Amputasi KPK, Ada Apa Antara Jokowi dengan KIH?

Rabu, 07 Oktober 2015 – 23:28 WIB
Presiden Jokowi. FOTO: DOK.JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA - Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua menilai revisi Undang-Undang KPK yang digulirkan oleh DPR sebagai bentuk korupsi politik melalui kebijakan membuat UU baru atau peraturan pemerintah.

“Sepintas revisi UU KPK seakan-akan bagus. Padahal substansinya ternyata hanya untuk kepentingan golongan atau kelompok tertentu saja kalau korupsi tidak terkena KPK,” kata Abdullah Hehamauha, di Jakarta, Rabu (7/10).

BACA JUGA: Perintahkan KUR TKI Segera Dijalankan

Padahal, lanjutnya, baru tiga bulan yang lalu Presiden Joko Widodo menolak rencana revisi UU KPK.

“Sekarang DPR bersemangat merevisi UU KPK dan itu diinisiasi oleh fraksi-fraksi pendukung Jokowi di DPR. Jadi, ada apa antara Istana dengan Koalisi Indonesia Hebat pendukung Jokowi di DPR?,” tanya dia.

BACA JUGA: Menkes: Masker N95 Lebih Cocok untuk Menghalangi...

Revisi tersebut, lanjutnya, akan jadi tameng oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan korupsi sebab dalam APBN akan bergulir berbagai megaproyek infrastruktur.

“Jadi sebelum korupsi, dibuatkan dulu payung hukumnya, makanya dalam revisi UU tersebut, KPK mereka rancang hanya menangani kasus korupsi di atas 50 miliar rupiah," ungkap Abdullah.

BACA JUGA: Asap Belum Diputuskan jadi Bencana Nasional

Soal rumusan KPK hanya boleh mengusut dugaan korupsi di atas 50 miliar rupiah, menurut Abdullah tentu ada maksudnya.

“Kenapa di atas 50 miliar rupiah? karena selama ini biasanya anggota DPR, DPRD, bupati, walikota sampai gubernur praktik korupsinya dalam bentuk gratifikasi memang dibawah 50 miliar,” katanya.

“Jadi, kalau pasal itu lolos, dengan sendirinya penerima gratifikasi tidak terkena KPK," katanya lagi.(fas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Abu-abu Sikapi Bantuan Luar Negeri


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler