jpnn.com - Belasan guru Indonesia yang berkesempatan mengajar di Australia memetik pengalaman penting bahwa tingginya toleransi dan sistem yang memungkinkan para siswa jadi kritis.
Mereka menyampaikan pengalamannya kepada wartawan Jawa Pos Tatang Mahardika yang menemui mereka di Sydney pekan lalu.
--
DI biara itu, Khalif Rahma Riesty Fauzi tak pernah sulit menemukan makanan halal. Tiap hari selalu ada stok daging ayam, sapi, atau telur di kulkas.
BACA JUGA: Warga Australia Tambah Satu Orang Tiap 86 Detik
’’Bahkan, tiap kali mau masak, mereka selalu tanya saya, mau masak apa hari ini?’’ kata guru SMP Progresif Bumi Shalawat, Sidoarjo, Jawa Timur, itu.
Mereka yang dimaksud Khalif adalah para biarawati yang menghuni biara di Coburg, sebuah kota kecil di Negara Bagian Victoria, Australia.
BACA JUGA: Guru Punya Peran Mencegah Penyebaran Hoaks
Selama dua pekan sepanjang Maret ini, Khalif, sebagai salah seorang peserta Australia-Indonesia BRIDGE School Partnership, tinggal di sana.
Selama dua pekan itu pula perempuan berjilbab tersebut merasakan sendiri tingginya toleransi. Tak hanya yang ditunjukkan para biarawati yang rata-rata berusia 60–70 tahun itu.
BACA JUGA: ASEAN-Australia Harus Berperan di Kawasan Samudera Hindia
Tapi juga murid serta guru di Merry College, sekolah tempat dia ikut merasakan pengalaman mengajar. Juga, warga kota pada umumnya.
’’Hampir tiap malam saya ngobrol dengan para biarawati. Yang mereka tanyakan paling tentang keluarga, tentang Indonesia. Tak pernah sekali pun soal keyakinan,’’ kata Khalif.
Ada 31 guru lain yang menjadi peserta program yang dipandegani Asia Education Foundation itu pada tahun ini.
Mereka terbagi menjadi dua cohort (kelompok). Yang pada Minggu lalu (18/3) mengikuti acara perpisahan di Opera House, Sydney, merupakan cohort 1. Terdiri atas 14 peserta. Adapun cohort 2 akan berlangsung pada Juni atau Juli mendatang.
Para guru yang mengikuti program yang berjalan sejak 2008 tersebut datang dari berbagai kota. Muslim dan nonmuslim. Mulai pengajar di tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah atas.
Mereka terpilih melalui seleksi ketat yang melibatkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah menjalani training selama sepekan di Melbourne, mereka disebar ke berbagai kota di berbagai negara bagian Australia.
Selama dua pekan para guru itu mengobservasi sistem belajar-mengajar di Negeri Kanguru tersebut. Sekaligus berkesempatan mengajar. Serta tinggal dan berbaur dengan warga di luar jam sekolah.
Dan, kepada Jawa Pos yang menemui mereka dalam acara perpisahan yang dihadiri Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop itu, semua sepakat dengan Khalif.
Penghormatan pada keberagaman jadi salah satu pengalaman paling berharga yang dipetik. Selain bagaimana sistem pendidikan di Australia memungkinkan para siswa jadi terlatih berpikir kritis.
Rabiatul Awaliyah, misalnya, mengenang bagaimana para guru di Beechworth Primary School, Victoria, tempatnya diposkan, selalu mengingatkan dirinya untuk salat.
’’Itu setelah mereka tahu bahwa sebagai muslimah, saya wajib salat lima kali dalam sehari,’’ kata guru SD Ar Ridha Al Salaam, Depok, Jawa Barat, itu.
Tak pernah sekali pun dia mendapat pertanyaan bernada melecehkan. Baik terkait agama maupun negara tempat dia berasal. Termasuk dari para murid.
’’Ada guru yang bertanya, apa kalau saya ke Indonesia juga harus pakai jilbab? Itu semata-mata karena dia tidak tahu dan belum pernah ke Indonesia,’’ ungkapnya.
Kehadiran Rabiatul bahkan sampai menarik perhatian sebuah koran setempat, Ovens and Murray Advertiser.
Sambutan kedatangan perempuan 24 tahun itu diliput secara khusus dan pemuatannya disertai foto.
’’Seumur-umur baru kali itu saya masuk koran, hehehe,’’ katanya.
BRIDGE dalam nama resmi ditulis kapital untuk menekankan tujuan diadakannya program itu. Yakni, Building Relationships through Intercultural Dialogue and Growing Engagement (Membangun Kerja Sama Melalui Dialog Lintas Budaya dan Hubungan yang Terus Berkembang).
Dialog yang dimaksudkan di BRIDGE itu tentu saja termasuk di dalam kelas. Mega Dwiantari, peserta yang berasal dari sekolah yang sama dengan Khalif, misalnya, sempat mendongeng tentang beberapa kisah tradisional Indonesia. Di antaranya, Bawang Merah-Bawang Putih dan Jaka Tarub.
’’Para murid juga sangat antusias mendengar dan bertanya. Di pelajaran apa pun, mereka selalu aktif bertanya,’’ ungkap guru SMP Progresif Bumi Shalawat yang juga ditempatkan di Merry College itu.
Ada murid di Urangan State High School, tempat Aidil Fitri ditempatkan, misalnya, yang bertanya, apa di Indonesia ada mobil?
’’Ada pula yang nanya, di Indonesia siswanya belajar pakai kursi nggak? Tentu nggak bermaksud apa-apa, murni karena tidak tahu,’’ kata Aidil, satu di antara tiga guru pria yang menjadi peserta di cohort 1 tahun ini.
Ketidaktahuan itu pun, lanjut guru di Ponpes Modern Darul Istiqamah, Barabai, Kalimantan Selatan, tersebut, bukan karena mereka tak pernah berkunjung ke Indonesia.
’’Kalau ditanya, siapa yang pernah ke Bali, mayoritas mengangkat tangan. Hanya, banyak di antara mereka yang nggak tahu bahwa Bali itu bagian dari Indonesia,’’ jelas Aidil.
Di titik itulah, Aidil, Khalif, Rabiatul, Mega, dan para peserta BRIDGE yang lain merasa betapa pentingnya dialog lintas budaya.
Demi kesalingpahaman. Banyak siswa di Australia yang mungkin tak tahu bahwa Bali merupakan bagian dari Indonesia.
Tapi, di sisi lain, bisa jadi tak banyak pula siswa Indonesia yang tahu Australia itu di mana. Atau, betapa minoritas bisa demikian dihargai di negeri tetangga tanah air mereka tersebut.
Mega mengisahkan, selama dua pekan di Coburg, dirinya tinggal bersama koleganya sesama guru di Merry College, Ellen Ryan. Kebetulan, Ryan punya seekor anjing yang diberi nama Oady.
Tapi, demi menghormati sang tamu, si anjing tak sembarangan diizinkan masuk tiap kali Mega di rumah.
Kalau Mega belum tidur, Oady harus di luar. Pagi hari, si gukguk juga harus kembali ke luar rumah. ’’Itu agar saya bisa salat Subuh,’’ katanya.
Menurut Novi Aisyah dari Asia Education Foundation, ilmu dan pengalaman yang dipetik para guru peserta kelak diharapkan bisa disampaikan kepada para murid di sekolah asal. Dengan demikian, ada pemahaman lintas budaya yang mendalam.
’’Antar para murid di sekolah asal para guru dan para murid di sekolah tempat dia ditempatkan di Australia juga bisa berdialog dengan video conference,’’ kata Novi.
Dialog itu bahkan sudah dilakukan Mega saat masih berada di Merry College dengan para muridnya di Sidoarjo.
’’Tapi, itu baru ’pemanasan’ hehehe. Nanti kami adakan lagi karena kami punya banyak proyek yang disiapkan untuk partnership tahun ini,’’ tegasnya.
Salah satu yang sangat ingin segera diterapkan Felix Satrio, rekan satu cohort Mega, di sekolahnya adalah model pendampingan para guru.
’’Di sini (Australia) guru hanya menyampaikan materi paling 10–15 menit. Setelah itu para murid dibagi dalam kelompok untuk berdiskusi dan guru selalu mendampingi kelompok para murid yang kemampuannya paling rendah,’’ jelas guru di SD Budi Utama, Jogjakarta, itu.
Dengan demikian, lanjut Felix yang ditempatkan di Heany Park Primary School, Victoria, diskusi di kelas bisa berjalan lancar. Semua murid jadi berani untuk bertanya. Atau menyampaikan pendapat.
’’Dari situ mereka jadi terlatih untuk berpikir kritis,’’ katanya.
Dan, terlatih pula untuk berbeda pendapat tanpa harus gontok-gontokan. Sebuah fondasi kuat penghormatan kepada segala yang beda yang selama dua pekan telah dirasakan Khalif, Rabiatul, Mega, Felix, dan kawan-kawan guru mereka yang lain. (*/c5/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Guru dan Dokter Bakal Dijadikan P3K
Redaktur & Reporter : Soetomo