SENI...! Cara Anak Bung Karno Memukau Orang di Zaman Soeharto

Rabu, 17 Februari 2016 – 14:41 WIB
Guruh Irianto Soekarno Putra. Foto: Repro sampul album "Untukmu Indonesiaku".

jpnn.com - MAU TAHU bagaimana penampilan perdana Swara Maharddhika, grup asuhan Guruh Irianto Soekarno Putra?

Peristiwa ini terjadi di pelataran Taman Fatahilah, Kota Tua Jakarta, medio 1977, di acara perpisahan Gubernur Betawi Raya, Ali Sadikin. 

BACA JUGA: PETA Blitar Berontak, Jepang Buru Kader PKI

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

Usai makan malam, si empunya hajat menghidang jamuan kopi. 

BACA JUGA: Wisata Kuliner di Zaman Para Meneer

Sejurus kemudian, nona pembawa acara mempersilahkan Swara Maharddhika naik panggung. Dialek si nona macam komentator pertandingan tinju.

Bermunculanlah serombongan pemuda dibalut surjan (pakaian adat Jawa) warna hijau kelam, lengkap dengan kain berwiru. Mereka menghampiri alat musik masing-masing. 

BACA JUGA: Di Muka Wartawan Cantik ini, Bung Karno Tak Bisa Menahan...

Disusul seorang pemudi. Mauli Siahaan namanya. Rambutnya yang panjang ditarik ke belakang dalam jalinan kepang satu.

Malam itu, dara Tanah Karo ini, sebagaimana dilukiskan Hayat Irianto, dalam Swara Maharddhika--Kejutan Baru Bagi Dunia Group Vokal, termuat di majalah remaja Gadis, No. 23, edisi 25 Agustus-4 September 1977, berbusana ala "Ibu Kita Kartini".

Mauli membuka dengan dentingan piano nan melodis. Disambut gitar, bass dan bongo.

Dari kanan dan kiri panggung, beriringan sembilan orang dara. Berlelanggak-lenggok seraya mengumbar senyum, disertai sepuluh orang jejaka yang memainkan satu dua jurus silat.

Mendayu-dayulah lagu rakyat Bali, Janger olahan putra Bung Karno, diiringi padu padan alat musik tradisional dan alat musik barat. 

"Teresa bau stamboel tempo doeloe atau komidi bangsawan," kenang Hayat. 

Janger yang bersyair kritik sosial itu ditutup dengan pantun…

Boleh saja bersikap selalu ramah/bukanlah berarti bangsa kita murah/kalau kawan tak hati-hati/bisa punah budaya asli/kalau punah budaya asli/harga diri tak ada lagi/harga diri tak ada lagi/maka tak dapat berbangga hati.

Hadirin pun bertampik-sorai. 

Si nona pembawa acara naik panggung. Melayangkan satu dua tanya kepada Rio Menayang, sang ketua kelompok. Lalu tentang beberapa hal kepada Guruh Irianto Soekarno Putra. 

Tentang kostum rancangannya, Guruh berkata, "dandanan kain kebaya lebih bersusila daripada rok mini atau you can see."

Sesaat kemudian, Swara Maharddhika memainkan lagu kedua, disusul lagu ketiga yang membuat penonton kian terpukau. 

Sampai-sampai penonton tak kuasa menahan goyang. Bahkan, Bang Ali Sadikin pun sampai berajojing turun ke lantai dansa.  

"Swara Maharddhika adalah suatu kelompok folk song yang baru saja didirikan sekitar bulan Maret yang lalu," tulis Hayat Irianto, dalam Swara Maharddhika--Kejutan Baru Bagi Dunia Group Vokal, termuat di majalah remaja Gadis, No. 23, edisi 25 Agustus-4 September 1977.

"Mereka terdiri dari remaja-remaja yang berusia 15-18 tahun, pelajar-pelajar dari sekolah menengah," demikian Hayat menjelaskan.

Menyaksikan penampilan Swara Maharddhika malam itu, para penonton bergumam, "ini baru kejutan!", "ini kejutan baru!"

Seperti apa kejutannya? --bersambung (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Belum Banyak yang Tahu, Bung Karno Terlibat Pemberontakan PETA di Blitar


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler