, setiap KK memperoleh 1 hektare ladang. Relokasi untuk warga empat desa lainnya juga direncanakan di kawasan tersebut. Namun, rumah untuk mereka akan dibangun setelah relokasi tahap pertama selesai.
”Kami hanya mengawali untuk 103 rumah. Selanjutnya akan diteruskan oleh pemkab melalui mekanisme lelang,” tegas April. (*/c11/ari
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mbah Tugiyem, Perempuan Berusia Satu Abad yang Tetap Aktif Bekerja
Redaktur : Tim Redaksi