jpnn.com - DI zaman kolonial, warung makan kaki lima yang kini jadi "musuh besar" Satpol PP, punya tempat istimewa di hati para pelancong.
Augusta de Wit, seorang jurnalis perempuan yang bekerja untuk The Singapore Strait, melancong ke Jawa, akhir 1890.
BACA JUGA: Di Muka Wartawan Cantik ini, Bung Karno Tak Bisa Menahan...
Dalam catatan perjalanannya, yang diterbitkan jadi buku pada 1905 dengan judul Java: Feiten en Fantasieen, ia nampak terkesan dengan warung pinggir jalan.
De Wit menceritakan betapa eksotisnya restoran berjalan yang bisa dipindah-pindahkan.
BACA JUGA: Belum Banyak yang Tahu, Bung Karno Terlibat Pemberontakan PETA di Blitar
"Para pedagang keliling dapat dijumpai di mana saja, di pinggir kali, di stasiun kereta, di pangkalan sado, sepanjang kanal, di pojok-pojok jalan. Tampaknya mereka itu berdagang dengan baik," tulis De Wit.
Dia menyaksikan kehidupan pemilik restoran berjalan di Tanah Tanah Abang dan Koningsplein-- sekarang sekitar Monas.
BACA JUGA: Ali Sadikin pun Tak Sudi Pulau Bersejarah itu Karam
"Semuanya telah siap dipikulan. Istri penjual itu menyiapkannya di waktu subuh. Dan sekarang mereka siap disajikan di atas daun pisang yang berfungsi sebagai piring dan mangkuk," De Wit menggambarkan.
Kartu Pos
Pemerintah Hindia Belanda menyadari ini sebagai daya tarik wisatawan.
"Oleh karena itu ada berbagai jenis penjual makanan keliling dimuat dalam kartu pos," ungkap Ahmad Sunjayadi sejarawan UI dalam Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di Hindia Belanda, termuat dalam Titik Balik Historiografi di Indonesia.
Antara lain, gambar penjual roti pikulan di Batavia, sate keliling, sekoteng dan rujak ulek.
Ada juga gambar pedagang nasi keliling sedang dikerumuni pembeli.
"Restoran berjalan atau dapur berjalan ini rupanya dianggap cukup eksotis dan dianggap dapat menarik para turis," tulis Sunjayadi.
"Kolam Primitif"
Rumah makan tradisional, dengan arsitektur dan menu khas wilayah setempat, lain lagi pesonanya.
Louis Couperus, seorang wartawan lepas di harian Haagse Post, disuguhi ikan gurame saat pelesir ke Cipanas, Jawa Barat.
"Ikan lezat yang dipelihara di kolam primitif berbentuk persegi," begitu komentarnya dalam catatan perjalanan yang dibukukan dengan judul Oostwaarts, pertama terbit 1912. (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sebelum Tanjung Priok Jadi Pelabuhan
Redaktur : Tim Redaksi