jpnn.com - Belum lama ini Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas memicu polemik tentang biaya perjalanan ibadah haji atau Bipih yang harus ditanggung para jemaah calon haji 2023.
Berbicara dalam rapat kerja di Komisi VIII DPR pada Kamis, 19 Januari 2023, Menag mengusulkan rerata Bipih per jemaah pada tahun ini sebesar Rp 69,19 juta atau naik hampir Rp 30 juta dari Bipih 2022 sebesar Rp 39,88 juta.
BACA JUGA: Biaya Haji 2023 Makin Mahal, Menag Yaqut Beri Penjelasan, Simak Detailnya
Banyak tudingan yang terkesan menyalahkan pemerintah -dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag) dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH)- yang dianggap melakukan kesalahan tata kelola atas dana haji.
Tulisan ini akan melakukan analisis ekonomi atas wacana tersebut. Analisis wacana ini tidak akan masuk ke dalam kajian fikih tentang ibadah haji diperuntukkan bagi muslimin ataupun muslimat yang mampu saja.
BACA JUGA: Tolak Usulan Biaya Haji Rp 69,1 Juta, HNW Kritik Menag Yaqut: Jangan Buat Resah Jemaah
Sebagaimana kita ketahui, masyarakat yang ingin memperoleh porsi haji reguler diharuskan membayar setoran awal dana haji. Saat ini, besaran setoran awal untuk mendapatkan porsi haji ialah Rp 25 juta.
Sejak 2017, dana haji yang telah terkumpul dikelola oleh BPKH. Sebelum BPKH terbentuk, dana haji dikelola oleh Kementerian Agama RI.
BACA JUGA: Soroti Usulan Kenaikan BPIH 2023, Saleh Daulay: Tidak Bijak, Memberatkan Jemaah
Namun, sebelum membahas lebih lanjut mengenai kenaikan Bipih yang harus dibayarkan oleh jemaah calon haji, penting pula bagi kita memahami kondisi riil tentang keuangan haji.
Pertama, selama ini biaya yang harus dibayarkan oleh jemaah calon haji hanya 40 persen dari total biaya, sedangkan sisanya disubsidi dari manfaat dana haji. Apabila kondisi ini dilanjutkan, dana pengelolaan haji diperkirakan tidak akan berkesinambungan dan bakal habis pada 2027.
Kondisi saat ini seperti skema ponzi. Jemaah calon haji yang berangkat ditopang oleh jemaah yang belum berangkat.
Hal ini yang menjadi dasar bagi Kemenag mengusulkan perubahan proporsi biaya yang ditanggung jemaah, dari semula 40:60 menjadi 70:30. Artinya, jemaah menanggung 70 persen biaya, sedangkan sisanya disubsidi dengan manfaat dana haji.
Kedua, tingkat investasi dana haji yang dikelola oleh BPKH saat ini hanya menghasilkan imbal hasil 5,4 persen. Angka tersebut sebenarnya tidak beda jauh ketika dana haji dikelola oleh Kemenag.
Menurut regulasi, BPKH dapat menempatkan dananya pada produk perbankan syariah (maksimal 30 persen), emas (maksimal 5 persen), investasi langsung (maksimal 20 persen), investasi lainnya (maksimal 10 persen), dan efek syariah serta surat berharga syariah negara (tanpa batasan).
Namun, saat ini BPKH cenderung mengambil strategi konservatif. Salah satu yang mengakibatkan hal ini terjadi ialah adanya klausul tanggung renteng apabila terjadi kerugian.
Akhirnya, BPKH cenderung bermain aman dalam melakukan investasinya. Lantas apa yang harus dilakukan untuk mengatasi hal ini?
Pertama, hal yang perlu dilakukan ialah perubahan regulasi mengenai klausul tanggung renteng kerugian. Sanksi tanggung renteng kerugian hanya dikenakan apabila terdapat unsur kesengajaan dan ketidakhatian dalam pengelolaan dana.
Namun, apabila sudah dilakukan analisis mendalam dan masih terjadi kondisi kerugian pada salah satu investasi, pengelola dibebaskan dari kewajiban tanggung renteng.
Kondisi saat ini menujukkan meskipun hasil investasi dana haji bisa mencapai dua digit, ada satu atau dua portofolio yang rugi sehingga pengelola tetap wajib mengganti kerugian itu.
Kedua, perlu adanya regulasi mengenai pencadangan kerugian. Dua hal ini yang setidaknya menjadi beberapa prasyarat yang harus dilakukan agar pengelola dana haji dapat lebih agresif dalam melakukan investasi atas dana haji.
Laporan keuangan dana haji yang telah dilaporkan secara berkala oleh BPKH sebenarnya telah menjawab tudingan masyarakat mengenai kesalahan pengelolaan dana haji ternyata tidak terbukti. Oleh karena itu, perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji perlu segera dilakukan.
Hal lain yang perlu dilakukan ialah sinkronisasi dalam UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Terdapat beberapa hal yang perlu diperbaiki agar pengelolaan dana haji dapat memberikan layanan haji yang lebih optimal.(***)
*Penulis adalah Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Yuk, Simak Juga Video ini!
BACA ARTIKEL LAINNYA... Profesor Asep: Usulan Kenaikan BPIH Rasional dan Tepat, Begini Alasannya
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi