SEBAGIAN besar masyarakat Indonesia mungkin sudah tahu bahaya kanker serviks dan seberapa besar penyebaran penyakit yang diakibatkan human papilloma virus (HPV) tersebut. Namun tahukah Anda kalau salah satu dari 70 tim ilmuwan peneliti vaksin pencegahannya berasal dari Indonesia?
----------------
Ken Girsang-Jakarta
----------------
Iya, dia adalah Richard Rianto Rustandi. Pria 52 tahun asal Bogor yang kini bekerja sebagai salah seorang ilmuwan di perusahaan penyedia layanan kesehatan global terkemuka asal Amerika, Merck Sharp and Dohme (MSD).
BACA JUGA: Sambil Menangis, Menteri Susi Kisahkan Perjuangan Ibunya yang Kabur di Usia 12 Tahun
Peraih gelar PhD dari Universitas Chicago ini mengaku bekerja siang malam selama delapan tahun sejak 2001 lalu, hanya untuk meneliti seberapa bahayanya virus HPV. Kerja keras itupun akhirnya berbuah manis dengan lahirnya vaksin HPV quadrivalent.
“Vaksin ini merupakan penelitian pertama saya sejak bekerja di MSD. Itu penelitiannya sampai delapan tahun,” ujarnya di sebuah acara di Jakarta, Rabu (22/4).
BACA JUGA: Mbah Tugiyem, Perempuan Berusia Satu Abad yang Tetap Aktif Bekerja
Menurut Richard, virus HPV yang memiliki 130 tipe, sangat berbahaya. Bahkan organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2010 lalu memerkirakan, 11,4 persen wanita dengan pap smear normal, terinfeksi HPV.
Selain itu virus juga dapat dideteksi pada 99,7 persen wanita yang terdiagnosis menderita kanker serviks. Virus ini sangat menular melalui segala aktivitas yang memungkinkannya ada kontak kelamin terhadap orang yang terinfeksi.
BACA JUGA: Bergaya Sporty, Bukan Berarti Menteri yang Satu Ini tak Cinta Kebaya
Karena itu tidak heran jika kemudian di Indonesia, setiap hari kurang lebih 38 kasus kanker serviks ditemukan dan hampir 70 persen kasus ditemukan dalam kondisi stadium lanjut.
“Sebagian besar wanita baru mengetahui mereka terinfeksi setelah dilakukan test DNA HPV terhadap hasil tes pap smear yang abnormal. Setiap satu jam seorang wanita meninggal akibat kanker serviks,” ujarnya.
Namun bahaya virus tersebut kini telah dapat diantisipasi. Vaksin HPV quadrivalent menurut Richard dapat merangsang pembentukan respon imun dalam tubuh untuk melawan HPV dan memberikan perlindungan lebih lengkap terhadap kanker serviks dan penyakit yang diakibatkan virus HPV lainnya. Baik itu kutil kelamin, pra kanker vulva, pra kanker Miss V dan pra kanker anus.
Vaksin, menurut pria yang memperistri wanita asal Bolivia ini, dapat diberikan pada anak laki-laki dan perempuan. Idealnya diberikan sebelum aktif secara seksual untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari vaksinasi. Pemberian vaksin juga penting di usia remaja karena di masa-masa pertumbuhan, tubuh rentan terkena infeksi. Pada perempuan vaksin dapat diberikan sejak usia 9-45 tahun. Bahkan bisa sampai di usia 55 tahun. Sementara untuk lelaki usia 9-26 tahun.
Selain vaksin HPV quadrivalent, Indonesia menurut Richard juga sangat membutuhkan vaksin-vaksin lain terutama untuk mengatasi virus dengue yang menyebabkan demam berdarah.
Berbincang lebih jauh dengan pria lulusan SMA Regina Pacis, Bogor tahun 1981 ini, mengemuka sejumlah hal-hal menarik yang hadir dari pengalaman. Tidak saja terkait ketertarikan generasi muda dalam dunia penelitian, namun juga penyebab mengapa kurang berkembangnya dunia penelitian di Indonesia.
Richard mengaku tertarik dunia kimia saat duduk di bangku SMA. Ia yang pada awalnya menyenangi dunia arkeologi, tiba-tiba berubah haluan tatkala seorang guru kimia baru mulai mengajar.
“Itu nama gurunya Wendy Rasyid. Cara beliau mengajar benar-benar menginspirasi saya. Selalu memberi hal-hal baru, membuat saya terpesona dengan dunia kimia. Kita jadi mulai ikut-ikut perlombaan tentang kimia dan sebagainya. Padahal pak Wendy guru baru waktu itu, kalau enggak salah baru lulus kuliah. Makanya selisih usia kita juga enggak jauh,” ujarnya.
Saking tertariknya dengan dunia kimia, tidak heran jika kemudian Richard mampu meraih beasiswa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Namun salah seorang saudaranya menawarkan melanjutkan pendidikan ke Universitas of Hawai at Manoa, tahun 1981. Hingga lulus tahun 1985 dan melanjutkan pendidikan ke Universitas Chicago.
“Sebenarnya secara teori, pendidikan di Indonesia itu sangat luarbiasa. Bahkan materi pendidikan untuk SMA di sini, itu di banyak negara untuk materi S2. Cuma praktik dan pola-pola menginsipirasinya itu kurang. Harus dimulai dari pemerintah dan dunia pendidikan,” ujarnya.
Richard mengatakan demikian, karena pernah ada kasus seorang temannya dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang memeroleh tugas belajar di Jerman, ternyata tak mampu berbuat banyak tatkala kembali ke Tanah Air. Padahal menurut Richard, temannya memiliki kemampuan luarbiasa di bidang analisa kimia.
“Saya sampai menyiapkan alat-alat untuk penelitiannya di Indonesia. Karena di sini enggak ada. Cuma waktu mau dikirim, itu prosedurnya susah sekali. Harus menghubungi ini dan itu, akhirnya enggak jadi deh,” ujarnya.
Selain itu, Richard juga menilai sudah saatnya dunia pendidikan di Indonesia mengembangkan jurusan Modern Bio Tekhnologi. Paling tidak untuk S2. Karena di banyak negara telah dikembangkan seperti di Singapura.
“Nah nantinya dapat dikembangkan menjadi tempat penelitian antibodi. Misalnya bisa dikembangkan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan seperti MSD,” ujarnya.
Richard mengaku senang bekerja di MSD tidak hanya karena difasilitasi untuk melakukan penelitian. Tapi juga diperkenankan mempublish beberapa hasil penelitian dan masih tetap dapat mengajar di universitas. Termasuk jika sejumlah universitas di Indonesia membutuhkan, Richard siap sharing pengalaman. (gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Rindu Ade, Penggagas Writing Heroes Daerah-Daerah Konflik dan Bencana
Redaktur : Tim Redaksi