Anak Bung Karno, Ali Sadikin dan Lantai Dansa

Rabu, 17 Februari 2016 – 19:59 WIB
Ali Sadikin ajojing dengan seorang dara dari Swara Mararddhika. Foto: Dok. Hayat Irianto.

jpnn.com - MALAM kian pekat. Temaram lampu kota mewarnai acara perpisahan dengan Gubernur Jakarta Raya Ali Sadikin di pelataran Taman Fatahilah, Kota Tua Jakarta, medio 1977.

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

BACA JUGA: SENI...! Cara Anak Bung Karno Memukau Orang di Zaman Soeharto

Lagu pertama yang disenandungkan Swara Maharddhika, berhasil memukau hadirin. 

(baca: Cara Anak Bung Karno Memukau Orang di Zaman Soeharto

BACA JUGA: PETA Blitar Berontak, Jepang Buru Kader PKI

Muda-mudi asuhan Guruh Irianto Soekarno Putra tersebut kembali ambil posisi. Bersiap menyenandungkan lagu kedua. 

Judulnya Damai, satu di antara lima lagu terbaik di Festival Lagu Pop Nasional 1976. 

BACA JUGA: Wisata Kuliner di Zaman Para Meneer

Begitu dimainkan, "terasa seakan kita berada di suatu pesta karnaval Brazilia," tulis Hayat Irianto, dalam Swara Maharddhika--Kejutan Baru Bagi Dunia Group Vokal, termuat di majalah remaja Gadis, No. 23, edisi 25 Agustus-4 September 1977.

"Apalagi musiknya yang ditabuh seperti lagu Viva America atau Chocolade," sambungnya.

Di panggung, dara-dara memainkan kipas bulu-bulu berwarna merah jambu dan biru langit.

Tariannya macam perpaduan hula-hula dari Hawai, srimpi dan saman dari Aceh. 

"Tata lampu membuat efek psychedelic yang baik, terutama ketika dipakai lampu kilat. Ini membuat penonton tidak mengedipkan mata," tulis Hayat.

Di ujung penampilannya, para gadis itu bersorak, "hidup Bang Ali…", "kami cinta Bang Ali…", sembari melemparkan pita warna-warni dan meninggalkan panggung dalam gerak tari.

"Suasana bertambah gembira dan hangat. Tepuk tangan riuh rendah tak putus-putusnya," kenang Hayat yang menonton pertunjukkan itu. 

Ajojing

Sebetulnya acara sudah usai. Orang-orang sudah salam-salaman, beramah-tamah. 

Tiba-tiba saja…nona si pembawa acara kembali meminta Swara Maharddhika naik panggung untuk membawakan sebuah lagu lagi. 

Pinta berlaku. Seolah enggan beranjak pulang, hadirin pun kembali menempati tempat duduknya, termasuk Bang Ali Sadikin.  

Sebuah lagu bertajuk Mau Kemenong, juga karya Guruh Irianto Soekarno Putra pun mengalun. 

"Lagu ini tentang ajojing dan diskotik di Jakarta. Mereka pun bernyanyi sambil berajojing," begitu Hayat menggambarkan kemeriahan itu malam. 

Penampilannya malam itu tak disangka-sangka. Padahal Swara Maharddhika baru saja dibentuk selang bulan sebelumnya (Maret 1977). 

Mereka pelajar-pelajar dari SMAN 4, SMAN 7, SMA Taman Sunda Kelapa, SMAN 9, SAM Satria, dan SMP Kanisius.

Sambil bernyanyi dan berajojing, seorang gadis turun panggung dan mengajak Bang Ali ke lantai dansa.

Tanpa ada yang mengomandoi, satu persatu muda-mudi penampil malam itu turun panggung sambil terus berajojing.  

Tak kuasa menahan hentak-alunan musik, para hadirin yang tadinya hanya menggoyang-goyang kaki di tempat duduknya, berdiri dan ikutan ajojing. Maka bertambah riuhlah suasana malam itu. 

Dalam sebuah obrolan dengan Hayat, Guruh mengatakan, baginya bagus atau jelek hasil karyanya, itu urusan nomor 2. 

Yang penting, kata dia, kita harus mempersembahkan hasil pemikiran kita, hasil karya kita, kepada kepentingan manusia. Serta berusaha agar hasil pemikiran dan karya kita itu berguna bagi manusia dan kemanusiaan.

"Oleh karena itu, walau hasil yang kita capai belum bagus, pokoknya kita ramai-ramai bersatu. Menari, menyanyi, belajar, bekerja, berkarya dan berjuang." (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Di Muka Wartawan Cantik ini, Bung Karno Tak Bisa Menahan...


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler