jpnn.com, JAKARTA - Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel punya analisis tajam tentang kasus AKBP Beni Mutahir tewas ditembak tahanan narkoba berinisial RY (27) di Gorontalo pada Senin (21/3) lalu.
Kasus AKBP Beni Mutahir tewas ditembak menggunakan senjata api rakitan ini menyita perhatian publik. Kompolnas bahkan menilai ada keanehan.
BACA JUGA: Reza Menganalisis Keberanian AKBP Beni Mutahir, yang Tewas Ditembak Tahanan Narkoba
Berikut analisis lengkap Reza Indragiri Amriel:
1. Kepedulian AKBP Beni Mutahir Penuh Tanda Tanya
Kabid Humas Polda Gorontalo Kombes Wahyu Cahyono mengatakan AKBP Beni yang menjadi korban tewas melakukan pelanggaran lantaran mengeluarkan tahanan tanpa perintah penyidik.
BACA JUGA: Anggota DPR Ini Minta Syarat Vaksin Booster untuk Mudik Dibatalkan, Begini Alasannya
Kepada polisi, tahanan RY yang sudah menjadi tersangka mengaku minta izin kepada korban untuk pulang ke rumah karena ada permasalahan keluarga.
Reza Indragiri menyoroti kepedulian korban sekaku Direktur Tahanan dan Barang Bukti (Dirtahti) Polda Gorontalo.
BACA JUGA: Apa Motif 3 Penganiaya Ibu dan Anak di Garut Ini? Kompol Jajang Menjawab
Apakah AKBP Beni memang peduli kepada para tahanan atau peduli sebatas kepada RY saja?
"Kalau direktur peduli pada para tahanan secara keseluruhan, jangan-jangan dia sudah berulang kali mendampingi sendiri tahanan-tahanan yang minta izin untuk urusan di luar rutan," ucap Reza dikonfirmasi JPNN.com pada Kamis (24/3).
Penyandang gelar MCrim (Forpsych-master psikologi forensik) dari Universitas of Melbourne Australia, itu lantas menyodorkan pertanyaan lainnya.
"Kalau direktur hanya peduli pada RY, seberapa seriuskah permasalahan RY dan apa penyebab si direktur begitu pedulinya terhadap persoalan tahanannya yang satu itu?" ucap Reza.
Kombes Wahyu Cahyono sebelumnya mengungkap hasil penyelidikan bahwa AKBP Beni Mutahir ternyata sempat cekcok di kediaman pelaku RY pada Senin dini hari itu.
BACA JUGA: Guru Honorer Ini Babak Belur Dikeroyok Siswa, Ibu & Sepupu Pelaku Ikut Memukul, Duh
Cekcok terjadi karena pelaku enggan dibawa kembali ke Rutan Polda Gorontalo setelah diberi kesempatan bertemu keluarganya oleh AKBP Beni.
"Setelah sampai di rumah, pelaku dan korban sempat adu mulut karena waktu 15 menit yang diberikan bertemu keluarga telah selesai. Pelaku sempat ditampar oleh korban," kata Wahyu.
Perwira menengah Polri ini menerangkan RY sempat meminta ampun kepada AKBP Beni. Namun, cekcok itu terus berlanjut hingga pelaku masuk ke kamar untuk mengambil senjata api rakitan.
Pelaku yang sudah terlanjur marah langsung menembak ke arah kepala AKBP Beni hingga akhirnya korban tewas.
2. Diduga Cekcok terkait Masalah Lain
Reza Indragiri juga menganalisis tentang percekcokan antara AKBP Beni Mutahir dengan RY yang menembak perwira menengah Polri itu sehingga korban tewas.
Dia mengatakan bagaimana mungkin tahanan dengan entengnya berani menyampaikan penolakannya kepada direktur polisi sampai kemudian terjadi cekcok.
"Anggaplah dia (RY, red) memang berani, maka keberaniannya itu tampaknya karena sudah ada preseden," ucap pria asal Rengat, Indragiri Hulu, Riau itu.
Menurut Reza, presedennya adalah karena RY sudah berhasil mengajak direktur polisi untuk melanggar peraturan sehingga pelaku berani untuk melanggar lagi.
"Seolah, di mata RY, pejabat direktur berpangkat AKBP bukan lagi sosok menakutkan yang harus dia patuhi," ucapnya.
Lagi pula, kata Reza, untuk apa seorang direktur meladeni "ajakan" cekcok seorang tahanan? Toh, direktur tinggal memanggil para anggotanya untuk meringkus tahanan yang membangkang.
Kalaupun memang ada percekcokan, lanjut Reza, kemungkinan itu cekcok seketika di rumah RY, bukan percekcokan yang dimulai dari rutan.
"Kalau cekcok sudah dimulai sejak di rutan, tentu direktur akan membatalkan rencana mendampingi RY ke luar rutan," tutur Reza.
Reza menerangkan cekcok yang berlanjut dengan perilaku ekstrem berupa membunuh lawan tanpa disertai atau didahului perkelahian tangan kosong, tetapi langsung masuk untuk mengambil senjata, lalu menembak ke bagian tubuh yang hampir bisa dipastikan berefek mematikan, terkesan dipicu oleh sesuatu yang amat personal.
"Seperti ada ketersinggungan, amarah hebat, sakit hati yang pribadi sekali yang sekonyong-konyong muncul," ujar konsultan di Lentera Anak Indonesia itu.
Namun, katanya, menolak untuk kembali ke rutan tampaknya bukan situasi yang sedemikian pribadi sehingga bisa memantik sakit hati mendalam.
"Alhasil, cekcok itu boleh jadi menyangkut masalah lain," kata Reza Indragiri.
3. Keberanian AKBP Beni Mutahir
Reza Indragiri Amriel juga menganalisis keberanian AKBP Beni Mutahir yang tewas ditembak tahanan narkoba Polda Gorontalo itu.
Dalam analisisnya, Reza tergelitik mempertanyakan apa peran RY dalam kasus narkoba tersebut.
"Adakah informasi, dalam kasus narkoba ini, peran RY sebagai apa?" ujar Reza.
Dia menanyakan itu dengan asumsi dari peran RY, mungkin bisa ditangkap "nilai ekonomis" yang dimiliki seorang tahanan sehingga direktur berpangkat AKBP sampai bersedia mengantarkan sendiri tahanannya itu.
"Hitung-hitungan di atas kertas, keberanian direktur mengeluarkan tahanan tanpa perintah penyidik merupakan kenekatan berisiko tinggi," lanjut pria yang pernah mengajar di PTIK itu.
"Keberanian seperti itu bisa muncul karena ada kompensasi yang setidaknya sebanding. Trade off untuk sebuah risiko yang diambil itu tentu harus sesuatu yang manfaatnya harus setara nilainya," ucap Reza.
4. Rekaman CCTV
Reza Indragiri mengatakan tindakan AKBP Beni Mutahir membawa tahanan keluar rutan Polda Gorontalo bisa dilihat melalui rekaman CCTV.
Penyandang gelar MCrim (Forpsych-master psikologi forensik) dari Universitas of Melbourne Australia menyarankan polisi me-review semua CCTV rutan.
"Cek, berapa sering dan siapa saja tahanan yang pernah keluar bukan untuk kepentingan penyidikan. Adakah pola yang bisa ditemukan?" ujar Reza.
5. Polri Perlu Minta Maaf
Reza Indragiri Amriel juga menyampaikan bahwa Polri perlu mengambil hikmah dari kasus AKBP Beni Mutahir yang tewas ditembak tahanan narkoba.
Menurut Reza, tewasnya petugas polisi lazimnya dianggap sebagai gugurnya seorang patriot, seorang pembela kebenaran sehingga publik pantas menundukkan kepala.
Namun, ketika ada polisi itu tewas saat sedang melakukan pelanggaran (misconduct), maka Polri justru patut meminta maaf sekaligus memberikan penjelasan.
"Maaf karena publik dipertontonkan sebuah perilaku yang tidak pantas diteladani dari seorang penegak hukum, dan penjelasan mengapa misconduct sedemikian rupa bisa terjadi," kata pakar yang menamatkan pendidikan sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu. (fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam